PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam suku. Masing–masing suku memiliki budaya yang berbeda-beda pula. Orang Batak, misalnya, memiliki perangai yang tegas dan memiliki stereotype yang cenderung keras. Lain halnya dengan orang Jawa Tengah yang lebih terasa halus pembawaannya. Jika kita melihat realita seperti ini, dapat disimpulkan budaya yang berbeda dapat menyatukan persepsi dan ide terhadap suatu tindakan.
Menurut Richard E. Porter dan Larry A. Samovar, dalam komunikasi antar budaya terjadi pertukaran pesan verbal (kata-kata) dan pesan non verbal (ekspresi wajah, isyarat tangan, pakaian , jarak fisik, nada suara dan perilaku–perilaku lain yang sering tidak disadari).
Jika seorang Batak memukul partnernya dengan sapaan yang keras, bagi mereka itu biasa saja dan mungkin merupakan sopan santun, namun belum tentu demikian bagi orang Solo. Orang Solo dapat memiliki persepsi yang salah terhadap mereka dan menganggap bahwa orang Batak itu memiliki perangai yang kasar, padahal sebenarnya tidak demikian.
Suku bangsa lain mungkin menganggap bahwa memandang mata lawan bicaranya saat berkomunikasi merupakan kesopanan, namun tidak demikian bagi suku lainnya. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda serta cara bertingkah laku yang berbeda-beda dalam mengkomunikasikan keinginan mereka.
Banyaknya budaya di Indonesia tidak dapat disatukan menjadi satu budaya yang bersifat general. Karena jika itu dilakukan, maka akan terjadi kekacauan dan peperangan. Jika kita memilih salah satu budaya untuk menjadi dasar atau patokan bagi identitas budaya di Indonesia, maka kita telah melakukan diskriminasi terhadap budaya lain dan meninggikan salah satu budaya. Hal ini tentu saja sangat tidak baik, mengingat banyaknya budaya yang ada di Indonesia.
Mengapa kita tidak membalikkan saja cara berpikir kita serta mengubahnya menjadi satu pandangan yang baru. Pandangan di mana kita tidak perlu terlalu mempermasalahkan kebudayaan yang ada, tetapi justru menjaga dan melestarikannya sebagai budaya Indonesia yang mencerminkan Bhinneka tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu.
Budaya boleh banyak tetapi kita tetap satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Biarkanlah perbedaan itu tetap ada dan jangan dipertentangkan, agar sebagai bangsa Indonesia, kita boleh berbangga hati dengan kerukunan dan keakraban bangsa kita yang multicultural.
Di dalam karya etnografi ini, saya akan mengangkat topik pembahasan mengenai kebudayaan daerah Irian Jaya dengan melihat salah satu suku budaya nya yaitu suku Arfak sebagai salah satu suku yang masih kental dengan kebudayaan asalnya.
Menurut Richard E. Porter dan Larry A. Samovar, dalam komunikasi antar budaya terjadi pertukaran pesan verbal (kata-kata) dan pesan non verbal (ekspresi wajah, isyarat tangan, pakaian , jarak fisik, nada suara dan perilaku–perilaku lain yang sering tidak disadari).
Jika seorang Batak memukul partnernya dengan sapaan yang keras, bagi mereka itu biasa saja dan mungkin merupakan sopan santun, namun belum tentu demikian bagi orang Solo. Orang Solo dapat memiliki persepsi yang salah terhadap mereka dan menganggap bahwa orang Batak itu memiliki perangai yang kasar, padahal sebenarnya tidak demikian.
Suku bangsa lain mungkin menganggap bahwa memandang mata lawan bicaranya saat berkomunikasi merupakan kesopanan, namun tidak demikian bagi suku lainnya. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda serta cara bertingkah laku yang berbeda-beda dalam mengkomunikasikan keinginan mereka.
Banyaknya budaya di Indonesia tidak dapat disatukan menjadi satu budaya yang bersifat general. Karena jika itu dilakukan, maka akan terjadi kekacauan dan peperangan. Jika kita memilih salah satu budaya untuk menjadi dasar atau patokan bagi identitas budaya di Indonesia, maka kita telah melakukan diskriminasi terhadap budaya lain dan meninggikan salah satu budaya. Hal ini tentu saja sangat tidak baik, mengingat banyaknya budaya yang ada di Indonesia.
Mengapa kita tidak membalikkan saja cara berpikir kita serta mengubahnya menjadi satu pandangan yang baru. Pandangan di mana kita tidak perlu terlalu mempermasalahkan kebudayaan yang ada, tetapi justru menjaga dan melestarikannya sebagai budaya Indonesia yang mencerminkan Bhinneka tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu.
Budaya boleh banyak tetapi kita tetap satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Biarkanlah perbedaan itu tetap ada dan jangan dipertentangkan, agar sebagai bangsa Indonesia, kita boleh berbangga hati dengan kerukunan dan keakraban bangsa kita yang multicultural.
Di dalam karya etnografi ini, saya akan mengangkat topik pembahasan mengenai kebudayaan daerah Irian Jaya dengan melihat salah satu suku budaya nya yaitu suku Arfak sebagai salah satu suku yang masih kental dengan kebudayaan asalnya.
LATAR BELAKANG
Provinsi Irian Jaya Barat merupakan provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua. Provinsi Irian Jaya Barat terbentuk berdasarkan Undang-Undang No.45/1999. Pemekaran Papua menjadi tiga propinsi ini juga masih menjadi polemik, karena sebagian warga masih menolaknya. Namun demikian Provinsi Irian Jaya Baratlah yang akhirnya berhasil terbentuk. Terbentuknya provinsi ini tidak lepas dari peran pemerintah baik pusat maupun daerah serta masyarakat daerah sendiri.
Ibukota provinsi Irian Jaya Barat terletak di Manokwari, merupakan tempat pusat sejarah di Papua. Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua.
Provinsi Irian Jaya Barat ini meski telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya. Namun demikian keberadaan provinsi ini masih belum sepenuhnya diakui oleh DPRD Papua (induk). Provinsi ini juga telah mempunyai KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya tanggal 5 April 2004.
GEOGRAFI
a. Letak, batas dan luas wilayah
Wilayah propinsi Irian Jaya luas daratannya 414.800 km2 dengan panjang pantai kurang lebih 2.000 mil sehingga luas perairan mencapai kurang lebih 228.000 km2 dan terletak pada garis meridian antara :
- 01 derajat 11 menit 00 detik lintang selatan
10 derajat 45 menit 00 detik lintang selatan
- 129 derajat 30 menit 00 detik bujur timur
141 derajat 01 menit 10 detik bujur timur
- di bagian utara dibatasi oleh Samudera Pasifik, di sebelah timur dengan negara Papua New Guinea, di sebelah barat dengan propinsi Maluku dan sebelah selatan dengan Laut Arafura dan Samudera Indonesia serta benua Australia.
b. Topografi dan Iklim
Topografi Irian Jaya sangat bervariasi, mulai dari puncak yang sangat tinggi yang senantiasa bersalju (Puncak Jaya 5.500 meter, Puncak Trikora 5.160 meter dan Puncak Yaunis 5.100 meter) dan hampir 75% terdiri dari pegunungan dengan lereng-lereng tebing yang curam dengan dataran rendah yang berawa baik di bagian selatan (Dataran Digul), di bagian utara (dataran Mamberamo), serta dataran rendah Inanwatan di bagian barat.
Pada dataran rendah mengalir sungai-sungai yang besar dari daerah pegunungan pedalaman menuju pantai deperti Sungai Digul, Sungai Mamberamo, Sungai Warsamon, Sungai Kamudan dan masih banyak lagi sungai-sungai lainnya. Danau yang tersebar di beberapa daerah Tingkat II seperti Danau Sentani di daerah Tingkat II Jayapura, danau Tage, Tigi, dan Wagkete didaerah Tingkat II Painai, daerah Anggi di daerah Tingkat II Manokwari, Danau Ayamaru di daerah Tingkat II Sorong serta masih banyak lagi danau-danau kecil lainnya.
Iklim di Irian Jaya sangat dipengaruhi oleh letak astronomis maupun letak geografis, sehingga keadaan iklim beberapa daerah Irian Jaya berbeda-beda. Secara keseluruhan daerah Irian Jaya termasuk dalam golongan iklim tropis.
Curah hujan bervariasi (secara local) mulai 1.500 mm, sampai dengan 7.500 mm per tahun. Jumlah hari-hari hujan per tahun : Jayapura 160, Biak 125, Guarotali 250, Manokwari 140, Merauke 100.
Temperatur rata-rata pada daerah pantai berkisar 26 derajat celcius, 17 derajat celcius dengan rata-rata maksimum 32,1 derajat celcius, 30 derajat celcius dan rata-rata maksimum 24,4 derajat celcius, 21,2 derajat celcius, sedangkan rata-rata mutlak maximum berkisar antar 36,1 derajat celcius, 33,2 derajat celcius dan rata-rata mutlak minimum antar 21,5 derajat celcius, 13,5 derajat celcius. Temperatur daerah pegunungan pada umumnya berbeda secara gradual menurut ketinggiannya, yaitu dengan rata-rata penurunan 0,2 derajat celcius untuk setiap kenaikan setinggi 100 meter diatas permukaan laut.
c. Flora dan Fauna
Irian Jaya yang berada diujung paling timur Indonesia mempunyai flora dan fauna endemic serta spesifik. Untuk flora, terdapat berbagai jenis tumbuhan berkayu (Pometiasp) dan jenis tumbuhan epyphit (Anggrek). Untuk fauna, terdapat berbagai jenis mamalia (binatang berkantong) dan berbagai jenis aves (cendrawasih, kasuari), reptil (buaya), dan hiekta (kupu-kupu).
Di Irian Jaya terdapat kurang lebih 10 spesies flora, 650 jenis burung, 253 jenis reptil, 6000 jenis ikan, 154 jenis mamalia, dan 50.000 jenis serangga. Hutan Irian Jaya yang luas dengan jumlah flora yang kaya (kurang lebih 10.000 jenis) mulai dari tumbuhan lumut sampai dengan pohon berkayu terdapat pada Zone serta type vegetasi yang lengkap, vegetasi pantai hingga vegetasi alpin.
POTENSI DAERAH
a. Wilayah
Luas wilayah Irian Jaya 414.800 km2, bila dibandingkan dengan luas wilayah seluruh Indonesia adalah 21,9% dengan luas masing-masing kabupaten Daerah Tingkat II adalah :
- Jayapura : 62.433 km2
- Jayawijaya : 52.916 km2
- Merauke : 119.749 km2
- Fak-Fak : 45.552 km2
- Sorong : 34.213 km2
- Biak Wunfon : 3.130 km2
- Manokwari : 37.901 km2
- Paniai : 40.160 km2
- Yapen Waropen : 18.746 km2
Jumlah : 414.800 km2
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa lebih 75% dari wilayah Irian Jaya masih tertutup oleh hutan hujan tropis, dalam hutan tersebut tumbuh komditi-komoditi yang bernilai ekonomis seperti kayu, rotan, damar, kayu putih, lawang, sagu, dan masih banyak komoditi lainnya yang cukup potensial. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986 kawasan hutan Irian Jaya terinci sebagai berikut :
1. Hutan Cagar Alam 73.700 km2
2. Hutan Lindung 105.000 km2
3. Hutan Produksi Terbatas 46.300 km2
4. Hutan Produksi Biasa 80.300 km2
5. Hutan Konversi 97.600 km2
6. Lain-lain 11.900 km2
414.800 km2
b. Pertanian
Luas daratan Irian Jaya sudah diidentifikasi cocok untuk pembangunan skala besar 11,85 juta Ha. Cocok untuk pertanian pangan lahan basah dan lahan kering. Lahan yang cocok untuk pengembangan pertanian berada di dataran rendah daerah selatan. Didapati juga disini areal yang cocok untuk pertanian lahan kering, sedangkan rawa-rawa musiman cocok untuk pertanian lahan basah. Di Pegunungan Jayawijaya tidak ada daerah yang diidentifikasikan cocok untuk pertanian skala besar. Bervariasi iklim geologi dan topografi mnyebabkan bervariasinya jenis tanah yang diklasifikasi menjadi 7 jenis yaitu : organosol 3 juta Ha, mediteran I 200 Ha, podsolik merah kuning, mediteran II 200.000 Ha, rensunia 300.000 Ha, latosol 300.000 Ha, tanah kompleks seluas 23.000.000 Ha.
Untuk pengembangan budidaya tanaman pangan yang secara khusus dicanangkan tanah seluas 11.775.420 Ha. Perkembangan luas tanaman pangan Irian Jaya sampai pada keadaan tahun 1988 ini telah mencapai luas sekitar 548.253,75 Ha. Yang tersebar diseluruh kabupaten Daerah Tingkat II se Irian Jaya. Dari luas lahan pertanian tanaman pangan ini terdiri dari :
- lahan sawah irigasi : 3.837 Ha
- lahan sawah tadah hujan : 16.464,5 Ha
- lahan tegal : 474.475 Ha
- lahan pekarangan : 53.477,25 Ha
Terperinci 96,30% berupa tanah kering, 0,7% tanah sawah irigasi dan 3% tanah sawah tadah hujan. Pembangunan sektor pertanian tanaman pangan selain untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk di bidang pangan menuju swasembada meningkatan pendapatan petani (hampir 90% merupakan petani tradisional) juga sekaligus untuk memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan ekspor dan meningkatkan pembangunan pertanian di pendesaan.
c. Perkebunan
Propinsi Irian Jaya termasuk daerah yang memiliki potensi perkebunan yang cukup besar terutama budidaya coklat di Sarui, Sabron, Waruare, Wandamen, Ransiki, Mriboran dan Pulau Yapen. Budidaya karet di Akimuga, Munting, Endera, Mappi, Digul, Muyu, Sausapon. Budidaya kopi di Moanemani, Bokondini, Kebar, Ayamaru.
Pada tahun 1970 terbentuk seksi perkebunan Irian Jaya dan kebijaksanaan pembangunan adalah mengikuti Tridharma Perkebunan yaitu :
- penciptaan lapangan pekerjaan
- peningkatan pendapatan devisa
- pemeliharaan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
Bentuk kegiatan dan pelaksanaan pembangunan adalah berupa usaha rehabilitasi atau peremajaan, instensifikasi dan perluasan tanaman dengan pengarahan potensi dan pengarahan dana-dana yang berbentuk anggaran pemerintah, kredit dalam dan luar negri serta dana masyarakat. Khusus untuk komoditi perkebunan kelapa, coklat, kopi merupakan sumber pendapatan sebagian besar petani dan penghasil devisa bagi Irian Jaya. Lokasi perkebunan di kabupaten Irian Jaya seluas kurang lebih 1.532.000 Ha.
d. Peternakan
Pada tahun 1963, pemerintah telah mengembangkan ternak sapi di kabupaten Merauke yaitu sapi Onggole sebanyak 150 ekor dan sapi Bali 50 ekor dan populasinya berkembang pesat menjadi 350 ekor pada tahun 1966. Adapun ternak yang dikembangkan di Irian Jaya adalah ternak sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan kuda dengan jumlah ternak pada tahun 1988 masing-masing sapi 24.760 ekor, kerbau 377 ekor, kambing 32.807 ekor, domba 7.144 ekor, babi 519.290 ekor dan kuda 1.783 ekor. Dengan luas padang pengangonan 5.320,25 Ha. Disamping mempunyai potensi pengembangan padang alang-alang dan stepa seluas 4.434.000 Ha. Sangat memungkinkan untuk diisi dengan ternak herbivora.
Walaupun produksi sudah meningkat, kebutuhan bahan pangan asal ternak di Irian Jaya belum dapat dipenuhi dengan produksi local, sehingga pemotongan ternak yang tinggi menghambat pertumbuhan populasi serta terpaksa ada pemasukan produk perternakan dari luar Irian Jaya untuk memenuhi kebutuhan.
e. Perikanan
Keadaan perikanan di Irian Jaya dimana panjang pantai yang mengelilingi daratan kurang lebih 2.000 mil laut mengandung potensi perikanan yang cukup besar. Diperkirakan untuk seluruh jenis hasil perikanan 400.000 ton/tahun.
Luas perairan umum berupa danau, sungai, rawa kurang lebih 515.000 Ha. Potensi produksi lestari perairan umum adalah 13.300 ton/tahun. Laut Irian Jaya mengandung berbagai jenis hasil laut berupa ikan dan non ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang dapat dikelompokan dalam 4 kelompok besar yaitu :
1. Jenis ikan
Di laut Irian Jaya didapati 63 jenis ikan yang komersial yang terdiri dari jenis pelogis dan jenis demersal. Jenis ikan pelogis yang penting terdiri dari Fanuli (Katsuwonus Pelamis), Komo (Euthynnus Yato) dan Tongkol (Anxismuru), Famili Thumride seperti Albrcona, Modidikang, dan Famili Cybiidal seperti Tenggiri dan Bonito. Di perairan Sorong cukup padat karena kondisi oceanografis perairan sangat baik untuk tuna.
2. Jenis udang
Jenis udang yang paling banyak dalam komposisi penangkapan.ialah Penacus Mergulusis dan Banana Prawn, menyusul Metapenacus dan Edevour.
3. Jenis kerang (Mollusca)
Perairan karang dengan teluk yang terlindung merupakan lingkungan untuk kerang mutiara maupun kerang yang dimakan. Jenis kerang yang terdapat di Irian Jaya adalah kerang mutiara (Pinatoda, Maxim, Bialola, Trockus Skell, Bia Bulan, Grenu Snail), dan Pla-Pla (Pinatoda Margatifera).
4. Hasil laut lain
Hasil laut bukan ikan seperti cumi-cumi (Holigo Sp), Stong (Holocentrum Nunbrum), Ubur-ubur (Slydro Melusa), dan Lobster merupakan hasil ikatan dalam penangkapan dengan jarring menggunakan lampu (light fissing). Jenis penyu adalah penyu hijau (Chelonia Mydos Sp), penyu sisik (Eretomodrelys Hibricata Sp), penyu raksasa (Dermochelys Sp) dan berbagai jenis rumput laut (Euchema Sp). Dan juga terdapat jenis ikan laut yang sudah berdopsi seperti Hiu Gergaji (Charcharios Sp), Belanak (Nungil Cephalus), Bubara (Charons), Bandeng (Chamos Chanos) dan Kakap (Lotes Calcariter).
Perairan di Irian Jaya berupa danau, sungai dan rawa dengan luas kurang lebih 515.000 Ha. Pemanfaatan perairan umum untuk pengembangan budidaya ikan sudah dilakukan Belanda sejak tahun 1938 dengan penebaran benih di danau-danau dan di sungai-sungai. Kegiatan di bidang usaha perikanan sampai saat ini sudah banyak memberi sumbangan bagi peningkatan konsumsi protein masyarakat serta peningkatan penerimaan devisa melalui export hasil-hasil perikanan yaitu dalam perikanan rakyat dan perikanan industri.
f. Kehutanan
Di Irian Jaya telah ditetapkan kawasan hutan atau hutan tetap seluas 28.816.270 Ha (70,17%) dan hutan konvensi 11.775.420 Ha (28,676%). Dalam Tata Guna Hutan dan Kesepakatan (TGHK), fungsi hutan adalah :
- Hutan suaka alam dan hutan wisata 8.311.820 Ha
- Hutan lindung 8.648.610 Ha
- Hutan produksi terbatas 4.732.360 Ha
- Hutan produksi tetap 7.123.480 Ha
- Hutan produksi konvensi 11.755.420 Ha
- Lain-lain 474.310 Ha
Luas areal seluruhnya 40.591.690 Ha
Jenis kayu yang tumbuh di hutan alam Irian Jaya tidak kurang 255 jenis, diantaranya tidak kurang 100 jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Jenis kayu yag terdapat di hutan hijau adalah Intsia Sp, Pometia Spp, Palaqucum Spp, Koondersiodendrous Spp, Agathislabillardieri, Anaucaria Spp, Podocarpus Spp, Lergenia Spp, Albitzia Spp, Anooynaeche, Araceae dan rotan. Jenis kayu komersial yang dihasilkan dihutan Irian Jaya adalah Merbau, Kasai, Rasak, Tumukmatoa, Nyatoh, Medang, dan Buitanggur.
g. Pertambangan dan Energi
Daerah Irian Jaya yang dikenal sebagai daerah yang potensial akan kandungan hidangan mineral dan sumber daya energi. Akan tetapi baru sebagian kecil saja endapan mineral dan sumber daya energi yang sudah diketahui dengan pasti tentang kuantitas dan kualitasnya.
Berdasarkan hasil penelitian serta pengamatan mengenai bahan galian, baik yang strategis (golongan A), vital (golongan B), atau golongan C, umumnya tersebar di seluruh kabupaten Irian Jaya, walaupun kualitas serta jumlah cadangannya belum diketahui dengan pasti.
Adapun jenis bahan galian dan lokasi di Irian Jaya adalah :
- Aluminium di Pegunungan Siklop, Pulau Misol (Kabupaten Jayapura)
- Arsenit di Kabupaten Paniai
- Bismut di Kabupaten Sorong
- Krom di Kabupaten Jayapura dan Merauke
- Tembaga di Kabupaten Jayapura, Gunung Ersberg, Pulau Senapan
- Emas di Kabupaten Jayapura, Sungai Dean, Siklop, Sungai Irian
- Besi di Kabupaten Senui
- Tanah hitam di Kabupaten Manokwari
- Mangaan di Kabupaten Sorong
- Nikel di Kabupaten Jayapura
- Perak di Kabupaten Jayapura
- Intan di Pulau Bantata, Pele
- Fosfat di Kabupaten Biak dan Irian
- Marmer di Kabupaten Jyapura dan Paniai
- Batubara di Horna, Dusner, Sungai Werapan
- Gambut di Kabupaten Jayapura dan Merauke
Dari berbagai jenis bahan galian tersebut yang saat ini sudah diusahakan/ditambang adalah :
a. bahan galian logam : tembaga
b. bahan galian bukan logam : gamping, lempung
c. bahan galian spategis : minyak bumi
Biji tembaga yang baru diusahakan oleh Freeport Indonsiamen terdapat di Ertsberg atau Tembagapura.
KONDISI KEPENDUDUKAN
a. Jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk
Dapat kita bandingkan disini melalui hasil sensus penduduk tahun 1980, jumlah penduduk propinsi Irian Jaya adalah sebesar 1.173.875 dan menurut hasil survey penduduk antar sensus tahun 1985, jumlah penduduk menjadi 1.370.973. Ini menunjukkan pada kurun waktu tersebut laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,85% per tahun. Begitu juga pada tahun 1971 sampai dengan tahun 1980 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,67 per tahun.
Kalau ditinjau per kabupaten, laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Jayapura menunjukkan angka tertinggi yaitu sebesar 4,62% per tahun. Sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk yang terendah terdapat di kabupaten Merauke yaitu sebesar 0,85% per tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut :
- Kota Jayapura merupakan ibukota propinsi sehingga mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk yang berpindah ke Jayapura baik yang berasal dari daerah asal propinsi Irian Jaya maupun yang berasal dari luar propinsi Irian Jaya.
- Faktor sarana dan prasarana kesehatan sudah lengkap sehingga mempengaruhi akan berkurangnya tingkat kematian bayi.
- Kabupaten Jayapura merupakan daerah penerima transmigrasi.
b. Komposisi umur dan jenis kelamin
Komposisi penduduk pada tahun 1988 menunjukkan bahwa 44,86% merupakan penduduk anak-anak yaitu penduduk yang berumur 0-14 tahun sedangkan penduduk dewasa berjumlah 55,14% (penduduk yang berumur 15 tahun keatas). Dengan semakin besarnya persentase komposisi penduduk usia anak-anak berarti menunjukkan makin berhasilnya di bidang kesehatan khususnya mengenai berkurangnya tingkat kematian bayi. Kalau kita lihat komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa penduduk Irian Jaya lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan dengan penduduk perempuan. Namun pada usia 0-4 tahun penduduk laki-laki lebih kecil daripada penduduk perempuan sedangkan pada kelompok usia 5-9 tahun dan seterusnya penduduk laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin diperinci per Kabupaten menunjukkan bahwa persentase penduduk laki-laki yang terbanyak terdapat di kabupaten Fak-Fak yaitu berjumlah 55,30% dari laki-laki dan perempuan, sedangkan yang terendah terdapat di kabupaten Yapen Waropen yaitu berjumlah 50,01% dari penduduk laki-laki dan perempuan.
c. Keadaan sosial ekonomi dan budaya daerah
Secara administratif propinsi Irian Jaya terdiri dari 9 kabupaten, 117 kecamatan dan 897 desa. Dari 897 desa tersebut hanya 19 desa (2,17%) yang berstatus swasembada, 772 desa (86,06%) berstatus swadaya, dan 110 desa (11,82%) berstatus swakarya. Untuk memperlancar pelaksanaan pemerintah dan pembangunan di Irian Jaya maka dibentuk 3 wilayah pembantu Gubernur yaitu :
- Wilayah I : meliputi kabupaten Jayapura, Paniai dan Jayawijaya
- Wilayah II : meliputi kabupaten Biak Numfor, Yapen Waropen, Manokwari dan Sorong
- Wilayah III : meliputi kabupaten Fak-Fak dan Merauke
Jayapura sebagai ibukota propinsi, yang sekaligus sebagai pusat administrasi pemeritahan mempunyai peranan penting dalam mengkoordinir kegiatan pemerintahan dan pembangunan di seluruh pelosok Irian Jaya.
d. Pendidikan
Di Irian Jaya tingkat kebutaan huruf masih cukup tinggi. Faktor-faktor ini disebabkan anatara lain karena :
- Banyak pria atau wanita dewasa yang telah mahir membaca, menulis namun kembali menjadi buta huruf karena tidak ada pembinaan secara kontinu.
- Mungkin terdapat sejumlah drop out SD yang tidak secara kontinu diberikan pelajaran membaca dan menulis sehingga kembali menjadi buta huruf.
- Para murid yang tidak lulus SD dan tidak mengulang sehingga menjadi drop out
- Arus transmigrasi spontan mungkin pula ada yang buta huruf
e. Kelompok etnis
Kelompok etnis di Irian Jaya dikelompokkan ke dalam kelompok etnis Irian Jaya dan kelompok etnis bukan Irian Jaya. Kelompok etnis Irian Jaya meliputi suku-suku asal Irian Jaya dengan latar belakang nilai budaya yang bervariasi. Suku-suku yang banyak penduduknya dan berpengaruh di masyarakat adalah suku Biak, Dani, Ekari, Arfak, Sentani, Waropen, Wandamen, Moi, Mubrat, Marindanim dan Muyu Mandobo. Kelompok etnis asal luar Irian Jaya yang menonjol antar lain kelompok Batak, Jawa, Sunda, Makasar, Bugis, Toraja, Minahasa dan Maluku.
f. Agama
Menunjukkan bahwa 64,67% penduduk Irian Jaya beragama Kristen Protestan, diikuti 23,32% penduduk beragama Katolik, 12,10% penduduk beragama Islam, 0,04% penduduk beragama Hindu dan 0,07% penduduk beragama Budha. Penduduk asli Irian Jaya biasanya beragama Kristen Protestan dan Katolik daripada agama Islam. Bia ditinjau dari konsentrasi penganut agama di tiap kabupaten maka 74,69% penduduk kabupaten Merauke beragama Katolik, lalu rata-rata 80% dan lebih penduduk kedelapan kabupaten lain beragama Kristen Protestan.
g. Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk memungkinkan komunikasi dua arah antara dua individu. Bahasa Indonesia yang diikrarkan sebagai bahasa nasional dan bahasa pemersatu harus aktif dikuasai oleh anggota masyarakat untuk saling berkomunikasi. Bahasa Indonesia berperan mentransfer nilai-nilai baru yang harus diterima dan dipahami oleh warga masyarakat dengan baik. Sebagai indikator untuk menilai intensif pemakaian bahasa Indonesia dan menunjukkan tentang kemampuan memakai bahasa Indonesia menurut umur di kota dan desa.
Didaerah kota persentase penduduk kedua jenis kelamin yang tidak berbahasa Indonesia sangat rendah untuk semua kelompok umur. Ini berarti hampir semua penduduk kota bisa berbahasa Indonesia. Lain hal nya di daerah pendesaan dimana persentase penduduk kedua jenis kelamin yang tidak berbahasa Indonesia untuk tiap kelompok umur tinggi, khususnya pada kelompok umur 0-4, 5-9 dan umur 25 tahun ke atas secara keseluruhan kaum wanita (kurang lebih 49,26%) yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Lalu untuk Irian Jaya, yaitu di daerah kota dan pendesaan, nampak masih banyak penduduk yang tidak bisa berbahasa Indonesia pada kelompok umur 0-4, 5-9 dan 25 tahun ke atas, khusunya kaum wanita.
Ibukota provinsi Irian Jaya Barat terletak di Manokwari, merupakan tempat pusat sejarah di Papua. Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua.
Provinsi Irian Jaya Barat ini meski telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya. Namun demikian keberadaan provinsi ini masih belum sepenuhnya diakui oleh DPRD Papua (induk). Provinsi ini juga telah mempunyai KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya tanggal 5 April 2004.
GEOGRAFI
a. Letak, batas dan luas wilayah
Wilayah propinsi Irian Jaya luas daratannya 414.800 km2 dengan panjang pantai kurang lebih 2.000 mil sehingga luas perairan mencapai kurang lebih 228.000 km2 dan terletak pada garis meridian antara :
- 01 derajat 11 menit 00 detik lintang selatan
10 derajat 45 menit 00 detik lintang selatan
- 129 derajat 30 menit 00 detik bujur timur
141 derajat 01 menit 10 detik bujur timur
- di bagian utara dibatasi oleh Samudera Pasifik, di sebelah timur dengan negara Papua New Guinea, di sebelah barat dengan propinsi Maluku dan sebelah selatan dengan Laut Arafura dan Samudera Indonesia serta benua Australia.
b. Topografi dan Iklim
Topografi Irian Jaya sangat bervariasi, mulai dari puncak yang sangat tinggi yang senantiasa bersalju (Puncak Jaya 5.500 meter, Puncak Trikora 5.160 meter dan Puncak Yaunis 5.100 meter) dan hampir 75% terdiri dari pegunungan dengan lereng-lereng tebing yang curam dengan dataran rendah yang berawa baik di bagian selatan (Dataran Digul), di bagian utara (dataran Mamberamo), serta dataran rendah Inanwatan di bagian barat.
Pada dataran rendah mengalir sungai-sungai yang besar dari daerah pegunungan pedalaman menuju pantai deperti Sungai Digul, Sungai Mamberamo, Sungai Warsamon, Sungai Kamudan dan masih banyak lagi sungai-sungai lainnya. Danau yang tersebar di beberapa daerah Tingkat II seperti Danau Sentani di daerah Tingkat II Jayapura, danau Tage, Tigi, dan Wagkete didaerah Tingkat II Painai, daerah Anggi di daerah Tingkat II Manokwari, Danau Ayamaru di daerah Tingkat II Sorong serta masih banyak lagi danau-danau kecil lainnya.
Iklim di Irian Jaya sangat dipengaruhi oleh letak astronomis maupun letak geografis, sehingga keadaan iklim beberapa daerah Irian Jaya berbeda-beda. Secara keseluruhan daerah Irian Jaya termasuk dalam golongan iklim tropis.
Curah hujan bervariasi (secara local) mulai 1.500 mm, sampai dengan 7.500 mm per tahun. Jumlah hari-hari hujan per tahun : Jayapura 160, Biak 125, Guarotali 250, Manokwari 140, Merauke 100.
Temperatur rata-rata pada daerah pantai berkisar 26 derajat celcius, 17 derajat celcius dengan rata-rata maksimum 32,1 derajat celcius, 30 derajat celcius dan rata-rata maksimum 24,4 derajat celcius, 21,2 derajat celcius, sedangkan rata-rata mutlak maximum berkisar antar 36,1 derajat celcius, 33,2 derajat celcius dan rata-rata mutlak minimum antar 21,5 derajat celcius, 13,5 derajat celcius. Temperatur daerah pegunungan pada umumnya berbeda secara gradual menurut ketinggiannya, yaitu dengan rata-rata penurunan 0,2 derajat celcius untuk setiap kenaikan setinggi 100 meter diatas permukaan laut.
c. Flora dan Fauna
Irian Jaya yang berada diujung paling timur Indonesia mempunyai flora dan fauna endemic serta spesifik. Untuk flora, terdapat berbagai jenis tumbuhan berkayu (Pometiasp) dan jenis tumbuhan epyphit (Anggrek). Untuk fauna, terdapat berbagai jenis mamalia (binatang berkantong) dan berbagai jenis aves (cendrawasih, kasuari), reptil (buaya), dan hiekta (kupu-kupu).
Di Irian Jaya terdapat kurang lebih 10 spesies flora, 650 jenis burung, 253 jenis reptil, 6000 jenis ikan, 154 jenis mamalia, dan 50.000 jenis serangga. Hutan Irian Jaya yang luas dengan jumlah flora yang kaya (kurang lebih 10.000 jenis) mulai dari tumbuhan lumut sampai dengan pohon berkayu terdapat pada Zone serta type vegetasi yang lengkap, vegetasi pantai hingga vegetasi alpin.
POTENSI DAERAH
a. Wilayah
Luas wilayah Irian Jaya 414.800 km2, bila dibandingkan dengan luas wilayah seluruh Indonesia adalah 21,9% dengan luas masing-masing kabupaten Daerah Tingkat II adalah :
- Jayapura : 62.433 km2
- Jayawijaya : 52.916 km2
- Merauke : 119.749 km2
- Fak-Fak : 45.552 km2
- Sorong : 34.213 km2
- Biak Wunfon : 3.130 km2
- Manokwari : 37.901 km2
- Paniai : 40.160 km2
- Yapen Waropen : 18.746 km2
Jumlah : 414.800 km2
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa lebih 75% dari wilayah Irian Jaya masih tertutup oleh hutan hujan tropis, dalam hutan tersebut tumbuh komditi-komoditi yang bernilai ekonomis seperti kayu, rotan, damar, kayu putih, lawang, sagu, dan masih banyak komoditi lainnya yang cukup potensial. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986 kawasan hutan Irian Jaya terinci sebagai berikut :
1. Hutan Cagar Alam 73.700 km2
2. Hutan Lindung 105.000 km2
3. Hutan Produksi Terbatas 46.300 km2
4. Hutan Produksi Biasa 80.300 km2
5. Hutan Konversi 97.600 km2
6. Lain-lain 11.900 km2
414.800 km2
b. Pertanian
Luas daratan Irian Jaya sudah diidentifikasi cocok untuk pembangunan skala besar 11,85 juta Ha. Cocok untuk pertanian pangan lahan basah dan lahan kering. Lahan yang cocok untuk pengembangan pertanian berada di dataran rendah daerah selatan. Didapati juga disini areal yang cocok untuk pertanian lahan kering, sedangkan rawa-rawa musiman cocok untuk pertanian lahan basah. Di Pegunungan Jayawijaya tidak ada daerah yang diidentifikasikan cocok untuk pertanian skala besar. Bervariasi iklim geologi dan topografi mnyebabkan bervariasinya jenis tanah yang diklasifikasi menjadi 7 jenis yaitu : organosol 3 juta Ha, mediteran I 200 Ha, podsolik merah kuning, mediteran II 200.000 Ha, rensunia 300.000 Ha, latosol 300.000 Ha, tanah kompleks seluas 23.000.000 Ha.
Untuk pengembangan budidaya tanaman pangan yang secara khusus dicanangkan tanah seluas 11.775.420 Ha. Perkembangan luas tanaman pangan Irian Jaya sampai pada keadaan tahun 1988 ini telah mencapai luas sekitar 548.253,75 Ha. Yang tersebar diseluruh kabupaten Daerah Tingkat II se Irian Jaya. Dari luas lahan pertanian tanaman pangan ini terdiri dari :
- lahan sawah irigasi : 3.837 Ha
- lahan sawah tadah hujan : 16.464,5 Ha
- lahan tegal : 474.475 Ha
- lahan pekarangan : 53.477,25 Ha
Terperinci 96,30% berupa tanah kering, 0,7% tanah sawah irigasi dan 3% tanah sawah tadah hujan. Pembangunan sektor pertanian tanaman pangan selain untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk di bidang pangan menuju swasembada meningkatan pendapatan petani (hampir 90% merupakan petani tradisional) juga sekaligus untuk memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan ekspor dan meningkatkan pembangunan pertanian di pendesaan.
c. Perkebunan
Propinsi Irian Jaya termasuk daerah yang memiliki potensi perkebunan yang cukup besar terutama budidaya coklat di Sarui, Sabron, Waruare, Wandamen, Ransiki, Mriboran dan Pulau Yapen. Budidaya karet di Akimuga, Munting, Endera, Mappi, Digul, Muyu, Sausapon. Budidaya kopi di Moanemani, Bokondini, Kebar, Ayamaru.
Pada tahun 1970 terbentuk seksi perkebunan Irian Jaya dan kebijaksanaan pembangunan adalah mengikuti Tridharma Perkebunan yaitu :
- penciptaan lapangan pekerjaan
- peningkatan pendapatan devisa
- pemeliharaan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
Bentuk kegiatan dan pelaksanaan pembangunan adalah berupa usaha rehabilitasi atau peremajaan, instensifikasi dan perluasan tanaman dengan pengarahan potensi dan pengarahan dana-dana yang berbentuk anggaran pemerintah, kredit dalam dan luar negri serta dana masyarakat. Khusus untuk komoditi perkebunan kelapa, coklat, kopi merupakan sumber pendapatan sebagian besar petani dan penghasil devisa bagi Irian Jaya. Lokasi perkebunan di kabupaten Irian Jaya seluas kurang lebih 1.532.000 Ha.
d. Peternakan
Pada tahun 1963, pemerintah telah mengembangkan ternak sapi di kabupaten Merauke yaitu sapi Onggole sebanyak 150 ekor dan sapi Bali 50 ekor dan populasinya berkembang pesat menjadi 350 ekor pada tahun 1966. Adapun ternak yang dikembangkan di Irian Jaya adalah ternak sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan kuda dengan jumlah ternak pada tahun 1988 masing-masing sapi 24.760 ekor, kerbau 377 ekor, kambing 32.807 ekor, domba 7.144 ekor, babi 519.290 ekor dan kuda 1.783 ekor. Dengan luas padang pengangonan 5.320,25 Ha. Disamping mempunyai potensi pengembangan padang alang-alang dan stepa seluas 4.434.000 Ha. Sangat memungkinkan untuk diisi dengan ternak herbivora.
Walaupun produksi sudah meningkat, kebutuhan bahan pangan asal ternak di Irian Jaya belum dapat dipenuhi dengan produksi local, sehingga pemotongan ternak yang tinggi menghambat pertumbuhan populasi serta terpaksa ada pemasukan produk perternakan dari luar Irian Jaya untuk memenuhi kebutuhan.
e. Perikanan
Keadaan perikanan di Irian Jaya dimana panjang pantai yang mengelilingi daratan kurang lebih 2.000 mil laut mengandung potensi perikanan yang cukup besar. Diperkirakan untuk seluruh jenis hasil perikanan 400.000 ton/tahun.
Luas perairan umum berupa danau, sungai, rawa kurang lebih 515.000 Ha. Potensi produksi lestari perairan umum adalah 13.300 ton/tahun. Laut Irian Jaya mengandung berbagai jenis hasil laut berupa ikan dan non ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang dapat dikelompokan dalam 4 kelompok besar yaitu :
1. Jenis ikan
Di laut Irian Jaya didapati 63 jenis ikan yang komersial yang terdiri dari jenis pelogis dan jenis demersal. Jenis ikan pelogis yang penting terdiri dari Fanuli (Katsuwonus Pelamis), Komo (Euthynnus Yato) dan Tongkol (Anxismuru), Famili Thumride seperti Albrcona, Modidikang, dan Famili Cybiidal seperti Tenggiri dan Bonito. Di perairan Sorong cukup padat karena kondisi oceanografis perairan sangat baik untuk tuna.
2. Jenis udang
Jenis udang yang paling banyak dalam komposisi penangkapan.ialah Penacus Mergulusis dan Banana Prawn, menyusul Metapenacus dan Edevour.
3. Jenis kerang (Mollusca)
Perairan karang dengan teluk yang terlindung merupakan lingkungan untuk kerang mutiara maupun kerang yang dimakan. Jenis kerang yang terdapat di Irian Jaya adalah kerang mutiara (Pinatoda, Maxim, Bialola, Trockus Skell, Bia Bulan, Grenu Snail), dan Pla-Pla (Pinatoda Margatifera).
4. Hasil laut lain
Hasil laut bukan ikan seperti cumi-cumi (Holigo Sp), Stong (Holocentrum Nunbrum), Ubur-ubur (Slydro Melusa), dan Lobster merupakan hasil ikatan dalam penangkapan dengan jarring menggunakan lampu (light fissing). Jenis penyu adalah penyu hijau (Chelonia Mydos Sp), penyu sisik (Eretomodrelys Hibricata Sp), penyu raksasa (Dermochelys Sp) dan berbagai jenis rumput laut (Euchema Sp). Dan juga terdapat jenis ikan laut yang sudah berdopsi seperti Hiu Gergaji (Charcharios Sp), Belanak (Nungil Cephalus), Bubara (Charons), Bandeng (Chamos Chanos) dan Kakap (Lotes Calcariter).
Perairan di Irian Jaya berupa danau, sungai dan rawa dengan luas kurang lebih 515.000 Ha. Pemanfaatan perairan umum untuk pengembangan budidaya ikan sudah dilakukan Belanda sejak tahun 1938 dengan penebaran benih di danau-danau dan di sungai-sungai. Kegiatan di bidang usaha perikanan sampai saat ini sudah banyak memberi sumbangan bagi peningkatan konsumsi protein masyarakat serta peningkatan penerimaan devisa melalui export hasil-hasil perikanan yaitu dalam perikanan rakyat dan perikanan industri.
f. Kehutanan
Di Irian Jaya telah ditetapkan kawasan hutan atau hutan tetap seluas 28.816.270 Ha (70,17%) dan hutan konvensi 11.775.420 Ha (28,676%). Dalam Tata Guna Hutan dan Kesepakatan (TGHK), fungsi hutan adalah :
- Hutan suaka alam dan hutan wisata 8.311.820 Ha
- Hutan lindung 8.648.610 Ha
- Hutan produksi terbatas 4.732.360 Ha
- Hutan produksi tetap 7.123.480 Ha
- Hutan produksi konvensi 11.755.420 Ha
- Lain-lain 474.310 Ha
Luas areal seluruhnya 40.591.690 Ha
Jenis kayu yang tumbuh di hutan alam Irian Jaya tidak kurang 255 jenis, diantaranya tidak kurang 100 jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Jenis kayu yag terdapat di hutan hijau adalah Intsia Sp, Pometia Spp, Palaqucum Spp, Koondersiodendrous Spp, Agathislabillardieri, Anaucaria Spp, Podocarpus Spp, Lergenia Spp, Albitzia Spp, Anooynaeche, Araceae dan rotan. Jenis kayu komersial yang dihasilkan dihutan Irian Jaya adalah Merbau, Kasai, Rasak, Tumukmatoa, Nyatoh, Medang, dan Buitanggur.
g. Pertambangan dan Energi
Daerah Irian Jaya yang dikenal sebagai daerah yang potensial akan kandungan hidangan mineral dan sumber daya energi. Akan tetapi baru sebagian kecil saja endapan mineral dan sumber daya energi yang sudah diketahui dengan pasti tentang kuantitas dan kualitasnya.
Berdasarkan hasil penelitian serta pengamatan mengenai bahan galian, baik yang strategis (golongan A), vital (golongan B), atau golongan C, umumnya tersebar di seluruh kabupaten Irian Jaya, walaupun kualitas serta jumlah cadangannya belum diketahui dengan pasti.
Adapun jenis bahan galian dan lokasi di Irian Jaya adalah :
- Aluminium di Pegunungan Siklop, Pulau Misol (Kabupaten Jayapura)
- Arsenit di Kabupaten Paniai
- Bismut di Kabupaten Sorong
- Krom di Kabupaten Jayapura dan Merauke
- Tembaga di Kabupaten Jayapura, Gunung Ersberg, Pulau Senapan
- Emas di Kabupaten Jayapura, Sungai Dean, Siklop, Sungai Irian
- Besi di Kabupaten Senui
- Tanah hitam di Kabupaten Manokwari
- Mangaan di Kabupaten Sorong
- Nikel di Kabupaten Jayapura
- Perak di Kabupaten Jayapura
- Intan di Pulau Bantata, Pele
- Fosfat di Kabupaten Biak dan Irian
- Marmer di Kabupaten Jyapura dan Paniai
- Batubara di Horna, Dusner, Sungai Werapan
- Gambut di Kabupaten Jayapura dan Merauke
Dari berbagai jenis bahan galian tersebut yang saat ini sudah diusahakan/ditambang adalah :
a. bahan galian logam : tembaga
b. bahan galian bukan logam : gamping, lempung
c. bahan galian spategis : minyak bumi
Biji tembaga yang baru diusahakan oleh Freeport Indonsiamen terdapat di Ertsberg atau Tembagapura.
KONDISI KEPENDUDUKAN
a. Jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk
Dapat kita bandingkan disini melalui hasil sensus penduduk tahun 1980, jumlah penduduk propinsi Irian Jaya adalah sebesar 1.173.875 dan menurut hasil survey penduduk antar sensus tahun 1985, jumlah penduduk menjadi 1.370.973. Ini menunjukkan pada kurun waktu tersebut laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,85% per tahun. Begitu juga pada tahun 1971 sampai dengan tahun 1980 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,67 per tahun.
Kalau ditinjau per kabupaten, laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Jayapura menunjukkan angka tertinggi yaitu sebesar 4,62% per tahun. Sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk yang terendah terdapat di kabupaten Merauke yaitu sebesar 0,85% per tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut :
- Kota Jayapura merupakan ibukota propinsi sehingga mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk yang berpindah ke Jayapura baik yang berasal dari daerah asal propinsi Irian Jaya maupun yang berasal dari luar propinsi Irian Jaya.
- Faktor sarana dan prasarana kesehatan sudah lengkap sehingga mempengaruhi akan berkurangnya tingkat kematian bayi.
- Kabupaten Jayapura merupakan daerah penerima transmigrasi.
b. Komposisi umur dan jenis kelamin
Komposisi penduduk pada tahun 1988 menunjukkan bahwa 44,86% merupakan penduduk anak-anak yaitu penduduk yang berumur 0-14 tahun sedangkan penduduk dewasa berjumlah 55,14% (penduduk yang berumur 15 tahun keatas). Dengan semakin besarnya persentase komposisi penduduk usia anak-anak berarti menunjukkan makin berhasilnya di bidang kesehatan khususnya mengenai berkurangnya tingkat kematian bayi. Kalau kita lihat komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa penduduk Irian Jaya lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan dengan penduduk perempuan. Namun pada usia 0-4 tahun penduduk laki-laki lebih kecil daripada penduduk perempuan sedangkan pada kelompok usia 5-9 tahun dan seterusnya penduduk laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin diperinci per Kabupaten menunjukkan bahwa persentase penduduk laki-laki yang terbanyak terdapat di kabupaten Fak-Fak yaitu berjumlah 55,30% dari laki-laki dan perempuan, sedangkan yang terendah terdapat di kabupaten Yapen Waropen yaitu berjumlah 50,01% dari penduduk laki-laki dan perempuan.
c. Keadaan sosial ekonomi dan budaya daerah
Secara administratif propinsi Irian Jaya terdiri dari 9 kabupaten, 117 kecamatan dan 897 desa. Dari 897 desa tersebut hanya 19 desa (2,17%) yang berstatus swasembada, 772 desa (86,06%) berstatus swadaya, dan 110 desa (11,82%) berstatus swakarya. Untuk memperlancar pelaksanaan pemerintah dan pembangunan di Irian Jaya maka dibentuk 3 wilayah pembantu Gubernur yaitu :
- Wilayah I : meliputi kabupaten Jayapura, Paniai dan Jayawijaya
- Wilayah II : meliputi kabupaten Biak Numfor, Yapen Waropen, Manokwari dan Sorong
- Wilayah III : meliputi kabupaten Fak-Fak dan Merauke
Jayapura sebagai ibukota propinsi, yang sekaligus sebagai pusat administrasi pemeritahan mempunyai peranan penting dalam mengkoordinir kegiatan pemerintahan dan pembangunan di seluruh pelosok Irian Jaya.
d. Pendidikan
Di Irian Jaya tingkat kebutaan huruf masih cukup tinggi. Faktor-faktor ini disebabkan anatara lain karena :
- Banyak pria atau wanita dewasa yang telah mahir membaca, menulis namun kembali menjadi buta huruf karena tidak ada pembinaan secara kontinu.
- Mungkin terdapat sejumlah drop out SD yang tidak secara kontinu diberikan pelajaran membaca dan menulis sehingga kembali menjadi buta huruf.
- Para murid yang tidak lulus SD dan tidak mengulang sehingga menjadi drop out
- Arus transmigrasi spontan mungkin pula ada yang buta huruf
e. Kelompok etnis
Kelompok etnis di Irian Jaya dikelompokkan ke dalam kelompok etnis Irian Jaya dan kelompok etnis bukan Irian Jaya. Kelompok etnis Irian Jaya meliputi suku-suku asal Irian Jaya dengan latar belakang nilai budaya yang bervariasi. Suku-suku yang banyak penduduknya dan berpengaruh di masyarakat adalah suku Biak, Dani, Ekari, Arfak, Sentani, Waropen, Wandamen, Moi, Mubrat, Marindanim dan Muyu Mandobo. Kelompok etnis asal luar Irian Jaya yang menonjol antar lain kelompok Batak, Jawa, Sunda, Makasar, Bugis, Toraja, Minahasa dan Maluku.
f. Agama
Menunjukkan bahwa 64,67% penduduk Irian Jaya beragama Kristen Protestan, diikuti 23,32% penduduk beragama Katolik, 12,10% penduduk beragama Islam, 0,04% penduduk beragama Hindu dan 0,07% penduduk beragama Budha. Penduduk asli Irian Jaya biasanya beragama Kristen Protestan dan Katolik daripada agama Islam. Bia ditinjau dari konsentrasi penganut agama di tiap kabupaten maka 74,69% penduduk kabupaten Merauke beragama Katolik, lalu rata-rata 80% dan lebih penduduk kedelapan kabupaten lain beragama Kristen Protestan.
g. Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk memungkinkan komunikasi dua arah antara dua individu. Bahasa Indonesia yang diikrarkan sebagai bahasa nasional dan bahasa pemersatu harus aktif dikuasai oleh anggota masyarakat untuk saling berkomunikasi. Bahasa Indonesia berperan mentransfer nilai-nilai baru yang harus diterima dan dipahami oleh warga masyarakat dengan baik. Sebagai indikator untuk menilai intensif pemakaian bahasa Indonesia dan menunjukkan tentang kemampuan memakai bahasa Indonesia menurut umur di kota dan desa.
Didaerah kota persentase penduduk kedua jenis kelamin yang tidak berbahasa Indonesia sangat rendah untuk semua kelompok umur. Ini berarti hampir semua penduduk kota bisa berbahasa Indonesia. Lain hal nya di daerah pendesaan dimana persentase penduduk kedua jenis kelamin yang tidak berbahasa Indonesia untuk tiap kelompok umur tinggi, khususnya pada kelompok umur 0-4, 5-9 dan umur 25 tahun ke atas secara keseluruhan kaum wanita (kurang lebih 49,26%) yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Lalu untuk Irian Jaya, yaitu di daerah kota dan pendesaan, nampak masih banyak penduduk yang tidak bisa berbahasa Indonesia pada kelompok umur 0-4, 5-9 dan 25 tahun ke atas, khusunya kaum wanita.
7 UNSUR KEBUDAYAAN
Masyarakat Arfak di Anggi, Manokwari, Irian Jaya
Masyarakat Arfak merupakan penduduk asli daerah pedalaman Manokwari. Nama Arfak diambil dari nama gunung yang ada di pedalaman Kabupaten Manokwari., yaitu Gunung Arfak yang berarti “besar”. Suku bangsa yang merupakan warga masyarakat itu terdiri dari empat sub suku bangsa, yaitu :
1. Orang Meyakh yang mendiami daerah kecamatan Manokwari, kecamatan Warmare dan Sidey
2. Orang Moile yang mendiami daerah Warmare dan Manokwari
3. Orang Hatam yang tinggal tersebar di daerah kecamatan Oransbari dan Manokwari
4. Orang Manikion yang mendiami daerah kecamatan Anggi, Merdey, Bintuni dan Ransiki.
Manikion adalah nama yang diberikan orang luar kepada mereka, tetapi yang tidak disukai oleh yang bersangkutan karena maknanya yang tidak sopan dan sangat merendahkan. Nama yang mereka pakai sendiri adalah Sough.
Batas-batas geografi
Sebagian dari mereka (sebanyak 6.749 jiwa) berdomisili di kecamatan Anggi. Daerah Anggi dianggap sebagai pusat persebaran orang Arfak. Kecamatan Anggi di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Warmare, di sebelah barat dengan kecamatan Kebar, di sebelah selatan dengan kecamatan Merdey dan Bintuni dan di sebelah timur dengan kecamatan Ransiki.
Orang Arfak yang tinggal di daerah Anggi dan sekitarnya berada pada ketinggian kurang lebih 700 – 2.000 m di atas permukaan laut. Pusat kecamatan Anggi sendiri berada di desa Iraiwery di tepi Danau Anggi Giji. Kecamatan Anggi yang luasnya sekitar 1.407 km, terdiri dari delapan desa. Jarak antara desa-desa itu berada dekat Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Githa yang berada pada ketinggian kurang lebih 1.800 m dari permukaan laut, dengan suhu terendah 10 derajat Celcius dan suhu tertinggi 21,5 derajat Celcius. Perjalanan dari ibukota kabupaten ke Anggi ditempuh dengan pesawat udara dan dengan berjalan kaki kurang lebih dua sampai tiga hari.
Keadaan alam
Jenis tanah di Anggi berbentuk dari batuan-batuan sedimen yang kaya akan mineral, kapur dan kwarsa. Tanahnya tergolong kurang subur, tetapi tanah endapan Danau Anggi dan tanah dataran di tepi sungai kecil merupakan tanah yang subur yang dapat digunakan untuk berladang, namun sangat terbatas luasnya.
Jenis vegetasi di daerah kecamatan Anggi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu hutan primer, dengan jenis pohon-pohon Podocarpus Sp, Dacridium Sp dan jenis pohon-pohon yang dalam bahasa Sough disebut Wainu (Dodonea Viscosa). Di daerah hutan sekunder (bekas ladang) dan daerah berbukit-bukit tumbuh berbagai jenis pohon pakis serta alang-alang.
Cagar alam pegunungan Arfak masih menyimpan banyak misteri yang sampai kini belum terungkap, mulai dari kehidupan flora-fauna, termasuk ribuan jenis tumbuhan anggrek, legenda ikan Houn (sejenis belut) di dua danau yang diapit oleh sebuah “perbukitan firdaus” bernama bukit Kobrey. Dua danau itu adalah Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gita yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Kehidupan seputar goa-goa, termasuk goa yang kedalamannya mencapai 2000 meter juga masih menyimpan selaksa misteri.
Pegunungan Arfak ini adalah ekosistem yang mewakili tanah Irian Jaya oleh karena dihuni beberapa habitat yang dilindungi, seperti kehidupan berbagai jenis satwa seperti kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera-sp) yang menjadi buruan kolektor kupu-kupu internasional. Kupu-kupu jenis ini oleh masyarakat suku Arfak sudah ditangkarkan. Salah satunya di kampung Iray, di dekat danau Anggi Giji. Kawasan ini dihuni pula oleh Cendrawasih Arfak (Astrapia-nigra). Berbagai jenis tumbuhan antara lain pohon Arwob atau Dodonia fiscosa, tumbuhan khas pegunungan Arfak. Juga terdapat kayu Masohi yang rasanya pedas seperti permen menthol, berguna untuk penambah selera makan. Dan masih banyak kekayaan flora-fauna lagi yang menghuni wilayah ini.
Menurut data pemerintah kabupaten Manokwari, pegunungan Arfak ini memiliki tidak kurang 110 jenis mamalia, 333 jenis burung, yang beberapa jenis merupakan endemik, pegunungan Arfak. Salah satunya adalah burung Namdur Polos (Bowerd Bird). Burung ini, oleh suku Arfak dinamai burung Mbrecew, yang berarti pintar atau pandai berkicau, oleh karena bisa menirukan suara-suara lain dan bunyi apa saja. Burung ini juga mampu membuat sarang (bower) dari dedaunan, rumput kering, dan tangkai anggrek hutan, yang dibuat menyerupai rumah dan meletakkannya di atas pohon maupun di tanah.
Jumlah penduduk dan persebarannya
Pelaksanaan sensus penduduk pada akhir tahun 1995 dan awal 1996 mencatat jumlah penduduk sebanyak 6.749 jiwa yang hidup tersebar di delapan desa. Orang Arfak juga termasuk ras Melanosoid, dengan bentuk tubuh yang ramping dan pendek tetapi tegap, seperti penduduk daerah Pegunungan Tengah Irian Jaya pada umumnya. Tinggi badan rata-rata pria Arfak adalah 158 cm dan wanita tingginya rata-rata 147 cm.
7 UNSUR KEBUDAYAAN SUKU ARFAK
1. Sistem Teknologi
Sebelum para penyuluh pertanian memperkenalkan alat-alat untuk berladang seperti kapak, pacul dan garpu, mereka hanya bercocok tanam didaerah kosong di sekitar batang pohon yang tumbang dengan menggunakan alat tradisional yaitu mu’gha atau tongkat tugal. Cara yang mereka gunakan untuk bercocok tanam pun masih dengan menebas dan membakar hutan di tanah datar yang di anggap subur. Kecuali itu mereka juga berupaya memperluas lahan ke bagian tanah yang masih kosong di luar hak ulayat yang jelas. Jenis tanaman yang dianggap berkualitas baik lebih diutamakan untuk diual daripada untuk dimakan.
Diladang yang rata-rata luasnya 0,2-0,5 Ha ini, para pria yang membuka hutan dengan kapak dan parang kemudian membuat pagar sekeliling kebun untuk menghindari serangan binatang terhadap tanaman-tanaman mereka dengan memanfaatkan kayu tebangan. Tinggi pagar rata-rata 1,5 – 2m, dengan pintu masuk ke dalam kebun setinggi 1m. Kaum wanita dan anak-anak bertugas membersihkan hutan yang telah dibuka, menanam, memelihara dan memanen hasil ladang. Tanah ladang yang diusahakan oleh masyarakat pada umumnya dimiliki secara komunal.
Mata pencaharian tambahan mereka adalah berburu. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat dari bambu dan nibung yang sudah tua, serta gelagah. Aktivitas ini hanya dilakukan oleh pria dan anak-anak mereka. Mata pencaharian lainnya yang mulai banyak dilakukan adalah menangkap ikan mujair dan belut di tepi danau Anggi. Sebelum mengenal kail dan nylon, mereka menggunakan alat tradisional yang disebut anghrom, yang dibuat dari serat akar pohon pandan. Kail dengan umpan cacing yang diikat pada ujung talinya kemudian diletakkan di tengah air danau yang dianggap mengandung ikan belut. Anghrom itu dibiarkan beberapa waktu dan diangkat apabila ikan telah tertangkap. Alat tradisional lainnya adalah imboisi, yang terbuat dari batang kayu atau nibung yang berlubang (atau sengaja dilubangi), yang dapat ditenggelamkan ke dalam air. Dengan bantuan batu sebagai pemberat, imboisi diangkat setelah kurang lebih satu malam, atau kalau diketahui sudah ada ikan belut didalamnya. Untuk waktu sekarang mereka lebih banyak menggunakan busur panah, nylon yang bermata kail atau jaring. Untuk menebarkan jaring mereka juga bisa menggunakan perahu bercadik. Adapun alat transportasi tradisional mereka adalah erkemaa, yang dibuat dari tiga batang pohon nibung yang disatukan dengan kayu pada ujungnya lalu diikat dengan tali rotan sehingga berbentuk rakit,
2. Sistem Religi
Orang Arfak yakin bahwa dunia dan alam diciptakan oleh Ajemoa, dewa yang bertempat di langit. Mereka yakin bahwa nenek moyang mereka adalah manusia pertama ciptaan Ajemoa, yakni Siba, yang mempunyai tiga orang anak yaitu dua anak pria, Iba dan Aiba, dan seorang anak perempuan bernama Towansiba. Aiba yang berkulit bule pergi ke arah barat dengan janji bahwa pada suatu waktu ia akan kembali, apabila kedua saudaranya berada dalam keadaan bahaya. Iba, yang melanggar suatu peraturan Ajemoa, dikutuk dan harus hidup di dunia fana untuk selama-lamanya. Ia mempunyai banyak keturunan yang tinggal di daerah Anggi, kemudian menyebar ke daerah Bintuni, Merdey, Fak-Fak, Wendamen, seluruh daerah kepala burung dan Irian Jaya bagian barat. Keturunan Iba yang langsung adalah klen Ahoran, Saiba, Iyomusi dan Mandacan. Dari klen-klen itulah para pemimpin adat dan para kepala desa dipilih.
Orang Arfak juga masih yakin akan adanya roh-roh orang yang telah meninggal, yang menurut mereka masih melayang-layang atau tinggal di sensenemes dan mengenyu, yaitu dua gunung yang dianggap keramat karena semua roh orang mati bertempat tinggal di sana. Gunung ini masih tertutup oleh hutan lebat yang sangat sulit dilalui dan tidak boleh dijelajahi, karena akan menimbulkan bencana bagi mereka atau kepada orang yang pergi ke gunung tersebut.
Kecuali didiami oleh roh-roh orang yang telah meninggal dunia, orang Arfak juga yakin bahwa alam sekitar tempat tinggal mereka juga ada berbagai macam roh lain, yang baik maupun yang jahat. Karena itu manusia perlu tetap memelihara hubungan baik dengan roh-roh itu dengan memberikan berbagai macam sajian pada berbagai rangkaian upacara tetap.
Dalam sistem religi orang Arfak, ilmu gaib merupakan suatu unsur yang masih hidup luas. Akuai adalah ilmu gaib penolak yang banyak dipergunakan dalam ilmu dukun untuk menyembuhkan orang sakit dan dalam upacara-upacara menolak bahaya. Bereyton adalah ilmu gaib produktif yang banyak dipergunakan dalam upacara-upacara kesuburan dan upacara pertanian, sedang moumweb adalah ilmu gaib destruktif yang banyak dipakai dalam ilmu sihir untuk menghancurkan orang lain yang menjadi saingannya, musuhnya atau sekedar untuk balas dendam. Dukun yang ahli dalam ilmu gaib disebut imperiyet.
Seperti dalam semua masyarakat di dunia, religi orang Arfak berperan pada saat ada kematian. Menurut keyakinan mereka, apabila orang meninggal, jiwanya meninggalkan tubuhnya lalu menjadi roh dan berkeliaran di alam sekitar tempat tinggal manusia. Roh memerlukan waktu yang cukup lama sebelum ia dapat melepaskan diri dari ikatan tempat ia hidup cukup lama, yaitu dalam tubuh seseorang. Itulah sebabnya alam sekitar tempat tinggal manusia itu pernuh dengan roh-roh manusia yang telah meninggal. Roh-roh itu dapat menolong, tetapi dapat juga menganggu manusia. Baru sesudah beberapa tahun, roh akan pergi dan tinggal di dunia roh yang menurut keyakinan orang Arfak ada di puncak pegunungan yang tinggi.
Dahulu orang yang meninggal diletakkan di dalam lubang yang dibuat di bagian yang tinggi dari batang sebuah pohon. Jenazah diletakkan dengan upacara yang sederhana. Sesudah kira-kira enam bulan, sisa-sisa jenazah yang sudah hancur diambil kembali, dibungkus dengan kulit kayu dan diletakkan di atas pohon di hutan jauh dari desa. Karena pengaruh agama Kristen, jenazah orang sekarang dikubur dengan upacara agama Kristen.
3. Sistem Bahasa
Bahasa-bahasa yang diujar oleh orang Arfak, oleh para ahli linguistik digolongkan ke dalam dua phylum. Bahasa kedua phylum itu merupakan dua diantara sepuluh phylum bahasa Non-Austronesia yang ada di Irian Jaya. Bahasa orang Arfak ini diteliti oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) UNCEN, Irian Jaya, dalam tahun 1981 yang juga membuat pembagian pada suatu peta persebaran yang jelas. Dua phylum tersebut adalah 1. bahasa Hatam dan Moile ke dalam West Papuan Phylum, Bird’s Head Superstocks, dan 2. Bahasa Meyakh serta bahasa Manikion ke dalam East Bird’s Head Phylum Level Stock.
4. Sistem Mata Pencaharian
Berkebun dengan cara berpindah-pindah adalah mata pencaharian pokok orang Arfak. Kebun dibiarkan tumbuh kembali menjadi hutan sesudah satu atau dua kali panen. Masa bera dari lahan tidak tentu lamanya. Biasanya, apabila pohon-pohon dalam suatu lahan hutan sekunder telah mencapai tinggi kurang lebih 10-15 m, orang Arfak menganggap bahwa tanah itu sudah cukup subur untuk diolah lagi.
Seperti telah dikatakan di atas, tingkat kesuburan ladang pada umumnya rendah karena tipisnya lapisan-lapisan tanah endapan Danau Anggi dan karena sempitnya tanah dataran itu. Daerah lereng-lereng gunung dan perbukitan sekitar Anggi kelihatannya belum banyak dibuka menjadi kebun.
Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi jalar dan keladi, disamping pepaya, pisang dan sayur-sayuran (terutama bayam). Setelah mereka mengenal alat-alat pertanian dan jenis-jenis pertanian berkualitas tinggi seperti kentang, bawang, wortel, kol, buncis, sawi dan seledri yang dibawa dari luar, dalam dasawarsa 1950-an usaha bercocok tanam dapat ditingkatkan.
Pola pertanian yang mulai berlaku setelah mereka mulai tinggal menetap dengan agak teratur akhir-akhir ini, adalah mengusahakan lahan yang ada disekitar daerah pemukiman atau halaman dengan tanaman yang bervariasi seperti tersebut di atas, ditambah dengan tanaman kacang tanah, kapri, jagung dan tebu. Diladang yang rata-rata luasnya 0,2-0,5 Ha ini, para pria yang membuka hutan dengan kapak dan parang kemudian membuat pagar sekeliling kebun untuk menghindari serangan binatang terhadap tanaman-tanaman mereka dengan memanfaatkan kayu tebangan. Tinggi pagar rata-rata 1,5 – 2m, dengan pintu masuk ke dalam kebun setinggi 1m. Kaum wanita dan anak-anak bertugas membersihkan hutan yang telah dibuka, menanam, memelihara dan memanen hasil ladang. Tanah ladang yang diusahakan oleh masyarakat pada umumnya dimiliki secara komunal.
Pemanfaatan hutan bagi mereka selain sebagai sarana ladang berpindah-pindah juga sebagai arena berburu yang merupakan sumber protein hewani mereka, dan akhir-akhir ini juga sumber daging panggang yang dijual oleh orang Arfak. Mereka kini lebih lama tinggal di pondok dalam hutan untuk berburu dan membuat daging asap (panggang) daripada tinggal di kampung. Setelah hasil buruan cukup banyak terkumpul, mereka kembali ke hutan selama satu sampai dua minggu.
Berburu hanya merupakan mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani atau sebagai selingan saja. Binatang yang banyak diburu adalah tikus tanah, kus-kus dan kangguru pohon, sedangkan babi hutan dikonsumsi dan dipelihara. Aktivitas ini hanya dilakukan oleh pria dan anak-anak mereka. Mata pencaharian lainnya yang mulai banyak dilakukan adalah menangkap ikan mujair dan belut di tepi danau Anggi.
5. Sistem Pengetahuan
Orang Arfak di daerah Anggi mempunyai pengetahuan yang sederhana untuk memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Mereka membuat ramuan dari kayu akuai untuk menghilangkan rasa sakit atau lemah badan, dan daun pendahu untuk mengobati sakit-sakit di badan juga. Selain itu mereka juga mengetahui jenis-jenis kayu apa yang baik untuk membuat rumah, seperti misalnya kayu arwob (sejenis intsia bivuga) dan tsout (nibung) untuk membuat lantai rumah dan untuk rakit yang digunakan untuk menyebrangi danau.
Suara burung tertentu yang terdengar di hutan dan sekitar rumah dianggap sebagai peringatan untuk berhati-hati terhadap bahaya yang akan terjadi. Selain itu ada juga arokua, sejenis tumbuhan yang digunakan untuk meracuni seseorang musuh, yang hanya dapat diambil dari daerah panas dan dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.
Konsep sakit menurut orang Arfak merupakan gangguan roh-roh halus atau sungai yang ada di sekitar mereka. Konsep sehat adalah keadaan yang diberikan oleh bereytow, yaitu Dewa Bulan Purnama yang dianggap membawa kebahagiaan dan memberi kesuburan pada tanaman di ladang. Dengan kata lain, “sehat” berarti merasa bebas dari bersalah kepada orang lain atau bebas dari pelanggaran aturan adat yang ada, sehingga seseorang merasa aman dan bahagia.
6. Sistem Organisasi Sosial
Jika diperhatikan dengan cermat orang Arfak agak bersifat individual. Sebelum kedatangan Belanda pada awal dasawarsa 1950-an, orang Arfak membuat rumah di atas pohon, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka hidup dalam gua.
a. Kelompok kekerabatan
Secara adat seorang pria yang telah menikah menetap dirumah ayahnya, ditengah lingkungan kerabat ayahnya itu. Dalam anthropologi, adat menetap sesudah nikah seperti ini disebut virilokal. Dengan demikian kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Arfak adalah keluarga luas virilokal yang menghuni satu rumah (tumitsen). Keluarga luas itu terdiri dari tiga sampai lima kamar, sebanyak pasangan suami istri yang ada.
Rumah dibangun cukup besar, berbentuk segi empat dengan dinding tanpa jendela yang dibuat dari kulit pohon. Atapnya dibuat dari daun pandan, lantai dibuat dari belahan nibung atau bambu. Pohon yang digunakan sebagai tiang tengah rumah dalam bahasa Meyakh disebut mesiyi. Di atas setiap perapian terdapat mofa, yaitu semacam loteng yang digunakan sebagai tempat tidur pada malam hari. Mula-mula mereka agak serampangan membangu rumah, yaitu di tempat yang agak tinggi, sesuai dengan keinginannya.
Sejak ada orang Belanda, orang Arfak diperintahkan hidup terkonsentrasi dalam perkampungan agar pemerintah mudah mengatur mereka. Perkampungan orang Arfak makin lama makin baik keadaannya dengan rumah-rumah panggung yang tetap. Celah-celah lantai nibung dapat berfungsi memasukkan udara segar, serta untuk membuang kotoran dalam rumah. Kolong rumah yang besar itu sering juga dipakai sebagai tempat menyimpan kayu api dan di kemudian hari dapat dikembangkan sebagai tempat menyimpan ternak peliharaan.
Namun disayangkan, bahwa walaupun tumitsen dianggap cocok dengan kondisi alam dan sosial budaya daerah ini, polusi asap yang pekat di dalam rumah penduduk (karena rumah-rumah penduduk hampir tidak mempunyai lubang selain celah-celah udara), menyebabkan bahwa sirkulasi udara menjadi sangat buruk. Kecuali itu kelembaban yang tinggi sangat mengganggu saluran pernapasan, dan menyebabkan berjangkitnya penyakit paru-paru di sana. Dalam suatu rumah biasanya terdapat beberapa kamar, yaitu kamar untuk wanita (meraja) dan kamar untuk pria (meiges), serta sebuah ruang tengah (umersa) untuk tempat duduk. Dalam rumah modambau, yaitu rumah dengan tempat khusus untuk dansa adat, ruang tengahnya tak berlantai, sehingga para penari berdansa di atas tanah.
Kelompok kekerabatan yang lebih besar daripada keluarga luas yang menghuni tumitsen adalah kelompok kekerabatan klen yang memperhitungkan garis keturunan patrilineal, artinya melalui para warga pria nya sampai empat atau lima keturunan. Dalam kehidupan orang Arfak, bisa terjadi perkawinan antara warga klen sesudah generasi keempat atau kelima. Kelompok kekerabatan yang lebih besar ini biasanya mendiami satu kampung (mnu), karena mereka berasal dari satu nenek moyang. Ada mnu yang terdiri dari dua atau empat klen karena terikat dalam ikatan kekerabatan yang berasal dari satu nenek moyang. Nama moyang mereka biasanya masih diingat, bahkan roh nya dihormati sampai generasi ke 25.
Diantara keempat kelompok sub suku bangsa tersebut pada awal bab ini, ada hubungan kekeluargaan yang erat antara suku bangsa Arfak dan suku bangsa Meyakh, karena mereka berasal dari nenek moyang dan wilayah yang sama, lalu klen-klen dari suku bangsa Meyakh yang bernenek moyang Misioi menyebar ke Mokwam, Doreri, dan Sidey.
Suku bangsa Hatam dan Moile dikatakan masih satu keturunan nenek moyang dengan suku bangsa Arfak dan Meyakh. Hal ini lebih jelas karena bahasa yang digunakan orang Hattam dan Moile berasal dari satu phylum, begitu pula suku bangsa Arfak dan Meyakh. Hubungan perkawinan antara keempat suku bangsa ini telah terjadi dan kelihatannya memang tidak ada perbedaan. Selain bahasanya, kehidupan sosial budayanya juga sama.
Orang Morkonah yang bahasanya sama dengan bahasa Meyakh tetapi agak sukar menuturnya, dianggap sebagai suku bangsa yang sangat fanatik dan cukup disegani, karena mereka dianggap mahir berperang. Orang Morkonah umumnya bertubuh ramping, namun kekar dan kuat. Rumahnya dibangun di atas pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suku bangsa Morkonah mendiami deretan Pegunungan Arfak bagian barat. Semua anak laki-laki yang berusia 6-7 tahun harus diajar berperang dan menggunakan busur panah.
Suku bangsa Arfak yang menduduki daerah kecamatan Anggi terdiri dari kelompok-kelompok klen yang berdiam di lokasi-lokasi khusus yaitu antara lain Inyomusi, Mandacan, Towansiba. Di Taige berdiam Towansiba dan Mandacan, di Iranmeba ada Aska dan Mandacan, di Tombrok tinggal Mandacan dan Indowek, dan di Izim berdiam Ainusi dan Saiba, serta beberapa klen lainnya. Keterangan mengenai hal ini masih harus diteliti lebih dalam.
Pada suku bangsa Arfak terdapat kurang lebih 35 kelompok klen. Klen-klen itu menghuni sejumlah rumah dalam satu mnu, bahkan ada klen-klen yang warganya banyak tersebar di beberapa desa, di satu atau beberapa daerah yang saling berjauhan letaknya.
Sistem perkawinan orang Arfak lebih banyak diatur oleh otang tua dan kerabatnya. Karena itu suatu perkawinan dapat terjadi antara dua orang yang tidak saling kenal. Kadang-kadang seorang anak pria dan seorang anak wanita sudah dijodohkan sejak mereka kecil. Walaupun demikian, terutama pada masa kini para pemuda atau pemudi menemui jodohnya lewat acara adat seperti pesta tari adat yang bernama ares komer. Pesta seperti itu terdiri dari acara makan bersama sambil menyanyi dan menari dan memuji seseorang lewat syair lagu yang bersifat pantun kiasan. Hubungan pacaran tidak ada dalam masyarakat ini karena adat mereka sangat ketat. Seorang pemuda tidak mudah merayu dan mengganggu seorang gadis di luar pengawasan orang tua. Apabila seorang pemuda senang pada seorang gadis, maka ia akan segera menyampaikan hal itu kepada orang tuanya agar mereka dapat melamar wanita tersebut. Acara yang sangat penting pada saat melamar adalah keikutsertaan kepala klen dan tokoh-tokoh adat serta semua kerabat dari kedua belah pihak. Menikah dengan saudara sepupu pihak ayah tidak diperbolehkan sampai dengan keturunan keempat dan kelima.
Sekalipun adat perkawinan diatur ketat, perkawinan poligini terjadi juga. Perkawinan poligini biasanya dilakukan oleh kepala desa (manir), orang yang dianggap keramat atau kaya raya dan terampil dalam segala hal. Pada umumnya perkawinan mereka adalah monogami dan adat menetap sesudah menikah adalah virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa pengantin baru menetap di lingkungan kerabat pria.
Dalam perkawinan orang Arfak, benda-benda yang harus dibayar sebagai mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita adalah babi sebanyak lima ekor, yang bernilai sekitar Rp 500.000, kain timur sebanyak 25 helai, kain cita 100 helai, manik-manik 30 ikat, paseda 20 buah, dan kain toba merah 10 helai. Besarnya mas kawin biasanya sesuai dengan jumlah mas kawin yang pernah diberikan oleh ayahnya kepada orang tua ibunya. Karena anak wanita dianggap sebagai sumber kekayaan bagi orang tuanya, maka wanita bagi orang Arfak dinilai sebagai harta, sedangkan anak pria yang akan mendapat warisan harta orang tua, menjadi fokus perhatian dalam hal pengumpulan harta tersebut. Pengumpulan mas kawin biasanya diadakan bersama kerabatnya. Sebagian mas kawin dibayar dengan uang tunai, benda-benda impor, makanan kaleng, dan sebagainya. Walaupun demikian, sebagian benda tradisional tersebut diatas masih menjadi syarat mutlak. Karena barang-barang tersebut terakhir itu kini sudah langka, maka mengumpulkan benda-benda tersebut kini makin sulit.
Kalau wanita dibawa lari oleh pria tanpa diketahui orang tua, maka pria tersebut bersama orang tua dan kerabatnya harus segera melunasi jumlah mas kawin yang diminta orang tua wanita dalam jangka waktu yang ditentukan. Kalu tidak akan terjadi perang antarkonfederasi klen.
Didalam struktur masyarakat suku bangsa Arfak secara keseluruhan terlihat adanya kelompok-kelompok perang dan kelompok tarian adat yang menyebar luas. Konfederasi-konfederasi penting, ketika dalam masyarakat Arfak kira-kira 40 tahun yang lalu perang masih amat lazim. Sekarang tentu sudah tidak aktif lagi. Sebaliknya, konfederasi-konfederasi pesta tarian menjadi amat penting dan tak boleh dikatakan memenuhi hasrat untuk bersaing dan saling meningkatkan gengsi antar kelompok. Satu dua kelompok konfederasi upacara tarian yang berhasil panennya, akan memberi makan kepada kelompok-kelompok lainnya yang mereka undang dalam pesta yang sangat meriah. Biasanya kelompok yang mengundang benar-benar siap, sebab acara ini cukup bergengsi. Pada upacara-upacara seperti itu ada usaha untuk mengalahkan kelompok yang diundang. Kelompok yang mengundang disebut fow. Setelah acara ini, kelompok yang diundang bertindak lagi sebagai fow untuk mengundang kelompok-kelompok lainnya.
Dalam upacar seperti itu juga ada kesempatan luas bagi para pemuda untuk merayu gadis. Pengawasan orang tua tetap ada. Pada pesta seperti itu seorang tokoh masyarakat juga mencari dukungan sosial atau politik pada peserta pesta untuk maksud-maksud tertentu.
Dalam konfederasi pesta (dulu konfederasi perang), ada struktur pengelompokkan khusus dalam dua bagian , atau paroh, yang dalam anthropologi disebut moiety. Struktur itu ditunjang oleh mitologi mengenai para nenek moyang orang Arfak yang berwujud burung atau binatang, yang juga mengelompok menjadi dua untuk bersaing atau bertanding.
Menurut anthropologi dan sosiologi, fungsi dari struktur pembagian dua itu adalah agar supaya ada dua pihak yang saling beroposisi, saling awas mengawasi, dan saling bersaing mendorong kualitas dalam kehidupan sosial.
b. Kepemimpinan
Pada dasarnya di lingkungan mereka terdapat dua jabatan kepemimpinan yaitu kepemimpinan formal dari pemerintah dan kepemimpinan adat dari masyarakat. Sebelum tahun 1970an, pimpinan adat mendominasi pelaksanaan tata pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsa Arfak, yang disebabkan karena segala kegiatan yang diselenggarakan harus didahului dengan upacara-upacara adat yang bersifat tradisional. Sekarang tampak suatu perubahan yang lambat, ialah mulai menguatnya pengaruh musyawarah antara pimpinan formal dan rakyat, serta melemahnya pengaruh pimpinan adat tradisional. Keadaan yang ideal adalah apabila kekuasaan kedua jenis kepemimpinan itu dapat bekerja sama.
7. Sistem Kesenian
Ekspresi seni pada orang Arfak adalah dengan menyanyi dan menari. Jenis tarian yang cukup dikenal umum adalah tari ular yang diiringi oleh suling bambu (tsout). Lagu yang mengiringi tarian memuji keindahan alam, matahari, bulan, langit dan gunung.
Barang-barang perhiasan yang biasa dikenakan pria maupun wanita adalah liya, yaitu gelang yang terbuat dari anyaman tali rotan, dema’ya (kalung), miyepd (hiasan kepala yang dianyam memakai manik-manik), bulu-bulu burung atau kasuari, dan breya (hiasan kepala yang dianyam dengan kulit dan bulu-bulu burung atau kasuari). Sebelum mengenal pakaian modern, benda-benda yang dimiliki atau digunakan adalah yang dalam bahasa Meyakh disebut maini, yaitu cawat untuk pria, bonggwa atau derey, yaitu istilah dalam bahasa Sough untuk cawat bagi pria yang terbuat dari kulit kayu, dan mogra yaitu cawat wanita Meyakh berupa ikat pinggang yang lebarnya 30 cm. Cara memakai cawat pada pria dan wanita berbeda, pada wanita diikat lebih ketat dan ujungnya dimasukkan ke dalam, sedangkan pada pria biasa dipasang didepan saja atau bisa depan dan belakang dengan kedua ujung dilipat keluar.
Hiasan atau busana lain untuk kaum wanita adalah rumbai-rumbai yang dibuat dari alang-alang atau serat kulit kayu yang dikenakan pada pinggang, dan kalung yang terbuat dari untaian manik-manik yang disebut gemsya. Pria dapat menggunakan taring babi dan taring anjing pada waktu berperang.
Apabila tidak ada lagi yang harus dikerjakan, seorang pria mengisi waktu luangnya dengan mengukir dan melukis busur serta panah-panahnya. Ukiran-ukiran yang khas itu juga mereka buat pada atribut perang. Bila dibandingkan dengan suku bangsa Asmat atau suku-suku bangsa lainnya di Irian Jaya atau daerah Papua Nugini yang mengenal seni patung dan seni lukis yang canggih, orang Arfak tidak menampakkan jiwa seni dalam kehidupan sosial budayanya. Diwaktu lampau orang Arfak memang cenderung meningkatkan kegiatan konfederasi kelompok perang dan tarian adat. Mungkin karena hal inilah mereka mengangumi benda-benda materi yang berasal dari luar, dan mempunyai kecenderungan untuk memilikinya serta menjadikannya benda-benda berharga didalam kehidupan mereka.
Masyarakat Arfak merupakan penduduk asli daerah pedalaman Manokwari. Nama Arfak diambil dari nama gunung yang ada di pedalaman Kabupaten Manokwari., yaitu Gunung Arfak yang berarti “besar”. Suku bangsa yang merupakan warga masyarakat itu terdiri dari empat sub suku bangsa, yaitu :
1. Orang Meyakh yang mendiami daerah kecamatan Manokwari, kecamatan Warmare dan Sidey
2. Orang Moile yang mendiami daerah Warmare dan Manokwari
3. Orang Hatam yang tinggal tersebar di daerah kecamatan Oransbari dan Manokwari
4. Orang Manikion yang mendiami daerah kecamatan Anggi, Merdey, Bintuni dan Ransiki.
Manikion adalah nama yang diberikan orang luar kepada mereka, tetapi yang tidak disukai oleh yang bersangkutan karena maknanya yang tidak sopan dan sangat merendahkan. Nama yang mereka pakai sendiri adalah Sough.
Batas-batas geografi
Sebagian dari mereka (sebanyak 6.749 jiwa) berdomisili di kecamatan Anggi. Daerah Anggi dianggap sebagai pusat persebaran orang Arfak. Kecamatan Anggi di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Warmare, di sebelah barat dengan kecamatan Kebar, di sebelah selatan dengan kecamatan Merdey dan Bintuni dan di sebelah timur dengan kecamatan Ransiki.
Orang Arfak yang tinggal di daerah Anggi dan sekitarnya berada pada ketinggian kurang lebih 700 – 2.000 m di atas permukaan laut. Pusat kecamatan Anggi sendiri berada di desa Iraiwery di tepi Danau Anggi Giji. Kecamatan Anggi yang luasnya sekitar 1.407 km, terdiri dari delapan desa. Jarak antara desa-desa itu berada dekat Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Githa yang berada pada ketinggian kurang lebih 1.800 m dari permukaan laut, dengan suhu terendah 10 derajat Celcius dan suhu tertinggi 21,5 derajat Celcius. Perjalanan dari ibukota kabupaten ke Anggi ditempuh dengan pesawat udara dan dengan berjalan kaki kurang lebih dua sampai tiga hari.
Keadaan alam
Jenis tanah di Anggi berbentuk dari batuan-batuan sedimen yang kaya akan mineral, kapur dan kwarsa. Tanahnya tergolong kurang subur, tetapi tanah endapan Danau Anggi dan tanah dataran di tepi sungai kecil merupakan tanah yang subur yang dapat digunakan untuk berladang, namun sangat terbatas luasnya.
Jenis vegetasi di daerah kecamatan Anggi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu hutan primer, dengan jenis pohon-pohon Podocarpus Sp, Dacridium Sp dan jenis pohon-pohon yang dalam bahasa Sough disebut Wainu (Dodonea Viscosa). Di daerah hutan sekunder (bekas ladang) dan daerah berbukit-bukit tumbuh berbagai jenis pohon pakis serta alang-alang.
Cagar alam pegunungan Arfak masih menyimpan banyak misteri yang sampai kini belum terungkap, mulai dari kehidupan flora-fauna, termasuk ribuan jenis tumbuhan anggrek, legenda ikan Houn (sejenis belut) di dua danau yang diapit oleh sebuah “perbukitan firdaus” bernama bukit Kobrey. Dua danau itu adalah Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gita yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Kehidupan seputar goa-goa, termasuk goa yang kedalamannya mencapai 2000 meter juga masih menyimpan selaksa misteri.
Pegunungan Arfak ini adalah ekosistem yang mewakili tanah Irian Jaya oleh karena dihuni beberapa habitat yang dilindungi, seperti kehidupan berbagai jenis satwa seperti kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera-sp) yang menjadi buruan kolektor kupu-kupu internasional. Kupu-kupu jenis ini oleh masyarakat suku Arfak sudah ditangkarkan. Salah satunya di kampung Iray, di dekat danau Anggi Giji. Kawasan ini dihuni pula oleh Cendrawasih Arfak (Astrapia-nigra). Berbagai jenis tumbuhan antara lain pohon Arwob atau Dodonia fiscosa, tumbuhan khas pegunungan Arfak. Juga terdapat kayu Masohi yang rasanya pedas seperti permen menthol, berguna untuk penambah selera makan. Dan masih banyak kekayaan flora-fauna lagi yang menghuni wilayah ini.
Menurut data pemerintah kabupaten Manokwari, pegunungan Arfak ini memiliki tidak kurang 110 jenis mamalia, 333 jenis burung, yang beberapa jenis merupakan endemik, pegunungan Arfak. Salah satunya adalah burung Namdur Polos (Bowerd Bird). Burung ini, oleh suku Arfak dinamai burung Mbrecew, yang berarti pintar atau pandai berkicau, oleh karena bisa menirukan suara-suara lain dan bunyi apa saja. Burung ini juga mampu membuat sarang (bower) dari dedaunan, rumput kering, dan tangkai anggrek hutan, yang dibuat menyerupai rumah dan meletakkannya di atas pohon maupun di tanah.
Jumlah penduduk dan persebarannya
Pelaksanaan sensus penduduk pada akhir tahun 1995 dan awal 1996 mencatat jumlah penduduk sebanyak 6.749 jiwa yang hidup tersebar di delapan desa. Orang Arfak juga termasuk ras Melanosoid, dengan bentuk tubuh yang ramping dan pendek tetapi tegap, seperti penduduk daerah Pegunungan Tengah Irian Jaya pada umumnya. Tinggi badan rata-rata pria Arfak adalah 158 cm dan wanita tingginya rata-rata 147 cm.
7 UNSUR KEBUDAYAAN SUKU ARFAK
1. Sistem Teknologi
Sebelum para penyuluh pertanian memperkenalkan alat-alat untuk berladang seperti kapak, pacul dan garpu, mereka hanya bercocok tanam didaerah kosong di sekitar batang pohon yang tumbang dengan menggunakan alat tradisional yaitu mu’gha atau tongkat tugal. Cara yang mereka gunakan untuk bercocok tanam pun masih dengan menebas dan membakar hutan di tanah datar yang di anggap subur. Kecuali itu mereka juga berupaya memperluas lahan ke bagian tanah yang masih kosong di luar hak ulayat yang jelas. Jenis tanaman yang dianggap berkualitas baik lebih diutamakan untuk diual daripada untuk dimakan.
Diladang yang rata-rata luasnya 0,2-0,5 Ha ini, para pria yang membuka hutan dengan kapak dan parang kemudian membuat pagar sekeliling kebun untuk menghindari serangan binatang terhadap tanaman-tanaman mereka dengan memanfaatkan kayu tebangan. Tinggi pagar rata-rata 1,5 – 2m, dengan pintu masuk ke dalam kebun setinggi 1m. Kaum wanita dan anak-anak bertugas membersihkan hutan yang telah dibuka, menanam, memelihara dan memanen hasil ladang. Tanah ladang yang diusahakan oleh masyarakat pada umumnya dimiliki secara komunal.
Mata pencaharian tambahan mereka adalah berburu. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat dari bambu dan nibung yang sudah tua, serta gelagah. Aktivitas ini hanya dilakukan oleh pria dan anak-anak mereka. Mata pencaharian lainnya yang mulai banyak dilakukan adalah menangkap ikan mujair dan belut di tepi danau Anggi. Sebelum mengenal kail dan nylon, mereka menggunakan alat tradisional yang disebut anghrom, yang dibuat dari serat akar pohon pandan. Kail dengan umpan cacing yang diikat pada ujung talinya kemudian diletakkan di tengah air danau yang dianggap mengandung ikan belut. Anghrom itu dibiarkan beberapa waktu dan diangkat apabila ikan telah tertangkap. Alat tradisional lainnya adalah imboisi, yang terbuat dari batang kayu atau nibung yang berlubang (atau sengaja dilubangi), yang dapat ditenggelamkan ke dalam air. Dengan bantuan batu sebagai pemberat, imboisi diangkat setelah kurang lebih satu malam, atau kalau diketahui sudah ada ikan belut didalamnya. Untuk waktu sekarang mereka lebih banyak menggunakan busur panah, nylon yang bermata kail atau jaring. Untuk menebarkan jaring mereka juga bisa menggunakan perahu bercadik. Adapun alat transportasi tradisional mereka adalah erkemaa, yang dibuat dari tiga batang pohon nibung yang disatukan dengan kayu pada ujungnya lalu diikat dengan tali rotan sehingga berbentuk rakit,
2. Sistem Religi
Orang Arfak yakin bahwa dunia dan alam diciptakan oleh Ajemoa, dewa yang bertempat di langit. Mereka yakin bahwa nenek moyang mereka adalah manusia pertama ciptaan Ajemoa, yakni Siba, yang mempunyai tiga orang anak yaitu dua anak pria, Iba dan Aiba, dan seorang anak perempuan bernama Towansiba. Aiba yang berkulit bule pergi ke arah barat dengan janji bahwa pada suatu waktu ia akan kembali, apabila kedua saudaranya berada dalam keadaan bahaya. Iba, yang melanggar suatu peraturan Ajemoa, dikutuk dan harus hidup di dunia fana untuk selama-lamanya. Ia mempunyai banyak keturunan yang tinggal di daerah Anggi, kemudian menyebar ke daerah Bintuni, Merdey, Fak-Fak, Wendamen, seluruh daerah kepala burung dan Irian Jaya bagian barat. Keturunan Iba yang langsung adalah klen Ahoran, Saiba, Iyomusi dan Mandacan. Dari klen-klen itulah para pemimpin adat dan para kepala desa dipilih.
Orang Arfak juga masih yakin akan adanya roh-roh orang yang telah meninggal, yang menurut mereka masih melayang-layang atau tinggal di sensenemes dan mengenyu, yaitu dua gunung yang dianggap keramat karena semua roh orang mati bertempat tinggal di sana. Gunung ini masih tertutup oleh hutan lebat yang sangat sulit dilalui dan tidak boleh dijelajahi, karena akan menimbulkan bencana bagi mereka atau kepada orang yang pergi ke gunung tersebut.
Kecuali didiami oleh roh-roh orang yang telah meninggal dunia, orang Arfak juga yakin bahwa alam sekitar tempat tinggal mereka juga ada berbagai macam roh lain, yang baik maupun yang jahat. Karena itu manusia perlu tetap memelihara hubungan baik dengan roh-roh itu dengan memberikan berbagai macam sajian pada berbagai rangkaian upacara tetap.
Dalam sistem religi orang Arfak, ilmu gaib merupakan suatu unsur yang masih hidup luas. Akuai adalah ilmu gaib penolak yang banyak dipergunakan dalam ilmu dukun untuk menyembuhkan orang sakit dan dalam upacara-upacara menolak bahaya. Bereyton adalah ilmu gaib produktif yang banyak dipergunakan dalam upacara-upacara kesuburan dan upacara pertanian, sedang moumweb adalah ilmu gaib destruktif yang banyak dipakai dalam ilmu sihir untuk menghancurkan orang lain yang menjadi saingannya, musuhnya atau sekedar untuk balas dendam. Dukun yang ahli dalam ilmu gaib disebut imperiyet.
Seperti dalam semua masyarakat di dunia, religi orang Arfak berperan pada saat ada kematian. Menurut keyakinan mereka, apabila orang meninggal, jiwanya meninggalkan tubuhnya lalu menjadi roh dan berkeliaran di alam sekitar tempat tinggal manusia. Roh memerlukan waktu yang cukup lama sebelum ia dapat melepaskan diri dari ikatan tempat ia hidup cukup lama, yaitu dalam tubuh seseorang. Itulah sebabnya alam sekitar tempat tinggal manusia itu pernuh dengan roh-roh manusia yang telah meninggal. Roh-roh itu dapat menolong, tetapi dapat juga menganggu manusia. Baru sesudah beberapa tahun, roh akan pergi dan tinggal di dunia roh yang menurut keyakinan orang Arfak ada di puncak pegunungan yang tinggi.
Dahulu orang yang meninggal diletakkan di dalam lubang yang dibuat di bagian yang tinggi dari batang sebuah pohon. Jenazah diletakkan dengan upacara yang sederhana. Sesudah kira-kira enam bulan, sisa-sisa jenazah yang sudah hancur diambil kembali, dibungkus dengan kulit kayu dan diletakkan di atas pohon di hutan jauh dari desa. Karena pengaruh agama Kristen, jenazah orang sekarang dikubur dengan upacara agama Kristen.
3. Sistem Bahasa
Bahasa-bahasa yang diujar oleh orang Arfak, oleh para ahli linguistik digolongkan ke dalam dua phylum. Bahasa kedua phylum itu merupakan dua diantara sepuluh phylum bahasa Non-Austronesia yang ada di Irian Jaya. Bahasa orang Arfak ini diteliti oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) UNCEN, Irian Jaya, dalam tahun 1981 yang juga membuat pembagian pada suatu peta persebaran yang jelas. Dua phylum tersebut adalah 1. bahasa Hatam dan Moile ke dalam West Papuan Phylum, Bird’s Head Superstocks, dan 2. Bahasa Meyakh serta bahasa Manikion ke dalam East Bird’s Head Phylum Level Stock.
4. Sistem Mata Pencaharian
Berkebun dengan cara berpindah-pindah adalah mata pencaharian pokok orang Arfak. Kebun dibiarkan tumbuh kembali menjadi hutan sesudah satu atau dua kali panen. Masa bera dari lahan tidak tentu lamanya. Biasanya, apabila pohon-pohon dalam suatu lahan hutan sekunder telah mencapai tinggi kurang lebih 10-15 m, orang Arfak menganggap bahwa tanah itu sudah cukup subur untuk diolah lagi.
Seperti telah dikatakan di atas, tingkat kesuburan ladang pada umumnya rendah karena tipisnya lapisan-lapisan tanah endapan Danau Anggi dan karena sempitnya tanah dataran itu. Daerah lereng-lereng gunung dan perbukitan sekitar Anggi kelihatannya belum banyak dibuka menjadi kebun.
Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi jalar dan keladi, disamping pepaya, pisang dan sayur-sayuran (terutama bayam). Setelah mereka mengenal alat-alat pertanian dan jenis-jenis pertanian berkualitas tinggi seperti kentang, bawang, wortel, kol, buncis, sawi dan seledri yang dibawa dari luar, dalam dasawarsa 1950-an usaha bercocok tanam dapat ditingkatkan.
Pola pertanian yang mulai berlaku setelah mereka mulai tinggal menetap dengan agak teratur akhir-akhir ini, adalah mengusahakan lahan yang ada disekitar daerah pemukiman atau halaman dengan tanaman yang bervariasi seperti tersebut di atas, ditambah dengan tanaman kacang tanah, kapri, jagung dan tebu. Diladang yang rata-rata luasnya 0,2-0,5 Ha ini, para pria yang membuka hutan dengan kapak dan parang kemudian membuat pagar sekeliling kebun untuk menghindari serangan binatang terhadap tanaman-tanaman mereka dengan memanfaatkan kayu tebangan. Tinggi pagar rata-rata 1,5 – 2m, dengan pintu masuk ke dalam kebun setinggi 1m. Kaum wanita dan anak-anak bertugas membersihkan hutan yang telah dibuka, menanam, memelihara dan memanen hasil ladang. Tanah ladang yang diusahakan oleh masyarakat pada umumnya dimiliki secara komunal.
Pemanfaatan hutan bagi mereka selain sebagai sarana ladang berpindah-pindah juga sebagai arena berburu yang merupakan sumber protein hewani mereka, dan akhir-akhir ini juga sumber daging panggang yang dijual oleh orang Arfak. Mereka kini lebih lama tinggal di pondok dalam hutan untuk berburu dan membuat daging asap (panggang) daripada tinggal di kampung. Setelah hasil buruan cukup banyak terkumpul, mereka kembali ke hutan selama satu sampai dua minggu.
Berburu hanya merupakan mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani atau sebagai selingan saja. Binatang yang banyak diburu adalah tikus tanah, kus-kus dan kangguru pohon, sedangkan babi hutan dikonsumsi dan dipelihara. Aktivitas ini hanya dilakukan oleh pria dan anak-anak mereka. Mata pencaharian lainnya yang mulai banyak dilakukan adalah menangkap ikan mujair dan belut di tepi danau Anggi.
5. Sistem Pengetahuan
Orang Arfak di daerah Anggi mempunyai pengetahuan yang sederhana untuk memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Mereka membuat ramuan dari kayu akuai untuk menghilangkan rasa sakit atau lemah badan, dan daun pendahu untuk mengobati sakit-sakit di badan juga. Selain itu mereka juga mengetahui jenis-jenis kayu apa yang baik untuk membuat rumah, seperti misalnya kayu arwob (sejenis intsia bivuga) dan tsout (nibung) untuk membuat lantai rumah dan untuk rakit yang digunakan untuk menyebrangi danau.
Suara burung tertentu yang terdengar di hutan dan sekitar rumah dianggap sebagai peringatan untuk berhati-hati terhadap bahaya yang akan terjadi. Selain itu ada juga arokua, sejenis tumbuhan yang digunakan untuk meracuni seseorang musuh, yang hanya dapat diambil dari daerah panas dan dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.
Konsep sakit menurut orang Arfak merupakan gangguan roh-roh halus atau sungai yang ada di sekitar mereka. Konsep sehat adalah keadaan yang diberikan oleh bereytow, yaitu Dewa Bulan Purnama yang dianggap membawa kebahagiaan dan memberi kesuburan pada tanaman di ladang. Dengan kata lain, “sehat” berarti merasa bebas dari bersalah kepada orang lain atau bebas dari pelanggaran aturan adat yang ada, sehingga seseorang merasa aman dan bahagia.
6. Sistem Organisasi Sosial
Jika diperhatikan dengan cermat orang Arfak agak bersifat individual. Sebelum kedatangan Belanda pada awal dasawarsa 1950-an, orang Arfak membuat rumah di atas pohon, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka hidup dalam gua.
a. Kelompok kekerabatan
Secara adat seorang pria yang telah menikah menetap dirumah ayahnya, ditengah lingkungan kerabat ayahnya itu. Dalam anthropologi, adat menetap sesudah nikah seperti ini disebut virilokal. Dengan demikian kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Arfak adalah keluarga luas virilokal yang menghuni satu rumah (tumitsen). Keluarga luas itu terdiri dari tiga sampai lima kamar, sebanyak pasangan suami istri yang ada.
Rumah dibangun cukup besar, berbentuk segi empat dengan dinding tanpa jendela yang dibuat dari kulit pohon. Atapnya dibuat dari daun pandan, lantai dibuat dari belahan nibung atau bambu. Pohon yang digunakan sebagai tiang tengah rumah dalam bahasa Meyakh disebut mesiyi. Di atas setiap perapian terdapat mofa, yaitu semacam loteng yang digunakan sebagai tempat tidur pada malam hari. Mula-mula mereka agak serampangan membangu rumah, yaitu di tempat yang agak tinggi, sesuai dengan keinginannya.
Sejak ada orang Belanda, orang Arfak diperintahkan hidup terkonsentrasi dalam perkampungan agar pemerintah mudah mengatur mereka. Perkampungan orang Arfak makin lama makin baik keadaannya dengan rumah-rumah panggung yang tetap. Celah-celah lantai nibung dapat berfungsi memasukkan udara segar, serta untuk membuang kotoran dalam rumah. Kolong rumah yang besar itu sering juga dipakai sebagai tempat menyimpan kayu api dan di kemudian hari dapat dikembangkan sebagai tempat menyimpan ternak peliharaan.
Namun disayangkan, bahwa walaupun tumitsen dianggap cocok dengan kondisi alam dan sosial budaya daerah ini, polusi asap yang pekat di dalam rumah penduduk (karena rumah-rumah penduduk hampir tidak mempunyai lubang selain celah-celah udara), menyebabkan bahwa sirkulasi udara menjadi sangat buruk. Kecuali itu kelembaban yang tinggi sangat mengganggu saluran pernapasan, dan menyebabkan berjangkitnya penyakit paru-paru di sana. Dalam suatu rumah biasanya terdapat beberapa kamar, yaitu kamar untuk wanita (meraja) dan kamar untuk pria (meiges), serta sebuah ruang tengah (umersa) untuk tempat duduk. Dalam rumah modambau, yaitu rumah dengan tempat khusus untuk dansa adat, ruang tengahnya tak berlantai, sehingga para penari berdansa di atas tanah.
Kelompok kekerabatan yang lebih besar daripada keluarga luas yang menghuni tumitsen adalah kelompok kekerabatan klen yang memperhitungkan garis keturunan patrilineal, artinya melalui para warga pria nya sampai empat atau lima keturunan. Dalam kehidupan orang Arfak, bisa terjadi perkawinan antara warga klen sesudah generasi keempat atau kelima. Kelompok kekerabatan yang lebih besar ini biasanya mendiami satu kampung (mnu), karena mereka berasal dari satu nenek moyang. Ada mnu yang terdiri dari dua atau empat klen karena terikat dalam ikatan kekerabatan yang berasal dari satu nenek moyang. Nama moyang mereka biasanya masih diingat, bahkan roh nya dihormati sampai generasi ke 25.
Diantara keempat kelompok sub suku bangsa tersebut pada awal bab ini, ada hubungan kekeluargaan yang erat antara suku bangsa Arfak dan suku bangsa Meyakh, karena mereka berasal dari nenek moyang dan wilayah yang sama, lalu klen-klen dari suku bangsa Meyakh yang bernenek moyang Misioi menyebar ke Mokwam, Doreri, dan Sidey.
Suku bangsa Hatam dan Moile dikatakan masih satu keturunan nenek moyang dengan suku bangsa Arfak dan Meyakh. Hal ini lebih jelas karena bahasa yang digunakan orang Hattam dan Moile berasal dari satu phylum, begitu pula suku bangsa Arfak dan Meyakh. Hubungan perkawinan antara keempat suku bangsa ini telah terjadi dan kelihatannya memang tidak ada perbedaan. Selain bahasanya, kehidupan sosial budayanya juga sama.
Orang Morkonah yang bahasanya sama dengan bahasa Meyakh tetapi agak sukar menuturnya, dianggap sebagai suku bangsa yang sangat fanatik dan cukup disegani, karena mereka dianggap mahir berperang. Orang Morkonah umumnya bertubuh ramping, namun kekar dan kuat. Rumahnya dibangun di atas pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suku bangsa Morkonah mendiami deretan Pegunungan Arfak bagian barat. Semua anak laki-laki yang berusia 6-7 tahun harus diajar berperang dan menggunakan busur panah.
Suku bangsa Arfak yang menduduki daerah kecamatan Anggi terdiri dari kelompok-kelompok klen yang berdiam di lokasi-lokasi khusus yaitu antara lain Inyomusi, Mandacan, Towansiba. Di Taige berdiam Towansiba dan Mandacan, di Iranmeba ada Aska dan Mandacan, di Tombrok tinggal Mandacan dan Indowek, dan di Izim berdiam Ainusi dan Saiba, serta beberapa klen lainnya. Keterangan mengenai hal ini masih harus diteliti lebih dalam.
Pada suku bangsa Arfak terdapat kurang lebih 35 kelompok klen. Klen-klen itu menghuni sejumlah rumah dalam satu mnu, bahkan ada klen-klen yang warganya banyak tersebar di beberapa desa, di satu atau beberapa daerah yang saling berjauhan letaknya.
Sistem perkawinan orang Arfak lebih banyak diatur oleh otang tua dan kerabatnya. Karena itu suatu perkawinan dapat terjadi antara dua orang yang tidak saling kenal. Kadang-kadang seorang anak pria dan seorang anak wanita sudah dijodohkan sejak mereka kecil. Walaupun demikian, terutama pada masa kini para pemuda atau pemudi menemui jodohnya lewat acara adat seperti pesta tari adat yang bernama ares komer. Pesta seperti itu terdiri dari acara makan bersama sambil menyanyi dan menari dan memuji seseorang lewat syair lagu yang bersifat pantun kiasan. Hubungan pacaran tidak ada dalam masyarakat ini karena adat mereka sangat ketat. Seorang pemuda tidak mudah merayu dan mengganggu seorang gadis di luar pengawasan orang tua. Apabila seorang pemuda senang pada seorang gadis, maka ia akan segera menyampaikan hal itu kepada orang tuanya agar mereka dapat melamar wanita tersebut. Acara yang sangat penting pada saat melamar adalah keikutsertaan kepala klen dan tokoh-tokoh adat serta semua kerabat dari kedua belah pihak. Menikah dengan saudara sepupu pihak ayah tidak diperbolehkan sampai dengan keturunan keempat dan kelima.
Sekalipun adat perkawinan diatur ketat, perkawinan poligini terjadi juga. Perkawinan poligini biasanya dilakukan oleh kepala desa (manir), orang yang dianggap keramat atau kaya raya dan terampil dalam segala hal. Pada umumnya perkawinan mereka adalah monogami dan adat menetap sesudah menikah adalah virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa pengantin baru menetap di lingkungan kerabat pria.
Dalam perkawinan orang Arfak, benda-benda yang harus dibayar sebagai mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita adalah babi sebanyak lima ekor, yang bernilai sekitar Rp 500.000, kain timur sebanyak 25 helai, kain cita 100 helai, manik-manik 30 ikat, paseda 20 buah, dan kain toba merah 10 helai. Besarnya mas kawin biasanya sesuai dengan jumlah mas kawin yang pernah diberikan oleh ayahnya kepada orang tua ibunya. Karena anak wanita dianggap sebagai sumber kekayaan bagi orang tuanya, maka wanita bagi orang Arfak dinilai sebagai harta, sedangkan anak pria yang akan mendapat warisan harta orang tua, menjadi fokus perhatian dalam hal pengumpulan harta tersebut. Pengumpulan mas kawin biasanya diadakan bersama kerabatnya. Sebagian mas kawin dibayar dengan uang tunai, benda-benda impor, makanan kaleng, dan sebagainya. Walaupun demikian, sebagian benda tradisional tersebut diatas masih menjadi syarat mutlak. Karena barang-barang tersebut terakhir itu kini sudah langka, maka mengumpulkan benda-benda tersebut kini makin sulit.
Kalau wanita dibawa lari oleh pria tanpa diketahui orang tua, maka pria tersebut bersama orang tua dan kerabatnya harus segera melunasi jumlah mas kawin yang diminta orang tua wanita dalam jangka waktu yang ditentukan. Kalu tidak akan terjadi perang antarkonfederasi klen.
Didalam struktur masyarakat suku bangsa Arfak secara keseluruhan terlihat adanya kelompok-kelompok perang dan kelompok tarian adat yang menyebar luas. Konfederasi-konfederasi penting, ketika dalam masyarakat Arfak kira-kira 40 tahun yang lalu perang masih amat lazim. Sekarang tentu sudah tidak aktif lagi. Sebaliknya, konfederasi-konfederasi pesta tarian menjadi amat penting dan tak boleh dikatakan memenuhi hasrat untuk bersaing dan saling meningkatkan gengsi antar kelompok. Satu dua kelompok konfederasi upacara tarian yang berhasil panennya, akan memberi makan kepada kelompok-kelompok lainnya yang mereka undang dalam pesta yang sangat meriah. Biasanya kelompok yang mengundang benar-benar siap, sebab acara ini cukup bergengsi. Pada upacara-upacara seperti itu ada usaha untuk mengalahkan kelompok yang diundang. Kelompok yang mengundang disebut fow. Setelah acara ini, kelompok yang diundang bertindak lagi sebagai fow untuk mengundang kelompok-kelompok lainnya.
Dalam upacar seperti itu juga ada kesempatan luas bagi para pemuda untuk merayu gadis. Pengawasan orang tua tetap ada. Pada pesta seperti itu seorang tokoh masyarakat juga mencari dukungan sosial atau politik pada peserta pesta untuk maksud-maksud tertentu.
Dalam konfederasi pesta (dulu konfederasi perang), ada struktur pengelompokkan khusus dalam dua bagian , atau paroh, yang dalam anthropologi disebut moiety. Struktur itu ditunjang oleh mitologi mengenai para nenek moyang orang Arfak yang berwujud burung atau binatang, yang juga mengelompok menjadi dua untuk bersaing atau bertanding.
Menurut anthropologi dan sosiologi, fungsi dari struktur pembagian dua itu adalah agar supaya ada dua pihak yang saling beroposisi, saling awas mengawasi, dan saling bersaing mendorong kualitas dalam kehidupan sosial.
b. Kepemimpinan
Pada dasarnya di lingkungan mereka terdapat dua jabatan kepemimpinan yaitu kepemimpinan formal dari pemerintah dan kepemimpinan adat dari masyarakat. Sebelum tahun 1970an, pimpinan adat mendominasi pelaksanaan tata pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsa Arfak, yang disebabkan karena segala kegiatan yang diselenggarakan harus didahului dengan upacara-upacara adat yang bersifat tradisional. Sekarang tampak suatu perubahan yang lambat, ialah mulai menguatnya pengaruh musyawarah antara pimpinan formal dan rakyat, serta melemahnya pengaruh pimpinan adat tradisional. Keadaan yang ideal adalah apabila kekuasaan kedua jenis kepemimpinan itu dapat bekerja sama.
7. Sistem Kesenian
Ekspresi seni pada orang Arfak adalah dengan menyanyi dan menari. Jenis tarian yang cukup dikenal umum adalah tari ular yang diiringi oleh suling bambu (tsout). Lagu yang mengiringi tarian memuji keindahan alam, matahari, bulan, langit dan gunung.
Barang-barang perhiasan yang biasa dikenakan pria maupun wanita adalah liya, yaitu gelang yang terbuat dari anyaman tali rotan, dema’ya (kalung), miyepd (hiasan kepala yang dianyam memakai manik-manik), bulu-bulu burung atau kasuari, dan breya (hiasan kepala yang dianyam dengan kulit dan bulu-bulu burung atau kasuari). Sebelum mengenal pakaian modern, benda-benda yang dimiliki atau digunakan adalah yang dalam bahasa Meyakh disebut maini, yaitu cawat untuk pria, bonggwa atau derey, yaitu istilah dalam bahasa Sough untuk cawat bagi pria yang terbuat dari kulit kayu, dan mogra yaitu cawat wanita Meyakh berupa ikat pinggang yang lebarnya 30 cm. Cara memakai cawat pada pria dan wanita berbeda, pada wanita diikat lebih ketat dan ujungnya dimasukkan ke dalam, sedangkan pada pria biasa dipasang didepan saja atau bisa depan dan belakang dengan kedua ujung dilipat keluar.
Hiasan atau busana lain untuk kaum wanita adalah rumbai-rumbai yang dibuat dari alang-alang atau serat kulit kayu yang dikenakan pada pinggang, dan kalung yang terbuat dari untaian manik-manik yang disebut gemsya. Pria dapat menggunakan taring babi dan taring anjing pada waktu berperang.
Apabila tidak ada lagi yang harus dikerjakan, seorang pria mengisi waktu luangnya dengan mengukir dan melukis busur serta panah-panahnya. Ukiran-ukiran yang khas itu juga mereka buat pada atribut perang. Bila dibandingkan dengan suku bangsa Asmat atau suku-suku bangsa lainnya di Irian Jaya atau daerah Papua Nugini yang mengenal seni patung dan seni lukis yang canggih, orang Arfak tidak menampakkan jiwa seni dalam kehidupan sosial budayanya. Diwaktu lampau orang Arfak memang cenderung meningkatkan kegiatan konfederasi kelompok perang dan tarian adat. Mungkin karena hal inilah mereka mengangumi benda-benda materi yang berasal dari luar, dan mempunyai kecenderungan untuk memilikinya serta menjadikannya benda-benda berharga didalam kehidupan mereka.
Melihat semua hal yang sudah di bahas pada bab-bab sebelumnya, saya menyimpulkan bahwa suku bangsa Arfak di Anggi, Manokwari, Irian Jaya sudah mengalami perubahan kebudayaan yang cukup signifikan dari sebelumnya. Berdasarkan penelitian saya terhadap beberapa data dan fakta mengenai suku Arfak di Irian Jaya, perubahan sosial budaya telah terjadi saat orang Arfak berkenalan dengan kebudayaan masyarakat luar, yang terjadi sekitar tahun 1940an. Kontak kebudayaan itu terjadi dengan baik dengan suku-suku bangsa lain yang ada di sekitar daerah Kepala Burung Irian Jaya, maupun dengan kebudayaan di luar Irian Jaya.
Proses perubahan kebudayaan orang Arfak tampak dalam berbagai aspek, antara lain dalam sektor ekonomi, kehidupan sosial, religi, pendidikan, dan kesehatan. Perubahan di bidang ekonomi adalah penggunaan alat-alat pertanian yang terbuat dari logam, beberapa teknik bercocok tanam yang baru, maupun beberapa jenis tanaman yang baru, sementara di beberapa tempat ada penduduk Arfak yang sudah mulai berkebun menetap. Hal itu dimulai dalam zaman kolonial Belanda yang mencoba mengembangkan perkebunan coklat di daerah orang Arfak di Manokwari, Oransbari, dan Ransiki. Dalam zaman Republik Indonesia, orang Arfak belajar bercocok tanam dari para transmigran local di antara transmigran-transmigran Jawa itu.
Kecuali itu, pemerintah mengintroduksikan peternakan sapid an kambing di daerah sekitar Manokwari, sebagai projek Banpres (Bantuan Presiden). Adapun orang Arfak yang tinggal di daerah pantai dan di tepi danau-danau, sejak tahun 1980 diperkenalkan dengan alat-alat menangkap ikan yang bagi mereka masih baru, yaitu kail, tali kail dari nylon dan jaring ikan.
Peningkatan produksi pangan yang tidak hanya untuk dapat bertahan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan produk perkebunan dan untuk dijual di pasar, tentu telah mengubah pola konsumsi pangan orang Arfak. Sebelum tahun 1940an, orang Arfak makan umbi-umbian sebagai makanan pokok, sedangkan ulat atau serangga, daging binatang kecil seperti tikus tanah, kus-kus, ular, biawak, katak rawa, daging kelelawar dan burung serta daging binatang besar seperti babi hutan, yang dibakar atau direbus, sudah memenuhi kebutuhan mereka akan protein. Beberapa macam pakis dan daun tumbuh-tumbuhan liar melengkapi makanan mereka sehari-hari. Sekarang orang Arfak, terutama di kota, sudah terbiasa makan nasi dengan lauk pauk yang dimasak dengan minyak goring serta bumbu-bumbu, seperti makanan orang Indonesia pada umumnya.
Perubahan di bidang sosial budaya juga sudah dimulai dalam dasawarsa 1940, yaitu masih dalam zaman kolonial Belanda, melalui jalur pengaruh agama, pendidikan dan peningkatan kesehatan masyarakat.
Berkat upaya penyebaran agama Kristen oleh organisasi penyebaran agama yang dilaksanakan oleh pendeta-pendeta dengan semangat dan dedikasi yang besar, banyak orang Arfak, terutama disekitar desa-desa pusat keramaian kini secara resmi telah beragama Kristen. Namun dalam kenyataan keyakinan mereka akan adanya dewa Ajemoa, nenek moyang Siba serta anak-anaknya, keyakinan mereka akan roh-roh nenek moyang yang ada disekitar tempat tinggal mereka akan ilmu gaib, ilmu dukun dan ilmu sihir masih tetap hidup.
Keadaan ini sekarang mulai berubah juga dengan munculnya suatu generasi orang Arfak yang mendapat pendidikan sekolah. Dengan demikian, ketika ada peringatan 135 tahun kegiatan penyiaran agama Kristen di Pulau Mansinam dalam bulan Februari 1990, para pemimpin adat Arfak setuju dengan dikuranginya adat istiadat tradisional yang dapat menghambat pembangunan nasional, seperti adat menggunakan ilmu sihir destruktif yang merugikan orang lain, dan pembayaran mas kawin yang terlampau tinggi.
Pendidikan formal yang belum dimulai dalam zaman pemerintahan kolonial Belanda baru diupayakan oleh pemerintah Republik Indonesia sesudah tahun 1963. Dengan amat cepat telah didirikan beberapa SD, yang disusul tiga tahun kemudian oleh kehadiran sebuah SMP di kota kecamatan Anggi. Kini sudah ada anak-anak Arfak yang telah menyelesaikan pendidikan SLTA nya di Manokwari, dan beberapa di antara mereka telah menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian UNCEN di Manokwari.
Pengaruh upaya peningkatan kesehatan masyarakat sudah dimulai dalam zaman kolonial Belanda dengan imunisasi penyakit cacar dan malaria, dan puskesmas yang didirikan oleh pemerintah Indonesia di kecamatan Anggi dan beberapa desa, telah berhasil mengubah sikap orang Arfak terhadap penyakit pada umumnya.
Kecuali upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial orang Arfak melalui penyuluhan, pendidikan dan peningkatan kesehatan rakyat, perusahaan-perusahaan swasta seperti perusahaan coklat Ransiki dan perkebunan kelapa sawit di Warmare juga berperan dalam hal itu. Pemerintah Indonesia menganggap upaya dari organisasi-organisasi penyiaran agama Kristen Katolik bermanfaat dalam hal meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk Irian Jaya pada umumnya dan di daerah kepala burung pada khususnya, karena itu pada umumnya ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan organisasi-organisasi itu. Walaupun demikian ada satu hal yang patut disesalkan ialah bahwa persaingan antara organisasi-organisasi tersebut telah mempengaruhi para pengikutnya, sehingga timbul permusuhan antar penduduk.
Adapun pengaruh negatif dari upaya transmigrasi (atau transmigrasi local) yang pada dasarnya disebabkan karena kurangnya gereja dan sekolah, secara langsung membawa orang Arfak sekitar Manokwari, Warmare, Oransbari, Ransiki, Anggi dan daerah lainnya yaitu anggota kelompok-kelompok konfederasi Sough-Meyakh dan Hatam-Moile, ke dalam arus kehidupan masa kini. Proses perubahan kebudayaan yang berlangsung dalam kehidupan orang Arfak telah membawa akibat-akibat yang baik dan buruk. Akibat yang baik adalah :
1. mulai berkurangnya pengayauan (kanibalisme)
2. berkurangnya perang antar kelompok
3. penduduk sudah mengenakan busana modern (pakaian) bila mereka berada di kota
4. mulai adanya kesadaran akan kewarganegaraan yang lebih luas
5. adanya perkawinan campuran antara orang Arfak dengan orang luar
6. menghilangnya dendam kesumat terhadap lawan
7. hilangnya adat untuk tidak makan selama satu sampai tiga bulan dalam masa berkabung
Akibat buruk yang terjadi karena proses perubahan kebudayaan adalah :
1. tanggapan apatis masyarakat terhadap pemerintah, yang terbukti dari penggabungan suku-suku bangsa Arfak untuk melawan pemerintahan
2. timbulnya konflik antara anggota masyarakat karena masalah keanggotaan dalam aliran kepercayaan atau agama.
Pada dasarnya perubahan kebudayaan yang terjadi dalam setiap suku bangsa di Indonesia baik itu baik maupun buruk, akan membawa dampak yang begitu besar dalam perkembangan negara Indonesia itu sendiri dalam hal pmerintahan dan kesejahteraan rakyat. Perubahan-perubahan seperti ini pasti akan terus terjadi seiring berjalannya waktu dan kemajuan jaman yang semakin modern yang akan menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah suku bangsa yang masih tertinggal.
Proses perubahan kebudayaan orang Arfak tampak dalam berbagai aspek, antara lain dalam sektor ekonomi, kehidupan sosial, religi, pendidikan, dan kesehatan. Perubahan di bidang ekonomi adalah penggunaan alat-alat pertanian yang terbuat dari logam, beberapa teknik bercocok tanam yang baru, maupun beberapa jenis tanaman yang baru, sementara di beberapa tempat ada penduduk Arfak yang sudah mulai berkebun menetap. Hal itu dimulai dalam zaman kolonial Belanda yang mencoba mengembangkan perkebunan coklat di daerah orang Arfak di Manokwari, Oransbari, dan Ransiki. Dalam zaman Republik Indonesia, orang Arfak belajar bercocok tanam dari para transmigran local di antara transmigran-transmigran Jawa itu.
Kecuali itu, pemerintah mengintroduksikan peternakan sapid an kambing di daerah sekitar Manokwari, sebagai projek Banpres (Bantuan Presiden). Adapun orang Arfak yang tinggal di daerah pantai dan di tepi danau-danau, sejak tahun 1980 diperkenalkan dengan alat-alat menangkap ikan yang bagi mereka masih baru, yaitu kail, tali kail dari nylon dan jaring ikan.
Peningkatan produksi pangan yang tidak hanya untuk dapat bertahan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan produk perkebunan dan untuk dijual di pasar, tentu telah mengubah pola konsumsi pangan orang Arfak. Sebelum tahun 1940an, orang Arfak makan umbi-umbian sebagai makanan pokok, sedangkan ulat atau serangga, daging binatang kecil seperti tikus tanah, kus-kus, ular, biawak, katak rawa, daging kelelawar dan burung serta daging binatang besar seperti babi hutan, yang dibakar atau direbus, sudah memenuhi kebutuhan mereka akan protein. Beberapa macam pakis dan daun tumbuh-tumbuhan liar melengkapi makanan mereka sehari-hari. Sekarang orang Arfak, terutama di kota, sudah terbiasa makan nasi dengan lauk pauk yang dimasak dengan minyak goring serta bumbu-bumbu, seperti makanan orang Indonesia pada umumnya.
Perubahan di bidang sosial budaya juga sudah dimulai dalam dasawarsa 1940, yaitu masih dalam zaman kolonial Belanda, melalui jalur pengaruh agama, pendidikan dan peningkatan kesehatan masyarakat.
Berkat upaya penyebaran agama Kristen oleh organisasi penyebaran agama yang dilaksanakan oleh pendeta-pendeta dengan semangat dan dedikasi yang besar, banyak orang Arfak, terutama disekitar desa-desa pusat keramaian kini secara resmi telah beragama Kristen. Namun dalam kenyataan keyakinan mereka akan adanya dewa Ajemoa, nenek moyang Siba serta anak-anaknya, keyakinan mereka akan roh-roh nenek moyang yang ada disekitar tempat tinggal mereka akan ilmu gaib, ilmu dukun dan ilmu sihir masih tetap hidup.
Keadaan ini sekarang mulai berubah juga dengan munculnya suatu generasi orang Arfak yang mendapat pendidikan sekolah. Dengan demikian, ketika ada peringatan 135 tahun kegiatan penyiaran agama Kristen di Pulau Mansinam dalam bulan Februari 1990, para pemimpin adat Arfak setuju dengan dikuranginya adat istiadat tradisional yang dapat menghambat pembangunan nasional, seperti adat menggunakan ilmu sihir destruktif yang merugikan orang lain, dan pembayaran mas kawin yang terlampau tinggi.
Pendidikan formal yang belum dimulai dalam zaman pemerintahan kolonial Belanda baru diupayakan oleh pemerintah Republik Indonesia sesudah tahun 1963. Dengan amat cepat telah didirikan beberapa SD, yang disusul tiga tahun kemudian oleh kehadiran sebuah SMP di kota kecamatan Anggi. Kini sudah ada anak-anak Arfak yang telah menyelesaikan pendidikan SLTA nya di Manokwari, dan beberapa di antara mereka telah menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian UNCEN di Manokwari.
Pengaruh upaya peningkatan kesehatan masyarakat sudah dimulai dalam zaman kolonial Belanda dengan imunisasi penyakit cacar dan malaria, dan puskesmas yang didirikan oleh pemerintah Indonesia di kecamatan Anggi dan beberapa desa, telah berhasil mengubah sikap orang Arfak terhadap penyakit pada umumnya.
Kecuali upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial orang Arfak melalui penyuluhan, pendidikan dan peningkatan kesehatan rakyat, perusahaan-perusahaan swasta seperti perusahaan coklat Ransiki dan perkebunan kelapa sawit di Warmare juga berperan dalam hal itu. Pemerintah Indonesia menganggap upaya dari organisasi-organisasi penyiaran agama Kristen Katolik bermanfaat dalam hal meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk Irian Jaya pada umumnya dan di daerah kepala burung pada khususnya, karena itu pada umumnya ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan organisasi-organisasi itu. Walaupun demikian ada satu hal yang patut disesalkan ialah bahwa persaingan antara organisasi-organisasi tersebut telah mempengaruhi para pengikutnya, sehingga timbul permusuhan antar penduduk.
Adapun pengaruh negatif dari upaya transmigrasi (atau transmigrasi local) yang pada dasarnya disebabkan karena kurangnya gereja dan sekolah, secara langsung membawa orang Arfak sekitar Manokwari, Warmare, Oransbari, Ransiki, Anggi dan daerah lainnya yaitu anggota kelompok-kelompok konfederasi Sough-Meyakh dan Hatam-Moile, ke dalam arus kehidupan masa kini. Proses perubahan kebudayaan yang berlangsung dalam kehidupan orang Arfak telah membawa akibat-akibat yang baik dan buruk. Akibat yang baik adalah :
1. mulai berkurangnya pengayauan (kanibalisme)
2. berkurangnya perang antar kelompok
3. penduduk sudah mengenakan busana modern (pakaian) bila mereka berada di kota
4. mulai adanya kesadaran akan kewarganegaraan yang lebih luas
5. adanya perkawinan campuran antara orang Arfak dengan orang luar
6. menghilangnya dendam kesumat terhadap lawan
7. hilangnya adat untuk tidak makan selama satu sampai tiga bulan dalam masa berkabung
Akibat buruk yang terjadi karena proses perubahan kebudayaan adalah :
1. tanggapan apatis masyarakat terhadap pemerintah, yang terbukti dari penggabungan suku-suku bangsa Arfak untuk melawan pemerintahan
2. timbulnya konflik antara anggota masyarakat karena masalah keanggotaan dalam aliran kepercayaan atau agama.
Pada dasarnya perubahan kebudayaan yang terjadi dalam setiap suku bangsa di Indonesia baik itu baik maupun buruk, akan membawa dampak yang begitu besar dalam perkembangan negara Indonesia itu sendiri dalam hal pmerintahan dan kesejahteraan rakyat. Perubahan-perubahan seperti ini pasti akan terus terjadi seiring berjalannya waktu dan kemajuan jaman yang semakin modern yang akan menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah suku bangsa yang masih tertinggal.
BIBILIOGRAFI
Agraria Kab Dati II Mkw. (1987) Kabupaten Dati II Manokwari Fakta dan Penjelasan “A”. Kerja sama Tata Guna Tanah.
Faperta, Mkw. (1981) “Laporan Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Arfak , Mei-Agustus”.
Makalew, (1886) Perubahan-Perubahan Sosial pada Masyarakat Suku Arfak di Kabupaten Manokwari, Irian Jaya. Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fak. Pasca Sarjana UNIBRAW, Malang
Priyanto, A. dan Sadsoeitoeboen, PD (1987) “Laporan Kuliah Kerja Nyata di Desa Taige Kabupaten Dati II Arfak”.
Tucker, A.F. (1987) Ekosistem-Ekosistem Tani di Irian Jaya, dan Arah Pembangunannya. Jilid II. Stakin Sentani
Koentjaraningrat, V. Simorangkir (1993) Masyarakat Terasing di Indonesia. Cetakan I. Gramedia Pustaka Utama
http://vibizlife.com/travel_details.php?pg=travel&awal=80&page=9&id=10396
http://www.explore-indo.com/alam/213-ekowisata-di-kepala-burung-pulau-papua-pesona-alam-dan-misteri-melegenda-di-arfak.html
Faperta, Mkw. (1981) “Laporan Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Arfak , Mei-Agustus”.
Makalew, (1886) Perubahan-Perubahan Sosial pada Masyarakat Suku Arfak di Kabupaten Manokwari, Irian Jaya. Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fak. Pasca Sarjana UNIBRAW, Malang
Priyanto, A. dan Sadsoeitoeboen, PD (1987) “Laporan Kuliah Kerja Nyata di Desa Taige Kabupaten Dati II Arfak”.
Tucker, A.F. (1987) Ekosistem-Ekosistem Tani di Irian Jaya, dan Arah Pembangunannya. Jilid II. Stakin Sentani
Koentjaraningrat, V. Simorangkir (1993) Masyarakat Terasing di Indonesia. Cetakan I. Gramedia Pustaka Utama
http://vibizlife.com/travel_details.php?pg=travel&awal=80&page=9&id=10396
http://www.explore-indo.com/alam/213-ekowisata-di-kepala-burung-pulau-papua-pesona-alam-dan-misteri-melegenda-di-arfak.html
thanks man
ReplyDelete