Wednesday, March 31, 2010

media relations : bab II research

BAB II
RESEARCH

DATA

Di sepanjang kehidupannya, manusia melalui berbagai masa dan tahapan. Tidak diragukan lagi, tidak ada satupun masa yang lebih manis dan indah seperti masa yang dinikmati oleh anak-anak. Orang-orang dewasa senantiasa mengenang masa kecil mereka dengan penuh rasa suka cita dan mereka akan menceritakan peristiwa dan kenangan masa kecil itu dengan penuh semangat. Permainan, imajinasi, rasa ingin tahu, dan ketiadaan beban hidup, membuat masa kanak-kanak menjadi manis dan menarik buat semua orang. Namun, dewasa ini, para ahli psikologi dan sosial meyakini, era kanak-kanak di dunia sedang berhadapan dengan keruntuhan dan akan tinggal menjadi sejarah saja. Di masa yang akan datang, anak-anak di dunia tidak akan lagi menikmati masa kanak-kanak yang manis, yang seharusnya menjadi masa terpenting dalam membentuk kepribadian mereka.

Dewasa ini, media massa dengan program-programnya yang memperlihatkan kerusakan moral dan kekerasannya, sedang merobohkan dinding yang menjadi tembok pemisah antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Barat, namun juga di negara-negara lain karena besarnya infiltrasi media Barat di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman kini dibebaskan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa dan hal ini dapat berdampak buruk bagi anak-anak itu.

Doktor Tabatabaei, seorang pakar media di Iran, pernah menulis bahwa masa kanak-kanak merupakan salah satu tahapan usia seorang manusia, yang memiliki kebutuhan dan kapasitas tersendiri. Jiwa dan fisik anak-anak yang lembut tidak memiliki kesiapan untuk dihadapkan kepada konflik dan masalah yang dialami oleh orang dewasa. Neil Postman, seorang penulis Amerika, juga pernah menulis bahwa jika sudah tidak ada batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, tidak akan ada lagi apa yang dinamakan sebagai dunia kanak-kanak.

Di antara berbagai media massa, televisi memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi bagi anak-anak. Menurut para pakar masalah media dan psikologi, di balik keunggulan yang dimilikinya, televisi berpotensi besar dalam meninggalkan dampak negatif di tengah berbagai lapisan masyarakat, khususnya anak-anak. Memang terdapat usaha untuk menggerakan para orangtua agar mengarahkan anak-anak mereka supaya menonton program atau acara yang dikhususkan untuk mereka saja, namun pada prakteknya, sedikit sekali orangtua yang memperhatikan ini.

Lebih dari separuh (52%) anak berusia 5-17 tahun memiliki televisi sendiri di kamar tidurnya. Waktu rata-rata TV menyala di rumah-rumah ialah 7 jam, 12 menit. Rata-rata waktu orang tua bercakap-cakap secara sungguh-sungguh dengan anaknya hanya 38,5 menit per minggu.

Menurut sebuah penelitian yang telah dilakukan, banyak sekali anak-anak yang menjadi pemirsa program-program televisi yang dikhususkan untuk orang dewasa. Doktor Tabatabaei dalam mengomentari hal ini menyatakan, "Dewasa ini, anak-anak dihadapkan dengan pembunuhan, kekerasan, penculikan, penyanderaan, amoral dan asusila, keruntuhan moral, budaya dan sosial. Dampak dari problema ini adalah timbulnya kekacauan dan kerusakan pada kepribadian anak-anak dan akhirnya kepribadian kanak-kanak itu menjadi terhapus dan hilang sama sekali."

Neil Postman dalam bukunya "The Disappearance of Childhood" (Lenyapnya Masa Kanak-Kanak), menulis bahwa sejak tahun 1950, televisi telah menyiarkan program-program yang seragam dan anak-anak, sama seperti anggota masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi. Dengan menekankan bahwa televisi telah memusnahkan dinding pemisah antara dunia kanak-kanak dan dunia orang dewasa, Neil Postman menyebutkan tiga karakteristik televisi. Pertama, pesan media ini dapat sampai kepada pemirsanya tanpa memerlukan bimbingan atau petunjuk. Kedua, pesan itu sampai tanpa memerlukan pemikiran. Ketiga, televisi tidak memberikan pemisahan bagi para pemirsanya, artinya siapa saja dapat menyaksikan siaran televisi.

Ketiga karakteristik televisi ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang bobrok dan amoral, seperti kekerasan dan kriminalitas. Sayangnya, justru dewasa ini film-film yang disiarkan televisi umumnya sarat dengan kekerasan dan kriminalitas. Para pemilik media ini demi menarik pemirsa sebanyak mungkin, berlomba-lomba menayangkan kekerasan dan amoralitas yang lebih banyak di layar televisi. Anak-anak yang masih suci dan tanpa dosa menjadi pihak yang paling cepat terpengaruh oleh tayangan televisi dan mereka menganggap bahwa apa yang disiarkan televisi adalah sebuah kebenaran.

Data statistik menunjukkan bahwa tingkat kekerasan yang dilakukan anak-anak semakin hari semakin meningkat. Antara tahun 1950 sehingga 1979, terjadi peningkatan jumlah kejahatan berat yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah 15 tahun, sebesar 110 kali lipat, yang berarti peningkatan sebesar 11 ribu persen. Dewasa ini, banyak sekali anak-anak dan remaja yang membawa senjata, baik untuk menyerang orang lain atau untuk melindungi diri sendiri.

Anak-anak seharusnya dikenalkan kepada kekacauan dan ketidaktenteraman kehidupan di dunia secara bertahap dan dengan bahasa yang khusus, agar mereka mengenali kejahatan bukan untuk menirunya, melainkan untuk menghadapinya dan melawannya. Cara yang tepat untuk pengenalan ini adalah melalui dongeng-dongeng anak-anak yang menggunakan metode yang benar dan bahasa yang lembut. Namun sayangnya, dongeng-dongeng anak-anak ini semakin menghilang dan digantikan oleh film-film keras televisi dan permainan komputer.

Masalah lain yang seharusnya milik dunia dewasa, namun malah disiarkan oleh televisi untuk semua orang, termasuk anak-anak, ialah masalah seksual. Gambaran terburuk dari berbagai hubungan seksual disiarkan setiap hari di televisi, baik di Barat maupun sebagian besar negara-negara Timur, dan anak-anak yang seharusnya masih berada dalam dunia manis masa kanak-kanak, tiba-tiba dihadapkan dengan masalah asusila atau pornografi. Dengan cara ini, anak-anak telah memasuki dunia dewasa dalam bentuknya yang terburuk.

Mengenai salah satu dari dampak fenomena ini, Neil Postman menulis bahwa kini manekin atau boneka pajangan dan model iklan termahal ialah anak-anak perempuan berusia 12-13 tahun. Postman juga menambahkan bahwa rasa malu, harga diri, dan sejenisnya telah kehilangan makna dan nilai. Selain itu, berbagai perusahaan perdagangan telah menyalahgunakan anak-anak kecil sebagai komoditi seksual dan iklan dagang. Kita dapat menyaksikan dengan baik penyalahgunaan anak-anak untuk menarik pemirsa dan konsumen dalam propaganda televisi dan film-film.

Akibat mengenalkan masalah seksual secara mendadak dan terburu-buru kepada anak-anak dan remaja, dewasa ini kita berhadapan dengan apa yang disebut sebagai "masa baligh dini". Penggunaan narkotika dan alkohol juga turut menembus dunia anak-anak dan remaja lewat propaganda televisi. Data statistik menunjukkan bahwa angka anak-anak dan dewasa yang mengkonsumi bahan narkotika semakin membengkak. Neil Postman dalam bukunya menyebut data bahwa jumlah para pelajar yang mengakui bahwa mereka mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak adalah 300 kali lipat dari para pelajar yang hanya mengkonsumsi dalam ukuran normal.

Anak-anak seperti ini bukan saja tidak akan mau menerima nasihat dari orangtua mereka, bahkan juga tidak akan menghormati orangtua. Padahal, nasehat dan pengarahan dari orang tua adalah sebuah masalah penting bagi anak-anak, sebagaimana ditulis oleh Haddington berikut ini. "Salah satu elemen utama penyempurnaan manusia dan perkembangan daya pilih mereka adalah rasa percaya diri yang diberikan oleh orang dewasa kepada mereka sewaktu mereka masih kanak-kanak. Rasa percaya diri anak-anak ini dapat membuat mereka mampu membedakan antara kebenaran dan kejahatan, kebaikan dan kesalahan, serta keindahan dan keburukan. Mereka akan memiliki kemampuan untuk menyingkirkan segala bentuk penyimpangan moral dan menyediakan kehidupan yang aman dan membahagiakan buat dirinya dan keluarganya."

Menimbang segala fakta di atas, pemerintah di berbagai negara hendaknya sadar untuk mengatur industri televisi agar dapat memainkan peran positif dan konstruktif bagi anak-anak dalam meningkatkan kepribadian mereka, demi terciptanya generasi yang sehat dan bangsa yang maju.

Hasil wawancara dengan Ani (bukan nama sebenarnya), ibu rumah tangga

Ani (bukan nama sebenarnya) terkejut saat melihat putranya. Bocah berusia tiga tahun menirukan perempuan hamil dengan memasukkan boneka ke perutnya dan mengatakan "hamil". Ani pun gusar melihat hal itu, lalu dia menanyakan tahu dari mana bocah itu tentang perempuan hamil. Si bocah pun menjawab dari sinetron yang ditayangkan setiap hari (striping). Bukan hanya adegan perempuan hamil saja yang bisa ditiru si bocah, melainkan lagu bertema cinta yang menjadi soundtrack sinetron diputar setiap malam di televisi swasta itu pun dihafalnya.

Kegusaran Ani sebagai seorang ibu merupakan sekelumit gambaran kegusaran orangtua terhadap perilaku anaknya. Kegusaran itu semakin bertambah, ketika bocah "demam" menyaksikan kontes menyanyi anak-anak. Pasalnya, durasi penayangan yang memakan waktu berjam-jam membuat anak tidak beranjak dari depan TV. Selain itu, lagu-lagu yang dibawakan peserta yang semuanya adalah anak-anak kebanyakan lagu orang dewasa. Di layar kaca muncul anak menyanyikan lagu cinta pada usia yang sangat belia. Usai menonton reality show, mata penonton termasuk penonton anak digiring menyaksikan tayangan sinetron yang ditayangkan setiap hari mulai pukul 19.00 WIB.

Di Venezuela, kegusaran orangtua terhadap tayangan TV direspons pemerintah setempat. Baru-baru ini, pemerintah Venezuela menarik serial kartun Amerika Serikat (AS) The Simpsons dari tayangan TV. Pasalnya, kartun yang diciptakan tahun 1989 itu berpotensi membawa pengaruh buruk bagi anak-anak. The Simpsons, komedi satir tentang kehidupan keluarga AS, ditayangkan di Venezuela oleh stasiun televisi pada jam 11 pagi menggunakan bahasa Spanyol. Di Indonesia, serial The Simpson ternyata baru ditayangkan ulang oleh stasiun televisi ANTV. Serial animasi ini ditayangkan setiap Jumat pukul 20.00 WIB.

Kegusaran para orangtua terhadap pola menonton TV cukup beralasan. Seperti dikatakan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, yang prihatin dengan kualitas acara TV di Indonesia. Menurut Seto pada tahun 2007 berdasarkan data dari Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) sinetron mendominasi tayangan televisi, sedangkan, tayangan yang mengandung edukasi hanya 0,07 persen. Jika tayangan TV didominasi tayangan yang tidak edukatif, hal tersebut telah melanggar hak anak. Aspek negatif dari tayangan menurunkan kualitas sumber daya manusia karena sejak anak-anak sudah dijejali tayangan berbau negatif.

Menurut Seto, kontes menyanyi anak-anak yang ada saat ini di berbagai stasiun TV membuat anak-anak menjadi lebih cepat dewasa. Seorang anak tampil bak orang dewasa, dan menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Hal ini berdampak pada psikoseksual anak. Seorang anak lebih cepat dewasa, tetapi tidak siap menghadapi perubahan. Meski demikian, katanya, ada beberapa tayangan anak-anak yang bersifat edukatif, baik produk lokal maupun impor.

Penonton TV dari kalangan anak memang besar, dan ini menjadi bidikan para pengelola TV dengan sejumlah programnya, baik yang edukatif maupun non-edukatif. Berdasarkan data AGB Nielsen Media Research per April 2008, 21 persen pemirsa TV adalah anak-anak berusia 5-14 tahun. Angka ini diperoleh berdasarkan survei kepemirsaan TV AGB Nielsen di 10 kota. Suatu jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan target pemirsa lainnya. Anak-anak tersebut menonton TV terutama pada pukul 06.00 sampai 10.00 dan antara jam 12.00 sampai 21.00.

Pada jam tayang utama (18.00 sampai 21.00) ada 1,4 juta anak-anak di antara 42,6 juta populasi TV yang menonton TV. Jumlah ini lebih tinggi 15 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dalam sehari, anak-anak menghabiskan rata-rata 3 jam untuk menonton TV. Dua puluh menit di antaranya untuk menonton program anak, sedangkan 50 menit untuk menonton program serial (sinetron). Namun, kebiasaan menonton ini berbeda antara anak-anak menengah atas dengan anak-anak menengah bawah. Anak-anak menengah bawah menonton TV rata-rata 3 jam 24 menit, lebih lama 30 menit daripada anak-anak menengah atas. Namun, untuk program anak, keduanya sama-sama menghabiskan rata-rata 22 menit per hari. Sementara itu, untuk kategori program informasi, anak-anak menengah atas menghabiskan rata-rata 18 menit per hari, lebih lama 2 menit daripada anak-anak menengah bawah.

Pilihan program mereka pun berbeda. Anak-anak kelas menengah atas cenderung lebih selektif menonton program yang sesuai dengan usianya. Ini terlihat dari tontonannya yang lebih variatif, di antaranya kartun anak, film barat anak, musik, sepakbola dan sinetron. Sementara itu, tontonan anak-anak menengah bawah masih didominasi oleh sinetron. Khusus program anak, program yang paling banyak ditonton anak-anak adalah Idola Seleb (RCTI). Namun, program kartun anak impor masih mendominasi tontonan anak-anak. Lima di antara 20 program yang paling banyak ditonton adalah program produksi lokal, seperti Idola Cilik (RCTI), Pilih Dua Bintang (INDOSIAR), dan Soccer Boys (TRANS7).

Dampak menonton di kalangan remaja berusia 15-18 tahun diteliti para peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Minnesota AS. Hasil penelitian itu dilansir Reuters pekan lalu. Peneliti berfokus pada remaja yang memiliki TV di kamar tidur, dan menemukan remaja yang memiliki TV di kamar tidur cenderung memiliki kebiasaan diet dan olahraga yang jelek, serta nilai yang lebih rendah di sekolah dibanding remaja yang tidak memiliki TV di kamar tidur.
Sebanyak 781 orang berusia 15-18 tahun di kawasan Minneapolis diwawancarai. Hasilnya, sebanyak 62 persen di antaranya memiliki TV di kamar tidur. Mereka yang memiliki TV di kamar tidur memiliki porsi menonton yang lebih banyak, berkisar empat sampai lima jam lebih banyak per minggu di depan TV. Bagi remaja yang dua kali lebih banyak menonton TV dari jumlah tersebut digolongkan sebagai penonton berat. Sedikitnya, golongan ini menonton TV lima jam sehari dibandingkan remaja yang tidak memiliki TV di kamar tidur.

Remaja putri yang memiliki TV di kamar tidur dilaporkan lebih sedikit melakukan olahraga yang energik (mengeluarkan banyak energi), yakni 1,8 jam per minggu dibanding 2,5 jam oleh remaja putri tanpa TV di kamar tidur. Mereka juga mengonsumsi lebih sedikit sayur, meminum lebih banyak minuman yang manis, dan jarang makan bersama keluarga. Sementara itu, remaja putra yang memiliki TV di kamar tidur dilaporkan memiliki nilai rata-rata lebih rendah dibanding remaja putra yang tidak memiliki TV di kamar tidur. Selain itu, mereka juga mengonsumsi buah-buahan lebih sedikit, dan jarang makan bersama keluarga.

Secara jelas hasil penelitian memperlihatkan beberapa hal yang patut tidak mengizinkan anak Anda memiliki TV di kamar tidur. Ketika Anda meletakkan TV Anda di ruang duduk dan Anda memiliki TV lebih kecil yang tertinggal zaman namun masih bisa dipakai, orangtua harus menolak meletakkan TV di salah satu kamar-kamar anak Anda, dan menolak tekanan dari anak untuk memiliki TV di kamar tidur mereka.

Para peneliti juga menemukan, laki-laki cenderung memiliki TV di kamar tidur (68 persen) dibanding perempuan (58 persen). Dari sisi kemampuan ekonomi, remaja dari keluarga yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung lebih sedikit memiliki TV di kamar tidur dibanding dari seluruh golongan penghasilan keluarga yang diteliti. Di antara remaja berkulit hitam, 82 persen dilaporkan memiliki TV di kamar tidur dibanding 66 persen pada keturunan Spanyol, 60 persen berkulit putih, dan 39 persen pada keturunan Amerika-Asia.

Kedua kelompok, laki-laki dan perempuan yang memiliki TV di kamar tidur menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca dan mengerjakan pekerjaan rumah, sekalipun para peneliti menuturkan perbedaan-perbedaan itu tidak signifikan secara statistik. Perihal memiliki TV di kamar tidur itu, Akademi Ilmu Kesehatan Anak-anak di AS juga menyerukan para orangtua memindahkan TV dari kamar tidur anak-anak.

Keberadaan TV di kamar tidur, menurut Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr Tjut Rifameutia MA, cenderung mengurangi waktu untuk melakukan kegiatan lain, dan mengurangi kontrol dalam penggunaannya. Anak dan remaja bebas memilih program yang diinginkan, dan bebas menonton kapan saja.

Kenyamanan yang diperoleh dengan menonton TV akan mengurangi komunikasi dan interaksi anak/remaja dengan dunia luar (anggota keluarga, saudara, pembantu maupunteman). Kebiasaan menonton TV di kamar ini pula, ujar Rifameutia yang juga psikolog pendidikan, membuat anak/remaja bebas dengan keadaannya, seperti berpakaian sekehendaknya, bahkan seringkali pula sambil makan dan menikmati makanan ringan. Kebiasaan ini membuat anak/remaja kurang bergerak dan makin lama merasa tidak membutuhkan orang lain di sekitarnya. Waktu belajar dengan bersungguh-sungguh menjadi berkurang. Banyak remaja yang belajar sambil menonton TV. Hal ini akan mengurangi konsentrasi dan kesungguhan mereka dalam belajar. Tidak mengherankan bila kemudian berdampak buruk pada nilai mereka di sekolah.

Pada kenyataannya banyak orangtua yang merasa lebih aman/tenteram bila anak tinggal di rumah daripada melakukan kegiatan di luar. Anak berdiam di kamar menonton TV dianggap lebih aman daripada keluar rumah. Padahal, hal ini dapat berakibat pada tidak terasahnya kemampuan interpersonal skills.

Meskipun tidak tertutup kemungkinan, anak melihat contoh-contoh yang baik melalui program TV. Namun, anak melihatnya secara pasif. Waktu untuk mempraktikkan hal-hal yang positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjadi berkurang karena anak/remaja lebih asyik di dalam kamar. Jadi, merupakan langkah yang baik bila orangtua tidak meletakkan TV di ruang anak.

Dua puluh satu persen pemirsa TV adalah anak-anak berusia 5-14 tahun. Jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit dengan banyaknya tuntutan atas tayangan yang sesuai untuk anak. Kepemirsaan anak pun termasuk tinggi dibandingkan dengan target pemirsa yang lebih dewasa, terutama antara jam 6.00 sampai 10.00 dan antara jam 12.00 sampai 21.00. Jumlahnya bisa mencapai rata-rata 1.478.000 individu saat jam tayang utama (18.00- 21.00) dari total populasi TV yang berjumlah 42.645.497 individu di 10 kota survei AGB Nielsen.

Di tengah tuntutan atas program yang sesuai untuk anak dan besarnya potensi pemirsa anak serta tingginya kepemirsaan anak, kabar gembiranya adalah jam tayang program anak pun ternyata bertambah, baik di stasiun TV nasional maupun lokal, rata-rata dua jam per hari. Penambahan jam tayang terbanyak terjadi di ANTV, yaitu dari rata-rata 1 jam per hari menjadi rata-rata 4 jam per hari dengan program kartun anak. Sementara jam tayang program anak di stasiun TV lokal anak Space Toon juga bertambah dari rata-rata 12 jam per hari menjadi rata-rata 15 jam per hari.

Stasiun TV lain yang juga memberi porsi cukup besar pada program anak adalah Global TV (rata-rata 7 jam/hari) dan TRANS7 (3 jam per hari). Dengan bertambahnya jam tayang program anak, program anak produksi lokal bertambah 3% pada periode Januari hingga mid-Maret 2008 dibandingkan tahun lalu. Namun secara keseluruhan porsi tayang untuk program anak impor (81%) masih lebih besar daripada program produksi lokal (19%). Penambahan jam tayang program lokal ini naik 3 kali lipat di TV nasional, dari rata-rata 1 jam per hari menjadi rata-rata 3 jam per hari, tetapi berkurang di TV lokal dari rata-rata 5 jam per hari menjadi 4 jam per hari. TRANS7 adalah stasiun TV yang paling banyak menghadirkan program anak produksi lokal (39% dari total jam tayang program lokal), seperti Soccer Boys, Laptop Si Unyil, Si Bolang Bocah Petualang, atau yang paling baru 123 Jalan Sesama. Dilihat dari waktu menonton, rata-rata anak-anak menghabiskan 3 jam per hari untuk menonton TV dengan 20 menit di antaranya untuk menonton program anak. Sementara untuk program serial (sinetron), mereka menghabiskan rata-rata 50 menit per hari. Namun kebiasaan menonton ini berbeda antara anak-anak yang berasal dari kelas menengah atas dengan anak-anak dari kelas menengah bawah. Anak-anak menengah bawah menonton TV rata-rata 3 jam 24 menit, lebih lama 30 menit daripada anak-anak menengah atas. Namun untuk program anak, keduanya sama-sama menghabiskan rata-rata 22 menit per hari. Sementara untuk kategori program informasi, anak-anak menengah atas menghabiskan sedikit lebih lama waktunya untuk menonton, yaitu rata-rata 18 menit per hari, lebih lama 2 menit daripada anak-anak menengah bawah.

Jam menonton anak-anak menengah atas vs. menengah bawah (dalam menit/hari)

Pilihan program mereka pun ternyata berbeda. Anak-anak kelas menengah atas punya kecenderungan lebih selektif menonton program yang sesuai dengan usianya, yang terlihat dari tontonannya yang lebih variatif, di antaranya kartun anak, film barat anak, musik, sepakbola dan sinetron. Sementara tontonan anak-anak menengah bawah masih didominasi oleh sinetron,” jelas Hellen Katherina, Associate Director Marketing & Client Service AGB Nielsen Media Research.

Dengan rata-rata 3 jam yang dihabiskan untuk menonton TV, program yang ditonton oleh anak-anak yang menonton tanpa didampingi orangtuanya adalah Spongebob Squarepants the Movie (RCTI) (rating 4,5%). Namun program yang ditonton oleh paling banyak anak-anak saat bersama ibunya adalah program musik Stardut (INDOSIAR) (5,4). Saat sendirian, anak-anak tampak lebih banyak menonton di pagi hari, antara jam 07.00 hingga 11.00. Namun saat bersama ibunya, anak-anak banyak menonton di malam hari, antara 19.00 sampai 21.30. Hal ini menunjukkan bahwa saat menonton sendirian, anak-anak sebenarnya lebih memilih program anak. Kepemirsaan anak terhadap tayangan yang sebenarnya ditujukan untuk pemirsa yang lebih dewasa, kemungkinan besar disebabkan oleh adanya pemirsa yang lebih dewasa yang mendominasi remote control. Jadi, untuk membatasi timbulnya pengaruh yang kurang ideal dari tayangan-tayangan tersebut terhadap anak, yang diperlukan adalah kesadaran dari orangtua uantuk lebih mengontrol hal tersebut dari rumah. Khusus untuk program anak, program yang paling banyak ditonton oleh anak-anak adalah Idola Seleb (RCTI). Namun program kartun anak impor masih mendominasi tontonan anak-anak. Di antara 20 program yang paling banyak ditonton, lima di antaranya adalah program produksi lokal, seperti Idola Cilik (RCTI), Pilih Dua Bintang (INDOSIAR) dan Soccer Boys (TRANS7). Meski demikian, program anak produksi lokal memberi semakin banyak pilihan bagi anak-anak di awal tahun ini.

*Survei kepemirsaan TV dilakukan di 10 kota besar di Indonesia (Jakarta dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin dengan total populasi TV sebesar 42.645.493 individu usia 5 tahun ke atas, sebanyak 2.080 panel rumahtangga.

No comments:

Post a Comment