BAB II
KERANGKA TEORITIS
KERANGKA TEORITIS
2.1 Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Pengertian kepentingan umum:
1. Badan dan peraturan perundangan negara:
- Negara
- Lembaga Negara
- Penjabat Negara
- Pegawai negeri
- Undang – undang peraturan pemerintah
2. Kepentingan hukum tiap manusia:
- Jiwa
- Raga / tubuh
- Kemerdekaan
- Kehormatan
- Hak milik / harta benda
Pelanggaran dan Kejahatan:
1. Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda, misalnya: supir mobil yang tak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), bersepeda tanpa lampu di malam hari.
2. Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar, seperti:
- Pembunuhan
- Penganiayaan
- Penghinaan
- Pencurian
2.1.1 Sejarah Singkat Hukum Pidana Indonesia
Hukum Pidana yang berlaku sekarang ialah hukum pidana yang tertulis dan sudah dimodifikasi. Peraturan mengenai Pidana telah tersebar, sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas guna menjalankan undang-undang (Presiden, Mentri, Kepala Daerah, dan sebagainya) berhak membuat peraturan pidana.
Peraturan – peraturan pidana yang dibuat badan legislatif dan badan eksekutif yang lebih rendah kedudukannya, tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari badan – badan eksekutif serta legislatif yang lebih tinggi.
Peraturan – peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab ialah Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van Strafrecht= W.v.S). KUHP memuat peraturan – peraturan pidana yang berlaku terhadap seluruh penduduk Indonesia, karena dibuat oleh Badan Legislatif yang tertinggi dan sesuai dengan asas unifikasi hukum. KUHP lahir dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Berdasarkan pasal II aturan peralihan dari UUD 1945 yo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 yo. Pasal 142 UUDS 1950, maka hingga kini masih diperlakukan KUHP tersebut, yang diciptakan tanggal 1 Januari 1918, sebab pengaadaan KUHP baru belum ada.
Perubahan penting dari KUHP ciptaan Hindia Belanda, diadakan dengan undang – undang No. 1 tahun 1946. Dengan KUHP tersebut, maka mulai 1 Januari 1918 berlakulah satu macam Hukum Pidana untuk semua golongna penduduk Indonesia (unifikasi Hukum Pidana). Sebelum 1 Januari 1918 , berlaku 2 KUHP:
- Satu untuk golongan Indonesia (mulai berlaku 1 Januari 1873)
- Satu untuk golongan Eropa (mulai berlaku 1 Januari 1867)
KUHP untuk golongan Indonesia (1873) merupakan turunan dari KUHP untuk orang Eropa (1867). KUHP orang Eropa merupakan turunan kode penal – Hukum Pidana Perancis di era Napoleon di tahun 1811. Sebelum tahun 1867 orang – orang Eropa di Indonesia pada umumnya dikenakan hukum pidana dari Belanda atau hukum Romawi. Sedangkan bagi orang Indonesia sebelum tahun 1873 diperlakukkan hukum adat pidanannya masing – masing. Hukum pidana di Indonesia pada umumnya tidak tertulis dan bila tertulis belum merupakan suatu kodifikasi, sebab masih tercantum dengan hukum lain. Hukum adat bersifat kedaerah – daerahan.
2.1.2 Fungsi Hukum Pidana
Hukum pidana berfungsi sebagai pengendali kejahatan yang dibuat oleh manusia. Hukum pidana juga berfungsi sebagai penegas atau sebagai penerapan sanksi bagi hukum lain, seperti hukum perdata dan administrasi.
2.1.3 Tujuan Hukum Pidana
Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungan jawab manusia tentang “perbuatan yang dapat dihukum”. Kalau seseorang melanggar aturan pidana, maka akibatnya ialah bahwa bahwa orang itu dapat di pertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan hukuman (kecuali orang gila, dibawah umur dan sebagainya).
Tujuan hukum pidana itu memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu : asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis juridis. Selain itu, hukum pidana dilihat sebagai ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sebagai ilmu pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan tentang sebab dari kejahatan ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakat.
Seperti juga setiap ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dan keterangan dari ilmu pengetahuan lain, demikian pula ilmu hukum pidana ini mempunyai ilmu-ilmu pengetahuan pembantunya, diantaranya :
1. Anthropologi
2. Filsafat
3. Ethica
4. Statistik
5. Medicine Forensic (Ilmu Kedokteran bagian Kehakiman)
6. Psychiatrie-Kehakiman
7. Kriminologi
2.1.4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Peninjauan terhadap KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dapat dari luar dan dapat pula dari dalam. Peninjauan dari luar ialah mengenai riwayatnya yang telah kita bicarakan dahulu, sekitar Undang-Undang Pidana dan beberapa ilmu pengetahuan pembantu dari hukum pidana. Dari dalam ialah mengenai bentuk dan isi kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Baiklah kita meninjau dari dalam karena riwayat KUHP telah dipaparkan di muka, dan kita mulai dengan uraian sekitar Undang-Undang Pidana :
- Undang Undang Hukum Pidana
Apakah Undang-Undang Hukum Pidana itu? Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya. Lazim juga dikatakan bahwa Undang-Undang Hukum Pidana adalah “Norma plus Sanksi”.
Norma dan sanksi itu pada umumnya terdapat pada satu pasal. Misalnya pasal 338 KUHP bunyinya : “Barangsiapa dengan sengaja mengambil nyawa orang lain dihukum, karena pembunuhan, dengan hukuman setinggi-tingginya 15 tahun.”
Dapat juga norma dan sanksi terpisah dalam beberapa pasal. Jadi dalam pasal I, II dan seterusnya disebutkan dahulu norma-normanya dan baru kemudian dalam pasal terakhir diterangkan bahwa “Pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal I, II dan seterusnya dihukum dengan hukuman penjara paling lama sekian tahun.” Ada juga Undang-Undang Hukum Pidana yang bentuknya mengancam dengan hukuman (sanksi) terlebih dahulu. Sedangkan norma-normanya belum ada seperti misalnya bunyi pasal 122 KUHP : “Dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15tahun, barangsiapa dalam masa perang dengan sengaja melanggar suatu peraturan yang diadakan oleh pemerintah untuk menjaga keselamatan negara”. Didalam pasal ini belum terdapat normanya melainkan baru nanti diadakan kalau masa perang tiba. Jika kita meninjau dengan teliti norma dari Undang-Undang Hukum Pidana itu, maka norma itu bukanlah norma asli dari Hukum Pidana melainkan dari norma-norma hukum lain.
Yang asli dan istimewa adalah sanksinya. Tetapi ini tidaklah berarti bahwa kalau kita melanggar Undang-Undang Hukum Pidana yang kita langgar sanksinya, melainkan tetap normanya. Sanksi itu tidak berdiri sendiri melainkan adalah untuk melindungi normanya itu.
- Siapakah yang berhak membuat Undang-Undang Hukum Pidana itu?
Kalau perkataan Undang-Undang Hukum Pidana itu diartikan sempit sebagai Undang-Undang, maka yang berhak membuatnya adalah badan legislative yang tertinggi (DPR) bersama pemerintah. Kalau diartikan luas sebagai peraturan maka yang berhak membuat peraturan pidana adalah semua badan legislative dan semua orang yang mempunyai kekuasaan eksekutif (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, Kepala Polisi, Komandan Tentara dan lain lain).
Tentunya badan-badan dan orang-orang yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh lagi membuat peraturan-peraturan pidana yang sudah dibuat oleh instansi-instansi yang lebih tinggi, apalagi yang bertentangan atau melampaui bata-batas kekuasaannya. Jika terjadi demikian maka dengan sendirinya peraturan pidana dari instansi bawahan itu tidak sah (menjadi batal).
- Bila suatu Undang-Undang Pidana mulai sah berlaku?
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu Undang-Undang ialah sesudah diundangkan oleh pemerintah (dalam hal ini menteri Sekretaris Negara) dalam Lembaran Negara. Dalam zaman Hindia Belanda, Undang-Undang itu diundangkan dalam STAATSBLAD (Stb = S).Setelah diundangkan dalam Lembaran Negara Undang-Undang tersebut lalu diumumkan dalam Berita Negara (zaman Hindia Belanda : De Javasche Courant dan berita resmi di zama Jepang : Kan Po).
Tanggal mulai berlakunya Undang-Undang itu ialah menurut tanggal yang ditetapkan dalam Undang-Undang itu dan sendiri dan kalau tanggal itu tidak disebutkan, maka Undang-Undang itu mulai berlaku untuk Jawa dan Madura 30 hari sesudah diundangkan dalam Lembaran Negara dan untuk daerah yang lain 100 hari sesudah pengundangan itu. Sesudah syarat tersebut diatas dipenuhi maka tiap-tiap orang telah dianggap mengetahui Undang-Undang itu. Tidak boleh orang yang melanggar Undang-Undang itu, sambil membela atau membebaskan diri dengan alasan “Saya tidak tahu peraturan itu”.
- Bila suatu Undang-Undang Pidana tidak berlaku lagi?
Mulai tidak berlakunya itu dapat dinyatakan dengan tegas oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi dengan menyatakan : Undang-Undang nomor sekian dicabut, dapat juga suatu undang-undang tidak berlaku lagi dengan tidak disebut-sebutkan yaitu karena hal itu telah diatur dengan Undang-Undang yang baru oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi. Juga kalau waktu berlakunya undang-undang itu telah habis.
Singkatnya :
1. Suatu peraturan tak berlaku lagi bila waktu yang telah ditentukan oleh peraturan itu sudah lampau.
2. Bila keadaan itu untuk mana bunyi peraturan itu diadakan sudah tidak ada lagi.
3. Bila peraturan itu dicabut (dengan tegas atau tidak langsung)
4. Bila telah ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan peraturan yang duluan (kebijaksanaan dalam ketatanegaraan)
5. Sampai dimanakah kekuasaan berlakunya Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia?
2.2 Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif, misalnya politik, kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling umum adalah dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan peledak, seperti bom.
2.2.1 Mutilasi
Mutilasi menurut ilmu kriminologi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Pelaku mutilasi adalah orang normal yang melakukan pembunuhan disertai tindakan memisahkan tubuh korban dengan kesadaran dan latar belakang emosinya. Tujuannya sebagai langkah aman utnuk menghilangkan jejak pembunuhan.
Faktor penyebabnya :
- Tayangan TV
- Faktor pribadi
- Lingkungan dan tekanan ekonomi
- Kecerdasan emosional
- Tingkat pendidikan yang rendah
Latar belakangnya karena penghargaan sosial yang kian menurun telah membentuk watak-watak keras, sehingga mengakibatkan perilaku sadisme. Penghargaan yang kurang ini juga akan mengakibatkan dendam sosial. Akibatnya akan terjadi penetrasi, kurangnya kontrol sosial, dan moral, sehingga menjadikan masyarakat begitu mudah melakukan pembunuhan mutilasi.
2.3 Psikopat
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut "orang gila tanpa gangguan mental". Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan. Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.
Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.
Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu menjadi buruk.
Gejala-gejala psikopat
1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
5. Sikap antisosial di usia dewasa.
6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar -- bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".
11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.
2.4 Homoseksual
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Berikut teori -teori masa lalu dan keyakinan tentang penyebab homoseksualitas, apa yang membuat seseorang menjadi gay atau lesbian :
- Hubungan antara orang tua dan anak
Sebuah teori umum yang dipakai bertahun - tahun dalam menjelaskan penyebab homoseksualitas, sebagai pondasi pada praktek psikologi atau pemuka agama untuk perubahan homoseksual pria menjadi heteroseksual, adalah disfungsi hubungan antara orang tua, keluarga, dan anak, sering disebut sebagai teori "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah." Jika seorang wanita homoseksual, lalu peran orang tua biasanya dibalik. Tapi riset para profesional membuktikan praktek teori ini tidak memperhatikan saudara laki dan saudara perempuan lainnya yang tumbuh di rumah yang sama dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," dan tumbuh menjadi heteroseksual. Teori ini juga tidak mempertimbangkan kembar identik yang dipisahkan saat lahir, yang dibesarkan oleh orang tua yang berbeda, berbeda kultur dan sosial, dan keduanya menjadi homoseksual waktu dewasa. Dalam kenyataannya, penelitian menunjukan jika model keluarga dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," ini sesungguhnya mungkin sebagai "hasil" seorang anak menjadi gay atau lesbian, dan bukan sebagai penyebab. Di dalam rumah yang demikian, seorang ayah mungkin secara tidak sadar merasakan perbedaan di anak gay , dan dirinya yang menjauh, tidak tahu bagaimana mengenali atau berinteraksi dengan anak. Kemudian, seorang ibu mungkin merasa perlu untuk memelihara dan melindungi anak yang malang ini, menggantikan ayah yang menarik diri.
- Kebingungan seksual
Bila anda melihat banyak kasus sejarah orang yang mengklaim dirinya "diobati, " yang telah "berganti," atau "berubah" dari homoseksual menjadi heteroseksual, sebagai produk "reparative therapy," sejarah kehidupan mereka sering menunjukan kebingungan gender masa kecil dan atau masa remaja, dan atau disfungsi identitas seksual. Sering bila anda melihat pada orang yang mengklaim perubahan, mereka dalam kenyataannya selalu heteroseksual, yang akhirnya disembuhkan dari identitas seksual dan atau gender, atau kebingungan orientasi.Kemudian, beberapa dari mereka yang mendapat kekerasan secara seksual di masa kecil dan memproses trauma ini ke dalam diri, atau orang yang entah bagaimana tumbuh dalam disfungsi identitas, gender, atau seksual yang menyebabkan mereka terikat pada perilaku seksual negatif. Lalu ada sekelompok kecil orang yang "gay" bukan karena orientasi seksual mereka, tetapi karena beberapa disfungsi dalam prosess dan perkembangan di kehidupan mereka. Hal ini sangat mengejutkan banyak orang, tetapi seharusnya tidak, sama halnya adanya disfungsi seksual heteroseksual, begitu juga ada disfungsi seksual homoseksual. Seseorang dapat berubah atau membungkus orientasi seksual mereka ke arah yang tidak sesuai dengan kodrat mereka.
Contoh, beberapa wanita yang terlibat dalam aktifitas homoseksual tidak benar - benar lesbian, tetapi sebenarnya heteroseksual yang tidak mampu mengembangkan hubungan yang baik dan positif dengan pria, baik karena tidak adanya model peran yang baik, atau pengalaman kekerasan secara seksual, verbal, atau fisik dari seorang pria; mereka beralih, dalam luka batin mereka, pada sebuah pencarian untuk pengasuhan dan penyembuhan di luar norma mereka; daripada mencari bantuan terapi untuk menyembuhkan trauma mereka, mereka mulai terlibat dalam disfungsi seksual dan hubungan emosional. Lebih lanjut, beberapa pria adalah heteroseksual yang terlibat aktifitas homoseksual, perilaku, dan identitas palsu yang disebabkan beberapa bentuk identitas diri atau seksual, penerimaan diri, dan atau disfungsi harga diri; hal ini ditunjukan terutama oleh kebingungan peranan gender pria tradisional yang "diterima"nya, sebuah pencarian untuk pengasuhan pria, atau penyembuhan terhadap putusnya hubungan pria. Disfungsi pada orientasi seksual mungkin menjadi bukti luka batin yang dalam, yang menjelma menjadi kebingungan, atau identitas seksual sebenarnya yang dibelokan. Pada umumnya, pada kebanyakan orang yang orientasi seksualnya diketahui, menjelma baik positif atau negatif. Tetapi, pada beberapa orang dengan disfungsi peranan gender atau identitas seksual mungkin menyebabkan timbulnya aktifitas seksual yang membingungkan.
- Faktor Genetik
Apakah orientasi seksual yang ditentukan oleh faktor genetik, atau ditentukan oleh faktor sosial, atau proses kultiral? Inti dari pertanyaan bukanlah penyebab asal dari homoseksual, tetapi merupakan pertanyaan moralitas orientasi seksual homoseksual. Jika homoseksualitas disebabkan karena faktor generik ada dua hal yang pada umumnya akan terjadi. Mereka yang percaya homoseksualitas adalah salah akan menggunakan bukti ini untuk membuktikan bahwa hal ini adalah penyakit genetik, dan menggunakan isu ini sebagai justifikasi untuk mencari "pengobatan," untuk mengisolasi dan atau menentang hak sipil orang gay. Mereka yang percaya bahwa homoseksualitas adalah sehat dan normal akan menggunakan isu ini untuk membuktikan bahwa hal ini merupakan perkembangan normal pada manusia, dan menggunakannya sebagai justifikasi bahwa homoseksualitas adalah normal, dan atau menjamin hak - hak sipil bagi orang gay. Jadi apakah hal ini karena faktor genetik atau bukan, atau sebagai hasil dari kehidupan tidak ada bedanya, cara lain orang menggunakan hasil ini sebagai justifikasi keyakinan mereka pada teori ini
- Moralitas
Namun sisa isu apakah menjadi gay atau tidak adalah baik atau buruk. Hal ini ditentukan apakah kita memandang kehidupan sebagai hitam dan putih, absolut, atau apakah kita memandangnya sebagai hitam, putih, abu - abu, dengan pilihan. Secara logika, banyak kehidupan bukanlah tentang baik atau buruk, tetapi netral. Tetapi ada banyak orang yang mencapai kehidupan dan benda - benda yang pada hakekatnya adalah sebuah hitam atau putih, baik atau jelek, perspektif baik atau buruk. Di komunitas agama ditemukan debat panas atau persepsi apakah homoseksualitas itu benar atau salah. Tidak ada yang secara alamiah salah pada segala sesuatu dalam kehidupan; bagaimana anda memilih atau tidak mereka memperbaiki diri sendiri, orang lain, sosial, dan budaya, atau apakah mereka menggunakan dan melakukan kekerasan pada sesama. Sebagai contoh, apakah menghadiri kotbah menjadikan perbaikan diri? ya, tentunya. Dapatkah menghadiri kotbah mengarah pada penggunaan dan perlakuan kekerasan diri? Bahkan hal - hal yang baik dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Terapkanlah hal yang sama pada orientasi seksual, apakah hitam atau putih, baik atau buruk, salah atau benar, atau netral sampai ada tindakan? Beberapa orang percaya bahwa seseorang mungkin berjalan pada orientasi seksual atau heteroseksual mereka apakah untuk perbaikan diri, orang lain, sosial dan budaya, atau untuk pengunaan dan perlakuan kekerasan pada sesama. Pada mereka yang percaya pada absolutisme, lalu homoseksualitas selalu salah dalam hal apapun; bagi mereka yang percaya orientasi seksual menjadi netral, bagaimana anda menghargai dan mewujudkannya akan menentukan kebenaranya, lalu homoseksualitas diterima.
- Kekerasan seksual (sexual abuse)
Anak yang mengalami kekerasan secara seksual, apakah dilakukan oleh orang yang sama jenis kelaminnya atau lain jenis, tidak akan tumbuh menjadi gay atau lesbian, tetapi trauma yang demikian dapat membelokan dan mencegah perkembangan orientasi seksual yang alamiah dan sehat, identitas seksual, dan hubungan seksual yang sehat. Penelitian menunjukan bahwa mayoritas orang yang mendapat kekerasan seksual pada waktu kecil adalah heteroseksual, bukan homoseksual, pada orientasi seksual mereka. Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan yang kejam, bukan sebuah kejahatan seks; Ini adalah sebuah kejahatan kekuatan satu orang terhadap orang lain, yang diarahkan di sekitar seksualitas. Anak yang mendapat kekerasan secara seksual sering berpikir mereka telah “ melakukan sesuatu yang pantas mendapatkannya,” mereka memberikan semacam sinyal yang menyebabkan hal tersebut. Bukan ini masalahnya; anak menjadi korban kejahatan, bukan pelaku kejahatan. Anak selalu tidak berdosa, selalu. Tetapi, rasa malu dan rasa bersalah yang palsu dapat menyebabkan seorang anak berkeyakinan ada sesuatu yang salah pada diri mereka. Kekerasan pada anak mungkin menyebabkan seorang anak tumbuh dengan disfungsi seksual, dan atau kebingungan orientasi seksual, termasuk hubungan seksual yang tidak sehat.
- Kebingungan Peran Gender
Tidak seorangpun anak yang tidak sesuai dengan peran gender “tradisional” akan tumbuh menjadi gay atau lesbian. Jika anda laki – laki, dan senang memasak, bersih – bersih, menjahit, mengecat, merangkai bunga, menari balet, lalu anda seharusnya stereotip gay; tetapi kebanyakan artis, koki, penari balet, bukan gay, dan sisanya campuran. Jika anda perempuan, dan suka menjerat sapi, bekerja di pengeboran minyak, anda seharusnya stereotip seorang lesbian. Salah lagi. Pekerjaan seseorang, hobi, atau melawan “peran gender tradisional,” tidak menjadikan seseorang gay atau lesbian. Tapi mungkin saja merupakan sebuah refleksi tingkat penolakan homoseksualitas oleh masyarakat tersebut. Di budaya atau masyarakat yang menindas atau menolak homoseksualitas, homoseksual cenderung mengendap pada stereotip seperti pekerjaan, hobi, bakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi diri mereka. Di negara yang terbuka pada kaum gay dan lesbian, homoseksual dan heteroseksual ditemukan sebanding di pekerjaan – pekerjaan dan peran – peran yang secara tradisional diyakini sebagai “maskulin” atau “feminism.” Pekerjaan yang diyakini sebagai “feminim” tetapi ditempati oleh seorang laki – laki, tidak berarti orang tersebut adalah atau akan menjadi gay; demikian juga dengan pekerjaan yang diyakini sebagai “maskulin” tetapi ditempati oleh seorang wanita. Isu utama di budaya yang demikian adalah apa yang diterima dan diyakini menjadi maskulin atau feminim, daripada tentang homoseksualitas.
2.5 Pasal – pasal
Buku Kesatu - Aturan Umum
Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
Bab II – Pidana
Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
Bab IV – Percobaan
Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana
Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana
Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
Bab VIII -Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang
Aturan Penutup
Buku Kedua – Kejahatan
1. Bab - I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
2. Bab - II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Bab - III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab - IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
5. Bab - V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab - VI Perkelahian Tanding
7. Bab - VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
8. Bab - VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
9. Bab - IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
10. Bab - X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
11. Bab - XI Pemalsuan Meterai dan Merek
12. Bab - XII Pemalsuan Surat
13. Bab - XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
14. Bab - XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan
15. Bab - XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong
16. Bab - XVI Penghinaan
17. Bab - XVII Membuka Rahasia
18. Bab - XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19. Bab - XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
20. Bab - XX Penganiayaan
21. Bab - XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan
22. Bab - XXII Pencurian
23. Bab - XXIII Pemerasan dan Pengancaman
24. Bab - XXIV Penggelapan
25. Bab - XXV Perbuatan Curang
26. Bab - XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
27. Bab - XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang
28. Bab - XXVIII Kejahatan Jabatan
29. Bab - XXIX Kejahatan Pelayaran
30. Bab - XXIX A Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
31. Bab - XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan
Buku Ketiga - Pelanggaran
1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan
2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Pengertian kepentingan umum:
1. Badan dan peraturan perundangan negara:
- Negara
- Lembaga Negara
- Penjabat Negara
- Pegawai negeri
- Undang – undang peraturan pemerintah
2. Kepentingan hukum tiap manusia:
- Jiwa
- Raga / tubuh
- Kemerdekaan
- Kehormatan
- Hak milik / harta benda
Pelanggaran dan Kejahatan:
1. Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda, misalnya: supir mobil yang tak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), bersepeda tanpa lampu di malam hari.
2. Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar, seperti:
- Pembunuhan
- Penganiayaan
- Penghinaan
- Pencurian
2.1.1 Sejarah Singkat Hukum Pidana Indonesia
Hukum Pidana yang berlaku sekarang ialah hukum pidana yang tertulis dan sudah dimodifikasi. Peraturan mengenai Pidana telah tersebar, sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas guna menjalankan undang-undang (Presiden, Mentri, Kepala Daerah, dan sebagainya) berhak membuat peraturan pidana.
Peraturan – peraturan pidana yang dibuat badan legislatif dan badan eksekutif yang lebih rendah kedudukannya, tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari badan – badan eksekutif serta legislatif yang lebih tinggi.
Peraturan – peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab ialah Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van Strafrecht= W.v.S). KUHP memuat peraturan – peraturan pidana yang berlaku terhadap seluruh penduduk Indonesia, karena dibuat oleh Badan Legislatif yang tertinggi dan sesuai dengan asas unifikasi hukum. KUHP lahir dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Berdasarkan pasal II aturan peralihan dari UUD 1945 yo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 yo. Pasal 142 UUDS 1950, maka hingga kini masih diperlakukan KUHP tersebut, yang diciptakan tanggal 1 Januari 1918, sebab pengaadaan KUHP baru belum ada.
Perubahan penting dari KUHP ciptaan Hindia Belanda, diadakan dengan undang – undang No. 1 tahun 1946. Dengan KUHP tersebut, maka mulai 1 Januari 1918 berlakulah satu macam Hukum Pidana untuk semua golongna penduduk Indonesia (unifikasi Hukum Pidana). Sebelum 1 Januari 1918 , berlaku 2 KUHP:
- Satu untuk golongan Indonesia (mulai berlaku 1 Januari 1873)
- Satu untuk golongan Eropa (mulai berlaku 1 Januari 1867)
KUHP untuk golongan Indonesia (1873) merupakan turunan dari KUHP untuk orang Eropa (1867). KUHP orang Eropa merupakan turunan kode penal – Hukum Pidana Perancis di era Napoleon di tahun 1811. Sebelum tahun 1867 orang – orang Eropa di Indonesia pada umumnya dikenakan hukum pidana dari Belanda atau hukum Romawi. Sedangkan bagi orang Indonesia sebelum tahun 1873 diperlakukkan hukum adat pidanannya masing – masing. Hukum pidana di Indonesia pada umumnya tidak tertulis dan bila tertulis belum merupakan suatu kodifikasi, sebab masih tercantum dengan hukum lain. Hukum adat bersifat kedaerah – daerahan.
2.1.2 Fungsi Hukum Pidana
Hukum pidana berfungsi sebagai pengendali kejahatan yang dibuat oleh manusia. Hukum pidana juga berfungsi sebagai penegas atau sebagai penerapan sanksi bagi hukum lain, seperti hukum perdata dan administrasi.
2.1.3 Tujuan Hukum Pidana
Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungan jawab manusia tentang “perbuatan yang dapat dihukum”. Kalau seseorang melanggar aturan pidana, maka akibatnya ialah bahwa bahwa orang itu dapat di pertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan hukuman (kecuali orang gila, dibawah umur dan sebagainya).
Tujuan hukum pidana itu memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu : asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis juridis. Selain itu, hukum pidana dilihat sebagai ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sebagai ilmu pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan tentang sebab dari kejahatan ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakat.
Seperti juga setiap ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dan keterangan dari ilmu pengetahuan lain, demikian pula ilmu hukum pidana ini mempunyai ilmu-ilmu pengetahuan pembantunya, diantaranya :
1. Anthropologi
2. Filsafat
3. Ethica
4. Statistik
5. Medicine Forensic (Ilmu Kedokteran bagian Kehakiman)
6. Psychiatrie-Kehakiman
7. Kriminologi
2.1.4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Peninjauan terhadap KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dapat dari luar dan dapat pula dari dalam. Peninjauan dari luar ialah mengenai riwayatnya yang telah kita bicarakan dahulu, sekitar Undang-Undang Pidana dan beberapa ilmu pengetahuan pembantu dari hukum pidana. Dari dalam ialah mengenai bentuk dan isi kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Baiklah kita meninjau dari dalam karena riwayat KUHP telah dipaparkan di muka, dan kita mulai dengan uraian sekitar Undang-Undang Pidana :
- Undang Undang Hukum Pidana
Apakah Undang-Undang Hukum Pidana itu? Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya. Lazim juga dikatakan bahwa Undang-Undang Hukum Pidana adalah “Norma plus Sanksi”.
Norma dan sanksi itu pada umumnya terdapat pada satu pasal. Misalnya pasal 338 KUHP bunyinya : “Barangsiapa dengan sengaja mengambil nyawa orang lain dihukum, karena pembunuhan, dengan hukuman setinggi-tingginya 15 tahun.”
Dapat juga norma dan sanksi terpisah dalam beberapa pasal. Jadi dalam pasal I, II dan seterusnya disebutkan dahulu norma-normanya dan baru kemudian dalam pasal terakhir diterangkan bahwa “Pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal I, II dan seterusnya dihukum dengan hukuman penjara paling lama sekian tahun.” Ada juga Undang-Undang Hukum Pidana yang bentuknya mengancam dengan hukuman (sanksi) terlebih dahulu. Sedangkan norma-normanya belum ada seperti misalnya bunyi pasal 122 KUHP : “Dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15tahun, barangsiapa dalam masa perang dengan sengaja melanggar suatu peraturan yang diadakan oleh pemerintah untuk menjaga keselamatan negara”. Didalam pasal ini belum terdapat normanya melainkan baru nanti diadakan kalau masa perang tiba. Jika kita meninjau dengan teliti norma dari Undang-Undang Hukum Pidana itu, maka norma itu bukanlah norma asli dari Hukum Pidana melainkan dari norma-norma hukum lain.
Yang asli dan istimewa adalah sanksinya. Tetapi ini tidaklah berarti bahwa kalau kita melanggar Undang-Undang Hukum Pidana yang kita langgar sanksinya, melainkan tetap normanya. Sanksi itu tidak berdiri sendiri melainkan adalah untuk melindungi normanya itu.
- Siapakah yang berhak membuat Undang-Undang Hukum Pidana itu?
Kalau perkataan Undang-Undang Hukum Pidana itu diartikan sempit sebagai Undang-Undang, maka yang berhak membuatnya adalah badan legislative yang tertinggi (DPR) bersama pemerintah. Kalau diartikan luas sebagai peraturan maka yang berhak membuat peraturan pidana adalah semua badan legislative dan semua orang yang mempunyai kekuasaan eksekutif (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, Kepala Polisi, Komandan Tentara dan lain lain).
Tentunya badan-badan dan orang-orang yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh lagi membuat peraturan-peraturan pidana yang sudah dibuat oleh instansi-instansi yang lebih tinggi, apalagi yang bertentangan atau melampaui bata-batas kekuasaannya. Jika terjadi demikian maka dengan sendirinya peraturan pidana dari instansi bawahan itu tidak sah (menjadi batal).
- Bila suatu Undang-Undang Pidana mulai sah berlaku?
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu Undang-Undang ialah sesudah diundangkan oleh pemerintah (dalam hal ini menteri Sekretaris Negara) dalam Lembaran Negara. Dalam zaman Hindia Belanda, Undang-Undang itu diundangkan dalam STAATSBLAD (Stb = S).Setelah diundangkan dalam Lembaran Negara Undang-Undang tersebut lalu diumumkan dalam Berita Negara (zaman Hindia Belanda : De Javasche Courant dan berita resmi di zama Jepang : Kan Po).
Tanggal mulai berlakunya Undang-Undang itu ialah menurut tanggal yang ditetapkan dalam Undang-Undang itu dan sendiri dan kalau tanggal itu tidak disebutkan, maka Undang-Undang itu mulai berlaku untuk Jawa dan Madura 30 hari sesudah diundangkan dalam Lembaran Negara dan untuk daerah yang lain 100 hari sesudah pengundangan itu. Sesudah syarat tersebut diatas dipenuhi maka tiap-tiap orang telah dianggap mengetahui Undang-Undang itu. Tidak boleh orang yang melanggar Undang-Undang itu, sambil membela atau membebaskan diri dengan alasan “Saya tidak tahu peraturan itu”.
- Bila suatu Undang-Undang Pidana tidak berlaku lagi?
Mulai tidak berlakunya itu dapat dinyatakan dengan tegas oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi dengan menyatakan : Undang-Undang nomor sekian dicabut, dapat juga suatu undang-undang tidak berlaku lagi dengan tidak disebut-sebutkan yaitu karena hal itu telah diatur dengan Undang-Undang yang baru oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi. Juga kalau waktu berlakunya undang-undang itu telah habis.
Singkatnya :
1. Suatu peraturan tak berlaku lagi bila waktu yang telah ditentukan oleh peraturan itu sudah lampau.
2. Bila keadaan itu untuk mana bunyi peraturan itu diadakan sudah tidak ada lagi.
3. Bila peraturan itu dicabut (dengan tegas atau tidak langsung)
4. Bila telah ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan peraturan yang duluan (kebijaksanaan dalam ketatanegaraan)
5. Sampai dimanakah kekuasaan berlakunya Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia?
2.2 Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif, misalnya politik, kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling umum adalah dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan peledak, seperti bom.
2.2.1 Mutilasi
Mutilasi menurut ilmu kriminologi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Pelaku mutilasi adalah orang normal yang melakukan pembunuhan disertai tindakan memisahkan tubuh korban dengan kesadaran dan latar belakang emosinya. Tujuannya sebagai langkah aman utnuk menghilangkan jejak pembunuhan.
Faktor penyebabnya :
- Tayangan TV
- Faktor pribadi
- Lingkungan dan tekanan ekonomi
- Kecerdasan emosional
- Tingkat pendidikan yang rendah
Latar belakangnya karena penghargaan sosial yang kian menurun telah membentuk watak-watak keras, sehingga mengakibatkan perilaku sadisme. Penghargaan yang kurang ini juga akan mengakibatkan dendam sosial. Akibatnya akan terjadi penetrasi, kurangnya kontrol sosial, dan moral, sehingga menjadikan masyarakat begitu mudah melakukan pembunuhan mutilasi.
2.3 Psikopat
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut "orang gila tanpa gangguan mental". Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan. Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.
Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.
Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu menjadi buruk.
Gejala-gejala psikopat
1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
5. Sikap antisosial di usia dewasa.
6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar -- bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".
11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.
2.4 Homoseksual
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Berikut teori -teori masa lalu dan keyakinan tentang penyebab homoseksualitas, apa yang membuat seseorang menjadi gay atau lesbian :
- Hubungan antara orang tua dan anak
Sebuah teori umum yang dipakai bertahun - tahun dalam menjelaskan penyebab homoseksualitas, sebagai pondasi pada praktek psikologi atau pemuka agama untuk perubahan homoseksual pria menjadi heteroseksual, adalah disfungsi hubungan antara orang tua, keluarga, dan anak, sering disebut sebagai teori "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah." Jika seorang wanita homoseksual, lalu peran orang tua biasanya dibalik. Tapi riset para profesional membuktikan praktek teori ini tidak memperhatikan saudara laki dan saudara perempuan lainnya yang tumbuh di rumah yang sama dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," dan tumbuh menjadi heteroseksual. Teori ini juga tidak mempertimbangkan kembar identik yang dipisahkan saat lahir, yang dibesarkan oleh orang tua yang berbeda, berbeda kultur dan sosial, dan keduanya menjadi homoseksual waktu dewasa. Dalam kenyataannya, penelitian menunjukan jika model keluarga dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," ini sesungguhnya mungkin sebagai "hasil" seorang anak menjadi gay atau lesbian, dan bukan sebagai penyebab. Di dalam rumah yang demikian, seorang ayah mungkin secara tidak sadar merasakan perbedaan di anak gay , dan dirinya yang menjauh, tidak tahu bagaimana mengenali atau berinteraksi dengan anak. Kemudian, seorang ibu mungkin merasa perlu untuk memelihara dan melindungi anak yang malang ini, menggantikan ayah yang menarik diri.
- Kebingungan seksual
Bila anda melihat banyak kasus sejarah orang yang mengklaim dirinya "diobati, " yang telah "berganti," atau "berubah" dari homoseksual menjadi heteroseksual, sebagai produk "reparative therapy," sejarah kehidupan mereka sering menunjukan kebingungan gender masa kecil dan atau masa remaja, dan atau disfungsi identitas seksual. Sering bila anda melihat pada orang yang mengklaim perubahan, mereka dalam kenyataannya selalu heteroseksual, yang akhirnya disembuhkan dari identitas seksual dan atau gender, atau kebingungan orientasi.Kemudian, beberapa dari mereka yang mendapat kekerasan secara seksual di masa kecil dan memproses trauma ini ke dalam diri, atau orang yang entah bagaimana tumbuh dalam disfungsi identitas, gender, atau seksual yang menyebabkan mereka terikat pada perilaku seksual negatif. Lalu ada sekelompok kecil orang yang "gay" bukan karena orientasi seksual mereka, tetapi karena beberapa disfungsi dalam prosess dan perkembangan di kehidupan mereka. Hal ini sangat mengejutkan banyak orang, tetapi seharusnya tidak, sama halnya adanya disfungsi seksual heteroseksual, begitu juga ada disfungsi seksual homoseksual. Seseorang dapat berubah atau membungkus orientasi seksual mereka ke arah yang tidak sesuai dengan kodrat mereka.
Contoh, beberapa wanita yang terlibat dalam aktifitas homoseksual tidak benar - benar lesbian, tetapi sebenarnya heteroseksual yang tidak mampu mengembangkan hubungan yang baik dan positif dengan pria, baik karena tidak adanya model peran yang baik, atau pengalaman kekerasan secara seksual, verbal, atau fisik dari seorang pria; mereka beralih, dalam luka batin mereka, pada sebuah pencarian untuk pengasuhan dan penyembuhan di luar norma mereka; daripada mencari bantuan terapi untuk menyembuhkan trauma mereka, mereka mulai terlibat dalam disfungsi seksual dan hubungan emosional. Lebih lanjut, beberapa pria adalah heteroseksual yang terlibat aktifitas homoseksual, perilaku, dan identitas palsu yang disebabkan beberapa bentuk identitas diri atau seksual, penerimaan diri, dan atau disfungsi harga diri; hal ini ditunjukan terutama oleh kebingungan peranan gender pria tradisional yang "diterima"nya, sebuah pencarian untuk pengasuhan pria, atau penyembuhan terhadap putusnya hubungan pria. Disfungsi pada orientasi seksual mungkin menjadi bukti luka batin yang dalam, yang menjelma menjadi kebingungan, atau identitas seksual sebenarnya yang dibelokan. Pada umumnya, pada kebanyakan orang yang orientasi seksualnya diketahui, menjelma baik positif atau negatif. Tetapi, pada beberapa orang dengan disfungsi peranan gender atau identitas seksual mungkin menyebabkan timbulnya aktifitas seksual yang membingungkan.
- Faktor Genetik
Apakah orientasi seksual yang ditentukan oleh faktor genetik, atau ditentukan oleh faktor sosial, atau proses kultiral? Inti dari pertanyaan bukanlah penyebab asal dari homoseksual, tetapi merupakan pertanyaan moralitas orientasi seksual homoseksual. Jika homoseksualitas disebabkan karena faktor generik ada dua hal yang pada umumnya akan terjadi. Mereka yang percaya homoseksualitas adalah salah akan menggunakan bukti ini untuk membuktikan bahwa hal ini adalah penyakit genetik, dan menggunakan isu ini sebagai justifikasi untuk mencari "pengobatan," untuk mengisolasi dan atau menentang hak sipil orang gay. Mereka yang percaya bahwa homoseksualitas adalah sehat dan normal akan menggunakan isu ini untuk membuktikan bahwa hal ini merupakan perkembangan normal pada manusia, dan menggunakannya sebagai justifikasi bahwa homoseksualitas adalah normal, dan atau menjamin hak - hak sipil bagi orang gay. Jadi apakah hal ini karena faktor genetik atau bukan, atau sebagai hasil dari kehidupan tidak ada bedanya, cara lain orang menggunakan hasil ini sebagai justifikasi keyakinan mereka pada teori ini
- Moralitas
Namun sisa isu apakah menjadi gay atau tidak adalah baik atau buruk. Hal ini ditentukan apakah kita memandang kehidupan sebagai hitam dan putih, absolut, atau apakah kita memandangnya sebagai hitam, putih, abu - abu, dengan pilihan. Secara logika, banyak kehidupan bukanlah tentang baik atau buruk, tetapi netral. Tetapi ada banyak orang yang mencapai kehidupan dan benda - benda yang pada hakekatnya adalah sebuah hitam atau putih, baik atau jelek, perspektif baik atau buruk. Di komunitas agama ditemukan debat panas atau persepsi apakah homoseksualitas itu benar atau salah. Tidak ada yang secara alamiah salah pada segala sesuatu dalam kehidupan; bagaimana anda memilih atau tidak mereka memperbaiki diri sendiri, orang lain, sosial, dan budaya, atau apakah mereka menggunakan dan melakukan kekerasan pada sesama. Sebagai contoh, apakah menghadiri kotbah menjadikan perbaikan diri? ya, tentunya. Dapatkah menghadiri kotbah mengarah pada penggunaan dan perlakuan kekerasan diri? Bahkan hal - hal yang baik dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Terapkanlah hal yang sama pada orientasi seksual, apakah hitam atau putih, baik atau buruk, salah atau benar, atau netral sampai ada tindakan? Beberapa orang percaya bahwa seseorang mungkin berjalan pada orientasi seksual atau heteroseksual mereka apakah untuk perbaikan diri, orang lain, sosial dan budaya, atau untuk pengunaan dan perlakuan kekerasan pada sesama. Pada mereka yang percaya pada absolutisme, lalu homoseksualitas selalu salah dalam hal apapun; bagi mereka yang percaya orientasi seksual menjadi netral, bagaimana anda menghargai dan mewujudkannya akan menentukan kebenaranya, lalu homoseksualitas diterima.
- Kekerasan seksual (sexual abuse)
Anak yang mengalami kekerasan secara seksual, apakah dilakukan oleh orang yang sama jenis kelaminnya atau lain jenis, tidak akan tumbuh menjadi gay atau lesbian, tetapi trauma yang demikian dapat membelokan dan mencegah perkembangan orientasi seksual yang alamiah dan sehat, identitas seksual, dan hubungan seksual yang sehat. Penelitian menunjukan bahwa mayoritas orang yang mendapat kekerasan seksual pada waktu kecil adalah heteroseksual, bukan homoseksual, pada orientasi seksual mereka. Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan yang kejam, bukan sebuah kejahatan seks; Ini adalah sebuah kejahatan kekuatan satu orang terhadap orang lain, yang diarahkan di sekitar seksualitas. Anak yang mendapat kekerasan secara seksual sering berpikir mereka telah “ melakukan sesuatu yang pantas mendapatkannya,” mereka memberikan semacam sinyal yang menyebabkan hal tersebut. Bukan ini masalahnya; anak menjadi korban kejahatan, bukan pelaku kejahatan. Anak selalu tidak berdosa, selalu. Tetapi, rasa malu dan rasa bersalah yang palsu dapat menyebabkan seorang anak berkeyakinan ada sesuatu yang salah pada diri mereka. Kekerasan pada anak mungkin menyebabkan seorang anak tumbuh dengan disfungsi seksual, dan atau kebingungan orientasi seksual, termasuk hubungan seksual yang tidak sehat.
- Kebingungan Peran Gender
Tidak seorangpun anak yang tidak sesuai dengan peran gender “tradisional” akan tumbuh menjadi gay atau lesbian. Jika anda laki – laki, dan senang memasak, bersih – bersih, menjahit, mengecat, merangkai bunga, menari balet, lalu anda seharusnya stereotip gay; tetapi kebanyakan artis, koki, penari balet, bukan gay, dan sisanya campuran. Jika anda perempuan, dan suka menjerat sapi, bekerja di pengeboran minyak, anda seharusnya stereotip seorang lesbian. Salah lagi. Pekerjaan seseorang, hobi, atau melawan “peran gender tradisional,” tidak menjadikan seseorang gay atau lesbian. Tapi mungkin saja merupakan sebuah refleksi tingkat penolakan homoseksualitas oleh masyarakat tersebut. Di budaya atau masyarakat yang menindas atau menolak homoseksualitas, homoseksual cenderung mengendap pada stereotip seperti pekerjaan, hobi, bakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi diri mereka. Di negara yang terbuka pada kaum gay dan lesbian, homoseksual dan heteroseksual ditemukan sebanding di pekerjaan – pekerjaan dan peran – peran yang secara tradisional diyakini sebagai “maskulin” atau “feminism.” Pekerjaan yang diyakini sebagai “feminim” tetapi ditempati oleh seorang laki – laki, tidak berarti orang tersebut adalah atau akan menjadi gay; demikian juga dengan pekerjaan yang diyakini sebagai “maskulin” tetapi ditempati oleh seorang wanita. Isu utama di budaya yang demikian adalah apa yang diterima dan diyakini menjadi maskulin atau feminim, daripada tentang homoseksualitas.
2.5 Pasal – pasal
Buku Kesatu - Aturan Umum
Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
Bab II – Pidana
Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
Bab IV – Percobaan
Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana
Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana
Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
Bab VIII -Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang
Aturan Penutup
Buku Kedua – Kejahatan
1. Bab - I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
2. Bab - II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Bab - III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab - IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
5. Bab - V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab - VI Perkelahian Tanding
7. Bab - VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
8. Bab - VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
9. Bab - IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
10. Bab - X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
11. Bab - XI Pemalsuan Meterai dan Merek
12. Bab - XII Pemalsuan Surat
13. Bab - XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
14. Bab - XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan
15. Bab - XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong
16. Bab - XVI Penghinaan
17. Bab - XVII Membuka Rahasia
18. Bab - XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19. Bab - XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
20. Bab - XX Penganiayaan
21. Bab - XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan
22. Bab - XXII Pencurian
23. Bab - XXIII Pemerasan dan Pengancaman
24. Bab - XXIV Penggelapan
25. Bab - XXV Perbuatan Curang
26. Bab - XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
27. Bab - XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang
28. Bab - XXVIII Kejahatan Jabatan
29. Bab - XXIX Kejahatan Pelayaran
30. Bab - XXIX A Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
31. Bab - XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan
Buku Ketiga - Pelanggaran
1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan
2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran
No comments:
Post a Comment