Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasike generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
PENGERTIAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
1. Definisi
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi ulture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188). Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiada, lain kemampuan- kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189). Berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang dikutif oleh Ilya Sunarwinadi (1993:7-8) berdasarkan pendapat para ahli antara lain :
a. Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication is the art of understanding and being understood by the audience of mother culture).
b. Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi antar budaya terjadi manakalah bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intrcultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values).
c. Rich (1974) : Komunikasi antar budaya terjadi ketika orang-orang yang berbeda kebudayaan (communication is intercultural when accuring between peoples of different cultures).
d. Stewart (1974) : Komunikasi antara budaya yang mana terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiada dan kebiasaan (interculture communications which accurs under conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits).
e. Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi antar budaya ...interaksi antara para anggota kebudayaan yang berbeda.
f. Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antar budaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural communication is the sending and receiving of message within a context of cultural differences producing differential effects).
g. Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa yang merujuk dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Seluruh defenisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok- kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Halll, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
2. Dimensi-Dimensi Komunikasi Antar Budaya
Dari tema pokok demikian, maka perlu pengertian – pengertian operasional dari kebudayaan dan kaitannya dengan komunikasi antar budaya. Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan komunikasi antar budaya, ada 3 dimensi yang perlu diperhatikan (kim. 1984 : 17-20).
(1) Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan komunikasi.
(2) Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antar budaya,
(3) Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antar budaya (baik yang bersifat verbal maupun nonverbal).
Ad.(1) : Tingkat Keorganisasian Kelompok Budaya
Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan mencakup :
- Kawasan – kawasan di dunia, seperti : budaya timur/barat.
- Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti : budaya Amerika Utara/Asia Tenggara,
- Nasional/Negara, seperti, : Budaya Indonesia/Perancis/Jepang,
- Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negara seperti : budaya orang Amerika Hutam, budaya Amerika Asia, budaya Cina Indonesia,
- Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategorisasi jenis kelamin kelas sosial. Countercultures (budaya Happie, budaya orang di penjara, budaya gelandangan, budaya kemiskinan). Perhatian dan minat dari ahli-ahli komunikasi banyak meliputi komunikasi antar individu – individu dengan kebudayaan nasional berbeda (seperti wirausaha Jepang dengan wirausaha Amerika/Indonesia) atau antar individu dengan kebudayaan ras-etnik berbeda (seperti antar pelajar penduduk asli dengan guru pendatang). Bahkan ada yang lebih mempersempit lagi pengertian pada “kebudayaan individual” karena seperti orang mewujudkan latar belakang yang unik.
Ad.(2) : Konteks Sosial
Macam KAB dapat lagi diklasifikasi berdasarkan konteks sosial dari terjadinya. Yang biasanya termasuk dalam studi komunikasi antar budaya :
- Organizational
- Pendidikan
- Alkulturasi imigran
- Politik
- Penyesuaian perlancong/pendatang sementara
- Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi
- Konsultasi terapis.
Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur- unsur dasar dan proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing). Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi pemikiran. Penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal serta hubungan-hubungan antaranya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses-proses komunikasi antar budaya. Misalnya : Komunikasi antar orang Indonesia dan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan komunikasi antar keduanya dalam berperan sebagai dua mahasiswa dari suatu universitas. Jadi konteks sosial khusus tempat terjadinya KAB memberikan pada para partisipan hubungan-hubungan antar peran. Ekpektasi, norma-norma dan aturan-aturan tingkah laku yang khusus.
Ad.(3) : Saluran Komunikasi
Dimensi lain yang membedakan komunkiasi antar budaya ialah saluran melalui mana komunikasi antar budaya terjadi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas :
- Antarpribadi/interpersonal/person-person,
- Media massa
Bersama –sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga mempengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari komunikasi antar budaya. Misalnya : orang Indonesia menonton melalui TV keadaan kehidupan di Afrika akan memilih pengalaman yang berkeadaan apabila ia sendiri berada disana dan melihat dengan mata kepala sendiri. Umumnya, pengalaman komunikasi antar pribadi dianggap memberikan dampak yang lebih mendalam. Komunikasi melalui media kurang dalam hal feedback langsung antar partisipan dan oleh karena itu, pada pokoknya bersifat satu arah. Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus melalui batas-batas kebudayaan. Tetapi dalam keduanya, proses-proses komunikasi bersifat antar budaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya. Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun bersamaan, dalam mengklasifikasikan fenomena komunikasi antar budaya khusus. Misalnya : kita dapat menggambarkan komunikasi antara Presiden Indonesia dengan Dubes baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional, antarpribadi dalam konteks politik, komunikasi antara pengacara AS dari keturunan Cina dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai komunikasi antar ras/antar etnik dalam konteks business; komunikasi immigran dari Asia di Australia sebagai komunikasi antar etnik, antarpribadi dan massa dalam konteks akulturasi migran. Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok kontkes sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap antar budaya apabila para komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang pengalaman berbeda.
3. Istilah-Istilah yang Berkaitan dengan Komunikasi Antar Budaya
Kadang – kadang beberapa istilah yang menunjukkan adanya perbedaan kebudayaan dalam komunikasi di perguruan tinggi secara interchangeable (dapat ditukar-tukar secara berganti-gantian), tetapi sebenarnya masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Beberapa ahli telah mencoba membuat klasifikasi dan penekanan perbedaan pengertian sebagai berikut :
Sitaram (1970) menegaskan perbedaan intercultural Communication (lihat defenisi sebelumnya) dengan International Communication yang diartikannya sebagai interaksi antara struktur-struktur politik atau negara-negara, yang sering dilakukan oleh wakil-wakil dari negara-negara, atau bangsa-bangsa tersebut (“interaction between structures or nations, often carried on by representatives of those nations”). Ia juga mengemukakan tentang Intracultural Communications yang terjadi antara individu-individu dari kebudayaan yang sama dan bukan antara individu-individu dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda (“takes place among individuals of different cultures”). Sedangkan Minority Communication adalah komunikasi antara anggota-anggota suatu subbudaya minoritas dengan anggota- anggota budaya mayoritas yang dominan (“Communications between the people of a minority sub-culture and those of the majority dominant culture”).
Arthur Smith (1971) mengemukakan tentang Transcracial Communication, sebagai pengertian yang dicapai oleh orang-orang dari latar belakang etnik atau ras yang berbeda dalam suatu situasi interaksi verbal (“the understanding that persons from different ethnic or racial backgrounds can achieve in a situation of verbal interaction”); dalam pengertian ini tercakup dalamnya baik dimensi rasial maupun etnik (“it includes both rasial and ethnic dimensions”); hal mana untuk membedakan komunikasi transrasial dari komunikasi internrasial, yang biasanya menunjukkan perbedaan hanya dalam artiras (“....to differentiate transracial communication from the much-used term interracial. Which usually denotes differences in race only”).
Rich (1974) sebaliknya dari Sitaram, melihat pengertian dari minority dan majority sebagai suatu hal yang bersifat relatif serta hasil penelitian yang subyektif. Maka ia lebih memilih istilah Intteracial Communication yaitu komunikasi antara anggota-anggota dari kelompok-kelompok rasial yang berbeda (“Communication between members of differing, ethnic groups”). Ia juga mengemukakan pengertian lain, Contracultural Communication, yaitu komunikasi antara anggota-anggota dari dua kebudayaan yang asing satu sama lain, tetapi secara relatif sejajar, dalam suatu hubungan kolonial, di mana satu kebudayaan di paksa untuk tunduk pada kekuasaan kebudayaan yang lain (“Communication between ...members of two strange but relativerly equal culture in a colonial relatinship where one culture is forced to submit to the power of the other”).
Prosser (1978) merumuskan Countercultural Contracultural sebagai interaksi antara anggota-anggota suatu kelompok subbudaya yang anggota-anggotanya, terasingkan dari kebudayan atau masyarakat yang dominan, tetapi secara aktif dapat melawan nilai-nilai tadi, sehingga sering kali menghasilkan konflik (that interaction between members of a subcultural or cultural group whose members largely are alienated from the dominant culture or society, but may actively work againts these values. Conflict is often the result”).
Gerhard Malezke, seperti halnya Sitaram, juga membedakan pengertian Intercultural Communication (lihat defenisi sebelumnya) dari International Communication yang dirumuskannya sebagai Proses komunikasi antara negara- negara atau bangsa-bangsa yang melampaui batas-batas negara (“is the communication process between different countries or nations across frontiers”). Dari kedua defenisi tersebut dapat ditarik pengertian bahwa keduanya bisa berarti sama, tetapi tidak selalu harus demikian. Seringkali komunikasi internasional terjadi antara orang-orang dari kebudayaan yang sama, tetapi terpisahkan oleh batas internasional atau negara. Sebaliknya bisa saja komunikasi antar budaya terjadi antar orang-orang dalam batas negara yang sama, tetapi dengan asak kebudayaan yang berlainan, seringkali dengan bahasa-bahasa yang berlainan seperti kelompok- kelompok minoritas. Karenanya, orang cenderung untuk memakai kata ‘internasional’ jika berbicara tentang komunikasi pada tingkat murni politik yang dilakukan wakil-wakil negara, sedangkan konsep antar budaya (intercultural) lebih ditujukan untuk penggambaran realita sosiologis dan anthropologis. Kadang-kadang dipakai juga istilah Supranational atau bahkan Comparative Communication. Walaupun dalam hal penggunaan istilah ini tidak ada konsensus yang mutlak, tetapi malapetaka telah membuat satu garis pemisah yang lebih jelas. Penelitian dalam bidang-bidang komunikasi internasional maupun antar budaya tidak dapat disamakan dengan penelitian dalam bidang komunikasi komparatif (perbandingan). Yang menjadi titik pokok dari semua penelitian tentang proses-proses komunikasi antar budaya ialah : hubungan atau kontak-kontak antara orang-orang dari negara yang berlainan. Sedangkan penelitian dalam bidang komunikasi perbandingan, mempelajari dan membandingkan sistem-sistem komunikasi dari bermacam-macam kebudayaan dan negara untuk kemudian menarik perbandingan dari perbedaan-perbedaannya atau persamaan-persamaanya.
Dodd (1982) membagi situasi perbedaan antar budaya, khususnya yang biasa dimasukkan ke dalam pengertian komunikasi subbudaya (Subcultural Communications) ke dalam :
(1) Interethnic Communication
Yaitu komunikasi antara dua atau lebih orang dari luar latar belakang etnik yang berbeda. (Communications between two or more persons from different ethnic backgrounds”). Kelompok etnik adalah kumpulan orang yang dapat dikenal secara unik dari warisan tradisi kebudayaan yang sama, yang seringkali asalnya bersifat nasional. Contohnya di AS : Italian American, Polish American. Mexican American, Puerto Rican American. Di Indonesia, tentunya yang dimaksud dengan kelompok etnik ialah berbagai suku bangsa yang ada dalam wilayah negara Indonesia, seperti : Suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll, yang bisa melampaui batas subwilayah secara geografik.
(2) Interracial Communication
Yakni komunikasi antara dua atau lebih orang dari latar belakang ras yang berbeda (“communication between two or more persons of differing racial background”). Sedangkan ras yang diartikannya sebagai ciri-ciri penampilan fisik yang diturunkan dan diwariskan secara genetik. Pokok perhatian yang penting disini adalah bahwa perbedaan-perbedaanras menyebabkan perbedaan-perbedaan perseptual yang menghambat berlangsungnya komunikasi, bahkan sebelum ada sama sekali usaha untuk berkomunikasi.
(3) Countercultural Communinication
Melibatkan orang-orang dari budaya asal atau pokok yang berkomunikasi dengan orang-orang dari subbudaya yang terdapat dalam budaya pokok tadi (“....involves persons from a parent culture communication with persons from subcultures within the parent culture”). Dengan mengutip perumusan Prosser tentang Countercultural Communication (lihat di depan), Dodd pada pokoknya menekankan sifat dari subbudaya pada situasi khusus antar budaya di sini yang menolak nilai-nilai yang sudah diakui masyarakat luas (‘establisment values’) saat ini.
(4) Social Class Communication
Beberapa perbedaan antara orang-orang adalah berdasarkan atas status yang ditentukan oleh pendapatan, pekerjaan dan pendidikan. Perbedaan ini menciptakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Menyertai perbedaan ini adalah perbedaan dalam hal pandangan, adat kebiasaan dan lain sebagainya. Walaupun dalam beberapa hal tertentu kelas-kelas sosial ini memiliki bersama aspek-aspek kebudayaan pokoknya.
(5) Group Membership
Merupakan unit-unit subbudaya yang cukup menonjol. Berdasarkan homogenitas dalam karakteristik–karakteristik ideologik, ditambah dengan loyalits kelompok, banyak perbedaan-perbedaan antar kelompok yang meletus menjadi konflik serius. Misalnya perang antara kaum protestan dan katolik di Irlandia Utara atau perang antara penganut agama Islam dan Kriten di Libanon. Juga faktor – faktor jenis kelamin, tempat tinggal (seperti daerah rural atau urban) dan umur dapat menentukan perbedaan – perbedaan kelompok (group) ini. Selain pembagian mengenai perbedaan antar subbudaya tersebut, Dodd juga merumuskan International Communication sebagai komunikasi antara negara- negara oleh media massa, cara-cara diplomatik dan saluran-saluran antar pribadi lainnya. Yang menjadi titik pusat perhatian disini bukanlah bentuk dari pesan, melainkan kenyataan bahwa variabel-variabel geografik politik dan nasionalitas mendominasi transaksi yang terjadi. Contohnya adalah perjanjian perdamaian di Paris, Perjanjian perdamaian di Camp David, sebagai contoh dari konperensi tingkat tinggi antar negara, serta kegiatan yang dilakukan oleh VOA.
Dua istilah yang paling sering digunakan secara berganti-ganti, untuk menunjuk pada suatu pengertian yang sama ialah “Crosscultural Communication” dan “Interncultural Communication”.
KAITAN ANTARA KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN
1. Hubungan Timbal Balik dan Tak Terpisahkan Antara Komunikasi dan Kebudayaan
Dari berbagai definisi tentang KAB seperti yang telah dibahas sebelumnya, nampak bahwa unsur pokok yang mrndasari proses KAB ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi oleh Sarbaugh (1979:2) dengan pendapatnya bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, menurut Serbaugh, apabila disadari bahwa:
1. Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu.
2. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith (1966) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif prilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat:
1. Disatu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan , organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi.
2. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berprilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaina diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
Kalau kita mempelajari suatau kebudayaan, baik kebudayaan kompleks dari unit masyarakat yang besar maupun kebudayaan (atau subbudaya) dari unit hubungan yang lebih kecil yang lebih akrab, seperti kelompok etnik, komunitas di penjara, organisasi pendidikan atau perusahaan, akan ditemukan bahwa sejumlah segi yang kompleks dan saling berkaitan, berperan di dalamnya. Khususnya pada tingkat masyarakat yang luas, sedemikian banyaknya unsur-unsur yang berperan, sehingga sulit untuk melakukan identifikasi dan kategorisasi. Beberapa dimensi yang paling mendasar dari kebudayaan ialah bahasa, adat kebiasaan, kehidupan keluarga, cara berpakaian, dan cara makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, falsafah ekonomi, keyakinan dan sistem lainnya. Unsur-unsur ini tidaklah terpisahkan dari yang lain, tetapi sebaliknya saling berinteraksi sehingga menciptakan sistem budaya tersendiri. Misalnya, dalam banyak masyarakat, kecenderungan untuk mempunyai banyak anak tidak saja dapat dijelaskan dari adat kebiasaan, tetapi juga dari segi ekonomi, agama, kesehatan, dan tingkat teknologi dari masyarakat bersangkutan.
Kesadaran akan eksistensi dan hakekat kebudayaan atau subbudaya baru muncul apabila:
1. Seseorang anggota kebudayaan atau subbudaya melakukan pelanggaran terhadap standar-standar yang selama ini berlaku atau diharapkan masyarakat.
2. Bertemu secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan atau subbudaya lain, dan berdasarkan pengamatan teryata tingkah lakunya sangat berbeda dengan tingkah laku yang selama ini dikenal atau dilakukan.
Dalam kedua peristiwa diatas, kita mengetahui secara intuitif bahwa “ada sesuatu yang salah”, sehingga kita merasa tidak nyaman, walaupun kadang-kadang kita merasa tidak tahu pasti mengapa demikian? Karena sudah demikian terbiasanya dengan kebudayaan sendiri, maka kita kebanyakan menjadi tidak sadar akan hakekat subbudayanya. Kita secara mudah mengkonsumsi bahwa, apa yang ada atau terjadi adalah memang seharusnya demikian. Kebudayaan/subbudaya dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannyawaktu. Eksistensinya tidak dalam suatu keadaan yang vakum. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok, atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan/subbudaya dari kelompoknya sebagai latar belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi dapat juga secra revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan, tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam identitas dan khas kelompok-kelompok . Maka dalam hal ini komunikasi antar budaya ditentang secara aktif.
Referensi :
1.Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico
2. Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
3. Jalaludin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
4. Littlejohn, 1999, Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
5. Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
PENGERTIAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
1. Definisi
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi ulture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188). Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiada, lain kemampuan- kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189). Berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang dikutif oleh Ilya Sunarwinadi (1993:7-8) berdasarkan pendapat para ahli antara lain :
a. Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication is the art of understanding and being understood by the audience of mother culture).
b. Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi antar budaya terjadi manakalah bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intrcultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values).
c. Rich (1974) : Komunikasi antar budaya terjadi ketika orang-orang yang berbeda kebudayaan (communication is intercultural when accuring between peoples of different cultures).
d. Stewart (1974) : Komunikasi antara budaya yang mana terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiada dan kebiasaan (interculture communications which accurs under conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits).
e. Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi antar budaya ...interaksi antara para anggota kebudayaan yang berbeda.
f. Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antar budaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural communication is the sending and receiving of message within a context of cultural differences producing differential effects).
g. Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa yang merujuk dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Seluruh defenisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok- kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Halll, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
2. Dimensi-Dimensi Komunikasi Antar Budaya
Dari tema pokok demikian, maka perlu pengertian – pengertian operasional dari kebudayaan dan kaitannya dengan komunikasi antar budaya. Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan komunikasi antar budaya, ada 3 dimensi yang perlu diperhatikan (kim. 1984 : 17-20).
(1) Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan komunikasi.
(2) Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antar budaya,
(3) Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antar budaya (baik yang bersifat verbal maupun nonverbal).
Ad.(1) : Tingkat Keorganisasian Kelompok Budaya
Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan mencakup :
- Kawasan – kawasan di dunia, seperti : budaya timur/barat.
- Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti : budaya Amerika Utara/Asia Tenggara,
- Nasional/Negara, seperti, : Budaya Indonesia/Perancis/Jepang,
- Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negara seperti : budaya orang Amerika Hutam, budaya Amerika Asia, budaya Cina Indonesia,
- Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategorisasi jenis kelamin kelas sosial. Countercultures (budaya Happie, budaya orang di penjara, budaya gelandangan, budaya kemiskinan). Perhatian dan minat dari ahli-ahli komunikasi banyak meliputi komunikasi antar individu – individu dengan kebudayaan nasional berbeda (seperti wirausaha Jepang dengan wirausaha Amerika/Indonesia) atau antar individu dengan kebudayaan ras-etnik berbeda (seperti antar pelajar penduduk asli dengan guru pendatang). Bahkan ada yang lebih mempersempit lagi pengertian pada “kebudayaan individual” karena seperti orang mewujudkan latar belakang yang unik.
Ad.(2) : Konteks Sosial
Macam KAB dapat lagi diklasifikasi berdasarkan konteks sosial dari terjadinya. Yang biasanya termasuk dalam studi komunikasi antar budaya :
- Organizational
- Pendidikan
- Alkulturasi imigran
- Politik
- Penyesuaian perlancong/pendatang sementara
- Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi
- Konsultasi terapis.
Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur- unsur dasar dan proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing). Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi pemikiran. Penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal serta hubungan-hubungan antaranya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses-proses komunikasi antar budaya. Misalnya : Komunikasi antar orang Indonesia dan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan komunikasi antar keduanya dalam berperan sebagai dua mahasiswa dari suatu universitas. Jadi konteks sosial khusus tempat terjadinya KAB memberikan pada para partisipan hubungan-hubungan antar peran. Ekpektasi, norma-norma dan aturan-aturan tingkah laku yang khusus.
Ad.(3) : Saluran Komunikasi
Dimensi lain yang membedakan komunkiasi antar budaya ialah saluran melalui mana komunikasi antar budaya terjadi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas :
- Antarpribadi/interpersonal/person-person,
- Media massa
Bersama –sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga mempengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari komunikasi antar budaya. Misalnya : orang Indonesia menonton melalui TV keadaan kehidupan di Afrika akan memilih pengalaman yang berkeadaan apabila ia sendiri berada disana dan melihat dengan mata kepala sendiri. Umumnya, pengalaman komunikasi antar pribadi dianggap memberikan dampak yang lebih mendalam. Komunikasi melalui media kurang dalam hal feedback langsung antar partisipan dan oleh karena itu, pada pokoknya bersifat satu arah. Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus melalui batas-batas kebudayaan. Tetapi dalam keduanya, proses-proses komunikasi bersifat antar budaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya. Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun bersamaan, dalam mengklasifikasikan fenomena komunikasi antar budaya khusus. Misalnya : kita dapat menggambarkan komunikasi antara Presiden Indonesia dengan Dubes baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional, antarpribadi dalam konteks politik, komunikasi antara pengacara AS dari keturunan Cina dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai komunikasi antar ras/antar etnik dalam konteks business; komunikasi immigran dari Asia di Australia sebagai komunikasi antar etnik, antarpribadi dan massa dalam konteks akulturasi migran. Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok kontkes sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap antar budaya apabila para komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang pengalaman berbeda.
3. Istilah-Istilah yang Berkaitan dengan Komunikasi Antar Budaya
Kadang – kadang beberapa istilah yang menunjukkan adanya perbedaan kebudayaan dalam komunikasi di perguruan tinggi secara interchangeable (dapat ditukar-tukar secara berganti-gantian), tetapi sebenarnya masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Beberapa ahli telah mencoba membuat klasifikasi dan penekanan perbedaan pengertian sebagai berikut :
Sitaram (1970) menegaskan perbedaan intercultural Communication (lihat defenisi sebelumnya) dengan International Communication yang diartikannya sebagai interaksi antara struktur-struktur politik atau negara-negara, yang sering dilakukan oleh wakil-wakil dari negara-negara, atau bangsa-bangsa tersebut (“interaction between structures or nations, often carried on by representatives of those nations”). Ia juga mengemukakan tentang Intracultural Communications yang terjadi antara individu-individu dari kebudayaan yang sama dan bukan antara individu-individu dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda (“takes place among individuals of different cultures”). Sedangkan Minority Communication adalah komunikasi antara anggota-anggota suatu subbudaya minoritas dengan anggota- anggota budaya mayoritas yang dominan (“Communications between the people of a minority sub-culture and those of the majority dominant culture”).
Arthur Smith (1971) mengemukakan tentang Transcracial Communication, sebagai pengertian yang dicapai oleh orang-orang dari latar belakang etnik atau ras yang berbeda dalam suatu situasi interaksi verbal (“the understanding that persons from different ethnic or racial backgrounds can achieve in a situation of verbal interaction”); dalam pengertian ini tercakup dalamnya baik dimensi rasial maupun etnik (“it includes both rasial and ethnic dimensions”); hal mana untuk membedakan komunikasi transrasial dari komunikasi internrasial, yang biasanya menunjukkan perbedaan hanya dalam artiras (“....to differentiate transracial communication from the much-used term interracial. Which usually denotes differences in race only”).
Rich (1974) sebaliknya dari Sitaram, melihat pengertian dari minority dan majority sebagai suatu hal yang bersifat relatif serta hasil penelitian yang subyektif. Maka ia lebih memilih istilah Intteracial Communication yaitu komunikasi antara anggota-anggota dari kelompok-kelompok rasial yang berbeda (“Communication between members of differing, ethnic groups”). Ia juga mengemukakan pengertian lain, Contracultural Communication, yaitu komunikasi antara anggota-anggota dari dua kebudayaan yang asing satu sama lain, tetapi secara relatif sejajar, dalam suatu hubungan kolonial, di mana satu kebudayaan di paksa untuk tunduk pada kekuasaan kebudayaan yang lain (“Communication between ...members of two strange but relativerly equal culture in a colonial relatinship where one culture is forced to submit to the power of the other”).
Prosser (1978) merumuskan Countercultural Contracultural sebagai interaksi antara anggota-anggota suatu kelompok subbudaya yang anggota-anggotanya, terasingkan dari kebudayan atau masyarakat yang dominan, tetapi secara aktif dapat melawan nilai-nilai tadi, sehingga sering kali menghasilkan konflik (that interaction between members of a subcultural or cultural group whose members largely are alienated from the dominant culture or society, but may actively work againts these values. Conflict is often the result”).
Gerhard Malezke, seperti halnya Sitaram, juga membedakan pengertian Intercultural Communication (lihat defenisi sebelumnya) dari International Communication yang dirumuskannya sebagai Proses komunikasi antara negara- negara atau bangsa-bangsa yang melampaui batas-batas negara (“is the communication process between different countries or nations across frontiers”). Dari kedua defenisi tersebut dapat ditarik pengertian bahwa keduanya bisa berarti sama, tetapi tidak selalu harus demikian. Seringkali komunikasi internasional terjadi antara orang-orang dari kebudayaan yang sama, tetapi terpisahkan oleh batas internasional atau negara. Sebaliknya bisa saja komunikasi antar budaya terjadi antar orang-orang dalam batas negara yang sama, tetapi dengan asak kebudayaan yang berlainan, seringkali dengan bahasa-bahasa yang berlainan seperti kelompok- kelompok minoritas. Karenanya, orang cenderung untuk memakai kata ‘internasional’ jika berbicara tentang komunikasi pada tingkat murni politik yang dilakukan wakil-wakil negara, sedangkan konsep antar budaya (intercultural) lebih ditujukan untuk penggambaran realita sosiologis dan anthropologis. Kadang-kadang dipakai juga istilah Supranational atau bahkan Comparative Communication. Walaupun dalam hal penggunaan istilah ini tidak ada konsensus yang mutlak, tetapi malapetaka telah membuat satu garis pemisah yang lebih jelas. Penelitian dalam bidang-bidang komunikasi internasional maupun antar budaya tidak dapat disamakan dengan penelitian dalam bidang komunikasi komparatif (perbandingan). Yang menjadi titik pokok dari semua penelitian tentang proses-proses komunikasi antar budaya ialah : hubungan atau kontak-kontak antara orang-orang dari negara yang berlainan. Sedangkan penelitian dalam bidang komunikasi perbandingan, mempelajari dan membandingkan sistem-sistem komunikasi dari bermacam-macam kebudayaan dan negara untuk kemudian menarik perbandingan dari perbedaan-perbedaannya atau persamaan-persamaanya.
Dodd (1982) membagi situasi perbedaan antar budaya, khususnya yang biasa dimasukkan ke dalam pengertian komunikasi subbudaya (Subcultural Communications) ke dalam :
(1) Interethnic Communication
Yaitu komunikasi antara dua atau lebih orang dari luar latar belakang etnik yang berbeda. (Communications between two or more persons from different ethnic backgrounds”). Kelompok etnik adalah kumpulan orang yang dapat dikenal secara unik dari warisan tradisi kebudayaan yang sama, yang seringkali asalnya bersifat nasional. Contohnya di AS : Italian American, Polish American. Mexican American, Puerto Rican American. Di Indonesia, tentunya yang dimaksud dengan kelompok etnik ialah berbagai suku bangsa yang ada dalam wilayah negara Indonesia, seperti : Suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll, yang bisa melampaui batas subwilayah secara geografik.
(2) Interracial Communication
Yakni komunikasi antara dua atau lebih orang dari latar belakang ras yang berbeda (“communication between two or more persons of differing racial background”). Sedangkan ras yang diartikannya sebagai ciri-ciri penampilan fisik yang diturunkan dan diwariskan secara genetik. Pokok perhatian yang penting disini adalah bahwa perbedaan-perbedaanras menyebabkan perbedaan-perbedaan perseptual yang menghambat berlangsungnya komunikasi, bahkan sebelum ada sama sekali usaha untuk berkomunikasi.
(3) Countercultural Communinication
Melibatkan orang-orang dari budaya asal atau pokok yang berkomunikasi dengan orang-orang dari subbudaya yang terdapat dalam budaya pokok tadi (“....involves persons from a parent culture communication with persons from subcultures within the parent culture”). Dengan mengutip perumusan Prosser tentang Countercultural Communication (lihat di depan), Dodd pada pokoknya menekankan sifat dari subbudaya pada situasi khusus antar budaya di sini yang menolak nilai-nilai yang sudah diakui masyarakat luas (‘establisment values’) saat ini.
(4) Social Class Communication
Beberapa perbedaan antara orang-orang adalah berdasarkan atas status yang ditentukan oleh pendapatan, pekerjaan dan pendidikan. Perbedaan ini menciptakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Menyertai perbedaan ini adalah perbedaan dalam hal pandangan, adat kebiasaan dan lain sebagainya. Walaupun dalam beberapa hal tertentu kelas-kelas sosial ini memiliki bersama aspek-aspek kebudayaan pokoknya.
(5) Group Membership
Merupakan unit-unit subbudaya yang cukup menonjol. Berdasarkan homogenitas dalam karakteristik–karakteristik ideologik, ditambah dengan loyalits kelompok, banyak perbedaan-perbedaan antar kelompok yang meletus menjadi konflik serius. Misalnya perang antara kaum protestan dan katolik di Irlandia Utara atau perang antara penganut agama Islam dan Kriten di Libanon. Juga faktor – faktor jenis kelamin, tempat tinggal (seperti daerah rural atau urban) dan umur dapat menentukan perbedaan – perbedaan kelompok (group) ini. Selain pembagian mengenai perbedaan antar subbudaya tersebut, Dodd juga merumuskan International Communication sebagai komunikasi antara negara- negara oleh media massa, cara-cara diplomatik dan saluran-saluran antar pribadi lainnya. Yang menjadi titik pusat perhatian disini bukanlah bentuk dari pesan, melainkan kenyataan bahwa variabel-variabel geografik politik dan nasionalitas mendominasi transaksi yang terjadi. Contohnya adalah perjanjian perdamaian di Paris, Perjanjian perdamaian di Camp David, sebagai contoh dari konperensi tingkat tinggi antar negara, serta kegiatan yang dilakukan oleh VOA.
Dua istilah yang paling sering digunakan secara berganti-ganti, untuk menunjuk pada suatu pengertian yang sama ialah “Crosscultural Communication” dan “Interncultural Communication”.
KAITAN ANTARA KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN
1. Hubungan Timbal Balik dan Tak Terpisahkan Antara Komunikasi dan Kebudayaan
Dari berbagai definisi tentang KAB seperti yang telah dibahas sebelumnya, nampak bahwa unsur pokok yang mrndasari proses KAB ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi oleh Sarbaugh (1979:2) dengan pendapatnya bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, menurut Serbaugh, apabila disadari bahwa:
1. Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu.
2. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith (1966) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif prilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat:
1. Disatu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan , organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi.
2. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berprilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaina diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
Kalau kita mempelajari suatau kebudayaan, baik kebudayaan kompleks dari unit masyarakat yang besar maupun kebudayaan (atau subbudaya) dari unit hubungan yang lebih kecil yang lebih akrab, seperti kelompok etnik, komunitas di penjara, organisasi pendidikan atau perusahaan, akan ditemukan bahwa sejumlah segi yang kompleks dan saling berkaitan, berperan di dalamnya. Khususnya pada tingkat masyarakat yang luas, sedemikian banyaknya unsur-unsur yang berperan, sehingga sulit untuk melakukan identifikasi dan kategorisasi. Beberapa dimensi yang paling mendasar dari kebudayaan ialah bahasa, adat kebiasaan, kehidupan keluarga, cara berpakaian, dan cara makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, falsafah ekonomi, keyakinan dan sistem lainnya. Unsur-unsur ini tidaklah terpisahkan dari yang lain, tetapi sebaliknya saling berinteraksi sehingga menciptakan sistem budaya tersendiri. Misalnya, dalam banyak masyarakat, kecenderungan untuk mempunyai banyak anak tidak saja dapat dijelaskan dari adat kebiasaan, tetapi juga dari segi ekonomi, agama, kesehatan, dan tingkat teknologi dari masyarakat bersangkutan.
Kesadaran akan eksistensi dan hakekat kebudayaan atau subbudaya baru muncul apabila:
1. Seseorang anggota kebudayaan atau subbudaya melakukan pelanggaran terhadap standar-standar yang selama ini berlaku atau diharapkan masyarakat.
2. Bertemu secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan atau subbudaya lain, dan berdasarkan pengamatan teryata tingkah lakunya sangat berbeda dengan tingkah laku yang selama ini dikenal atau dilakukan.
Dalam kedua peristiwa diatas, kita mengetahui secara intuitif bahwa “ada sesuatu yang salah”, sehingga kita merasa tidak nyaman, walaupun kadang-kadang kita merasa tidak tahu pasti mengapa demikian? Karena sudah demikian terbiasanya dengan kebudayaan sendiri, maka kita kebanyakan menjadi tidak sadar akan hakekat subbudayanya. Kita secara mudah mengkonsumsi bahwa, apa yang ada atau terjadi adalah memang seharusnya demikian. Kebudayaan/subbudaya dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannyawaktu. Eksistensinya tidak dalam suatu keadaan yang vakum. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok, atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan/subbudaya dari kelompoknya sebagai latar belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi dapat juga secra revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan, tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam identitas dan khas kelompok-kelompok . Maka dalam hal ini komunikasi antar budaya ditentang secara aktif.
Referensi :
1.Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico
2. Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
3. Jalaludin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
4. Littlejohn, 1999, Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
5. Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
No comments:
Post a Comment