Kesimpulan
Peristiwa pembunuhan maupun penganiayaan terus mengalami perkembangan yang diiringi dengan gaya dan model yang sangat beragam, dari cara yang paling sederhana sampai yang tercanggih. Terkadang pembunuhan itu dilakukan dengan cara-cara yang keji seperti disiksa lebih dahulu, dibakar dan bahkan mutilasi. Menjadi suatu fenomena karena mutilasi adalah pembunuhan yang diikuti dengan memotong-motong tubuh korban hingga menjadi beberapa bagian yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bukti. Tidak hanya itu, masalah sanksi terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini dalam konstruksi hukum pidana Indonesia belum ada aturan yang pasti. Pasal yang sering dijadikan sebagai dasar hukum pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi adalah Pasal 340 KUHP dengan sanksi maksimal hukuman mati, yang terkadang hanya merupakan alternatif dari hukuman penjara. Dampak dari tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini sangat besar, disamping sadisnya pelaku dalam memperlakukan mayat korban, tapi juga mengakibatkan kerugian bagi keluarga si terbunuh dari dua sisi, yaitu mereka kehilangan orang yang mencari nafkah dan hatinya sedih karena kehilangan orang yang dicintainya. Sebagai hasilnya dalam penelusuran kasus ini, bahwa pembunuhan secara mutilasi itu merupakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan ditambah dengan unsur kesadisan dari pelaku dalam menganiaya mayat korban (dalam hal ini memotong-motong mayat korban). Sanksi pidana hukuman mati layak dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi, dengan adanya sanksi pidana yang berat maka diharapkan kasus tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini tidak lagi dipandang sebagai suatu pembunuhan yang ringan.
Menurut kami, masyarakat Indonesia itu kurang mendapatkan pendidikan mengenai kesehatan mental karena masyarakat indonesia kurang mengenal ilmu psikologi secara luas. Dalam hal ini masyarakat awam yang kurang mengenyam pendidikan. Masyarakat indonesia kurang diajarkan bagaimana cara mengolah emosi, mengenali diri sendiri dengan baik, mengenali perubahan lingkungan. Fakta bahwa orang Indonesia belum mengenal psikologi secara luas itu tampak pada kenyataan bahwa di Indonesia, profesi psikolog jauh lebih sedikit daripada profesi dokter dan hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang menyediakan jasa psikolog. Padahal orang sakit biasanya mengalami kecemasan berlebihan, terutama bagi yang hampir meninggal dan menghadapi operasi.
Jadi banyak di Indonesia yang menderita gangguan mental tapi masyarakat tidak menyadari bahwa itu adalah gangguan yang harus ditanggulangi. Akhirnya menjadi gangguan yang sifatnya menetap dan orang lain melihatnya hanya sebagai bagian dari kepribadian orang tersebut. Masyarakat tersentak begitu orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar dugaan, misalnya mutilasi. Lalu masyarakat mulai menyadari bahwa ternyata dia mengalami gangguan jiwa. tapi itu sudah terlambat. Contoh lainnya. anak usia SD melakukan bunuh diri karena malu orangtuanya tidak bisa bayar uang SPP, lalu apakah orangtua tidak menyadari perubahan perilaku pada si anak? Padahal seharusnya orang yang tidak sehat secara mental pastinya mengalami perubahan perilaku yang cukup nampak, ini artinya masyarakat kurang dapat mengenalinya. Mungkin di sekitar kita sebenarnya banyak orang psikopat. tapi kita tidak pernah mau ambil peduli dan hanya menganggapnya sebagai orang aneh, tapi tidak mengambil tindakan apa-apa dan justru menjauhinya. Begitu dia melakukan kriminalitas barulah masyarakat heboh.
Mutilasi seolah menjadi tren kejahatan di 2008 ini. Pihak kepolisian pun dibuat sibuk, mengungkap kasus-kasus pembunuhan ini. Mengapa ada masyarakat yang berperilaku sekeji itu? Apa sebenarnya yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Biasanya mutilasi dilakukan pelaku untuk menghilangkan jejak kejahatannya. Selain itu, mutilasi juga dapat menjadi bentuk penyaluran amarah atau sakit hati yang lama terpendam. Kasus mutilasi dengan tujuan penghilangan jejak, umumnya akan lebih sulit untuk diungkap. Potongan tubuh korban akan ditemukan di tempat-tempat berbeda dengan jarak relatif berjauhan, juga tidak adanya identitas tertulis yang dapat ditemukan di tubuh korban.
Dari beberapa kasus yang sudah terungkap, biasanya pelaku memiliki hubungan yang dekat dengan korban. Bisa juga karena ada pengaruh kehidupan keluarganya saat masih kecil. Cirinya pendiam, kalau ada masalah dipendam. Hanya pada suatu saat amarahnya meledak dan melampiaskannya dengan cara sendiri. Jadi, pada saat melakukan pembunuhan dan mutilasi itu, memang terjadi pada saat amarahnya meledak dan tidak dalam keadaan gangguan jiwa, dilakukan dalam kondisi normal, tidak menemukan gangguan psikologis.
Kecemburuan juga dapat menjadi pendorong yang kuat, untuk melakukan tindakan mutilasi. Pada kasus pembunuhan karena cemburu yang disertai mutilasi, biasanya masih ada ketidakpuasan dari sang pelaku saat melihat pasangannya tewas. Mutilasi yang didasari rasa sakit hati, marah, dan kecemburuan, dimana tindakan menyakiti orang lain ini bertujuan untuk mencapai kepuasan pribadi. Aksi membunuh ternyata belum cukup meredakan amarah atau mengobati kekecewaan si pelaku. Pelaku yang sudah merasa tersakiti merasa bahwa kematian tidak cukup menyakitkan bagi sang korban maka diambillah keputusan untuk memotong-motong bagian tubuh. Motif tindakan mutilasi memang beragam, dari sekadar menghilangkan jejak, hingga melibatkan emosi yang mendalam, seperti kecemburuan, kekecewaan, dan kemarahan.
Saran
Dinamisme arus informasi atau pemberitaan media massa di Indonesia dalam beberapa tahun belakang ini, pasca reformasi, nampaknya sekarang semakin terkesan “bebas” atau boleh lebih dikatakan “vulgar” lantas kenapa hal tersebut bisa terjadi tentu ada persoalan yang melatar belakangi hal tersebut sehingga menjadi ketengah sorotan pubik atau khalayak. Media massa dalam pemberitaan cenderung bisa menggiring publik atau individu untuk melakukan aktivitas yang melanggar hukum dalam arti sebagai inspirasi dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas hampir bisa dipastikan meniru praktik kejahatan melalui media massa. Mengutip pernyataan pakar kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana dalam sebuah media cetak bahwa media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal dan memang hal ini dengan fakta-fakta atau indikasi yang beralasan (reasonable), ketika kita melihat begitu banyak kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul berkali-kali yang bisa dibahasakan secara kriminologi adalah perbuatan sadis (sadism).
Menurut data riset kompas bahwa 2008 sejak Januari–November terjadi 13 pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Angka inilah yang cukup fantastis untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Sementara itu pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi sedangkan untuk 2009 sejauh ini terdapat hanya satu kasus sejauh yang kami ketahui. Pemberitaan media yang sifatnya informasi dalam bentuk sajian kriminal atau tayangan-tayangan kriminal di televisi sebab asumsinya jelas televisi sangat dimungkinkan berpengaruhnya langsung pada publik dalam konteks gaya hidup budaya dan lingkungan. Sementara media cetak pun bisa saja juga mengarah pada kejahatan namun efeknya kadang hanya dalam skala sedang tidak besar seperti televisi. Namun secara umum dapatlah dikatakan bahwa media (elektronik dan cetak) berbeda namun pengaruhnya bisa sama terhadap masyarakat/ konsumennya.
Untuk televisi hampir semua lapisan bisa menyaksikan baik itu masyarakat di level atas dan menengah, sementara begitu juga surat kabar atau tabloid bisa dibaca banyak orang. Dan bisa dipastikan dapat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang secara kriminologis. Media disebut salah satu pendorong dominan dalam perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Miris, sadis dan ngeri menyikapi fenomena kasus mutilasi yang marak terjadi di sepanjang tahun. Di Jakarta, pada tahun 2008, empat bulan pertama telah terjadi empat kasus mutilasi. Kemudian pada skala lebih besar antara Januari hingga November tak kurang ada 13 kasus mutilasi terjadi di Indonesia. Jumlah ini dua kali lebih banyak dibanding tahun 2007 yang hanya ada sekitar tujuh kasus mutilasi.
Selain itu, banyak dari tersangka pelaku mutilasi menuturkan motivasi inspirasi pemutilasian itu. Secara jujur, beberapa dari mereka mengakui adegan mutilasi itu meniru pemutilasian yang dilakukan Ryan, pria penjagal dari Jombang yang menghilangkan 11 nyawa. Kepala Unit Kejahatan dengan Kekerasan Polda, Metro Jaya Komisaris Jarius Saragih mengaku sering menemukan para pelaku tindak kejahatan yang berhasil disidik polisi mengakui perbuatannya karena meniru sajian media massa, terutama tayangan televisi.
Terlepas dari latar belakang pelaku tindak kejahatan (pemutilasi) karena sakit hati, dendam atau mengalami gangguan jiwa, pengaruh media massa baik cetak maupun elektronik terhadap perilaku sosial di masyarakat memang sudah menjadi kajian cukup lama. Pada tahun 1977 sebuah riset yang dilakukan Albert Bandura menemukan, media televisi disebut sebagai salah satu pendorong peniruan lebih dominan dalam perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan Doris Graber tahun 1980 di Amerika Serikat, dimana 94% responden dari penelitian itu menyatakan media massa menjadi sumber informasi utama mengenai berita kejahatan dan peradilan. Sementara penelitian program tayangan kekerasan di televisi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an yang dilakukan Leonard Eron dan Rowell Huesman menyebutkan tontonan kekerasan yang dinikmati anak usia 8 tahun akan berpotensi mendorong aksi kriminalitas pada saat usia 30 tahun.
Oleh karena itu kami ingin menyarankan kepada pihak media khususnya televisi, untuk terus berupaya belajar dan mengoreksi gambar-gambar yang bersifat vulgar disensor atau korban yang melibatkan anak kecil tidak ditayangkan dan wajah pelaku kejahatan sengaja ditutupi atau malah dikaburkan. Berusaha menghindari pemberitaan kriminal yang sifatnya terlalu sensasional atau bombastis. Selain itu, khusus anak-anak, orang tua seharusnya selalu mendampingi di saat mereka menyaksikan televisi yang menayangkan sebuah tindak kejahatan.
Menurut kami, masyarakat Indonesia itu kurang mendapatkan pendidikan mengenai kesehatan mental karena masyarakat indonesia kurang mengenal ilmu psikologi secara luas. Dalam hal ini masyarakat awam yang kurang mengenyam pendidikan. Masyarakat indonesia kurang diajarkan bagaimana cara mengolah emosi, mengenali diri sendiri dengan baik, mengenali perubahan lingkungan. Fakta bahwa orang Indonesia belum mengenal psikologi secara luas itu tampak pada kenyataan bahwa di Indonesia, profesi psikolog jauh lebih sedikit daripada profesi dokter dan hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang menyediakan jasa psikolog. Padahal orang sakit biasanya mengalami kecemasan berlebihan, terutama bagi yang hampir meninggal dan menghadapi operasi.
Jadi banyak di Indonesia yang menderita gangguan mental tapi masyarakat tidak menyadari bahwa itu adalah gangguan yang harus ditanggulangi. Akhirnya menjadi gangguan yang sifatnya menetap dan orang lain melihatnya hanya sebagai bagian dari kepribadian orang tersebut. Masyarakat tersentak begitu orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar dugaan, misalnya mutilasi. Lalu masyarakat mulai menyadari bahwa ternyata dia mengalami gangguan jiwa. tapi itu sudah terlambat. Contoh lainnya. anak usia SD melakukan bunuh diri karena malu orangtuanya tidak bisa bayar uang SPP, lalu apakah orangtua tidak menyadari perubahan perilaku pada si anak? Padahal seharusnya orang yang tidak sehat secara mental pastinya mengalami perubahan perilaku yang cukup nampak, ini artinya masyarakat kurang dapat mengenalinya. Mungkin di sekitar kita sebenarnya banyak orang psikopat. tapi kita tidak pernah mau ambil peduli dan hanya menganggapnya sebagai orang aneh, tapi tidak mengambil tindakan apa-apa dan justru menjauhinya. Begitu dia melakukan kriminalitas barulah masyarakat heboh.
Mutilasi seolah menjadi tren kejahatan di 2008 ini. Pihak kepolisian pun dibuat sibuk, mengungkap kasus-kasus pembunuhan ini. Mengapa ada masyarakat yang berperilaku sekeji itu? Apa sebenarnya yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Biasanya mutilasi dilakukan pelaku untuk menghilangkan jejak kejahatannya. Selain itu, mutilasi juga dapat menjadi bentuk penyaluran amarah atau sakit hati yang lama terpendam. Kasus mutilasi dengan tujuan penghilangan jejak, umumnya akan lebih sulit untuk diungkap. Potongan tubuh korban akan ditemukan di tempat-tempat berbeda dengan jarak relatif berjauhan, juga tidak adanya identitas tertulis yang dapat ditemukan di tubuh korban.
Dari beberapa kasus yang sudah terungkap, biasanya pelaku memiliki hubungan yang dekat dengan korban. Bisa juga karena ada pengaruh kehidupan keluarganya saat masih kecil. Cirinya pendiam, kalau ada masalah dipendam. Hanya pada suatu saat amarahnya meledak dan melampiaskannya dengan cara sendiri. Jadi, pada saat melakukan pembunuhan dan mutilasi itu, memang terjadi pada saat amarahnya meledak dan tidak dalam keadaan gangguan jiwa, dilakukan dalam kondisi normal, tidak menemukan gangguan psikologis.
Kecemburuan juga dapat menjadi pendorong yang kuat, untuk melakukan tindakan mutilasi. Pada kasus pembunuhan karena cemburu yang disertai mutilasi, biasanya masih ada ketidakpuasan dari sang pelaku saat melihat pasangannya tewas. Mutilasi yang didasari rasa sakit hati, marah, dan kecemburuan, dimana tindakan menyakiti orang lain ini bertujuan untuk mencapai kepuasan pribadi. Aksi membunuh ternyata belum cukup meredakan amarah atau mengobati kekecewaan si pelaku. Pelaku yang sudah merasa tersakiti merasa bahwa kematian tidak cukup menyakitkan bagi sang korban maka diambillah keputusan untuk memotong-motong bagian tubuh. Motif tindakan mutilasi memang beragam, dari sekadar menghilangkan jejak, hingga melibatkan emosi yang mendalam, seperti kecemburuan, kekecewaan, dan kemarahan.
Saran
Dinamisme arus informasi atau pemberitaan media massa di Indonesia dalam beberapa tahun belakang ini, pasca reformasi, nampaknya sekarang semakin terkesan “bebas” atau boleh lebih dikatakan “vulgar” lantas kenapa hal tersebut bisa terjadi tentu ada persoalan yang melatar belakangi hal tersebut sehingga menjadi ketengah sorotan pubik atau khalayak. Media massa dalam pemberitaan cenderung bisa menggiring publik atau individu untuk melakukan aktivitas yang melanggar hukum dalam arti sebagai inspirasi dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas hampir bisa dipastikan meniru praktik kejahatan melalui media massa. Mengutip pernyataan pakar kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana dalam sebuah media cetak bahwa media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal dan memang hal ini dengan fakta-fakta atau indikasi yang beralasan (reasonable), ketika kita melihat begitu banyak kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul berkali-kali yang bisa dibahasakan secara kriminologi adalah perbuatan sadis (sadism).
Menurut data riset kompas bahwa 2008 sejak Januari–November terjadi 13 pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Angka inilah yang cukup fantastis untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Sementara itu pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi sedangkan untuk 2009 sejauh ini terdapat hanya satu kasus sejauh yang kami ketahui. Pemberitaan media yang sifatnya informasi dalam bentuk sajian kriminal atau tayangan-tayangan kriminal di televisi sebab asumsinya jelas televisi sangat dimungkinkan berpengaruhnya langsung pada publik dalam konteks gaya hidup budaya dan lingkungan. Sementara media cetak pun bisa saja juga mengarah pada kejahatan namun efeknya kadang hanya dalam skala sedang tidak besar seperti televisi. Namun secara umum dapatlah dikatakan bahwa media (elektronik dan cetak) berbeda namun pengaruhnya bisa sama terhadap masyarakat/ konsumennya.
Untuk televisi hampir semua lapisan bisa menyaksikan baik itu masyarakat di level atas dan menengah, sementara begitu juga surat kabar atau tabloid bisa dibaca banyak orang. Dan bisa dipastikan dapat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang secara kriminologis. Media disebut salah satu pendorong dominan dalam perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Miris, sadis dan ngeri menyikapi fenomena kasus mutilasi yang marak terjadi di sepanjang tahun. Di Jakarta, pada tahun 2008, empat bulan pertama telah terjadi empat kasus mutilasi. Kemudian pada skala lebih besar antara Januari hingga November tak kurang ada 13 kasus mutilasi terjadi di Indonesia. Jumlah ini dua kali lebih banyak dibanding tahun 2007 yang hanya ada sekitar tujuh kasus mutilasi.
Selain itu, banyak dari tersangka pelaku mutilasi menuturkan motivasi inspirasi pemutilasian itu. Secara jujur, beberapa dari mereka mengakui adegan mutilasi itu meniru pemutilasian yang dilakukan Ryan, pria penjagal dari Jombang yang menghilangkan 11 nyawa. Kepala Unit Kejahatan dengan Kekerasan Polda, Metro Jaya Komisaris Jarius Saragih mengaku sering menemukan para pelaku tindak kejahatan yang berhasil disidik polisi mengakui perbuatannya karena meniru sajian media massa, terutama tayangan televisi.
Terlepas dari latar belakang pelaku tindak kejahatan (pemutilasi) karena sakit hati, dendam atau mengalami gangguan jiwa, pengaruh media massa baik cetak maupun elektronik terhadap perilaku sosial di masyarakat memang sudah menjadi kajian cukup lama. Pada tahun 1977 sebuah riset yang dilakukan Albert Bandura menemukan, media televisi disebut sebagai salah satu pendorong peniruan lebih dominan dalam perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan Doris Graber tahun 1980 di Amerika Serikat, dimana 94% responden dari penelitian itu menyatakan media massa menjadi sumber informasi utama mengenai berita kejahatan dan peradilan. Sementara penelitian program tayangan kekerasan di televisi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an yang dilakukan Leonard Eron dan Rowell Huesman menyebutkan tontonan kekerasan yang dinikmati anak usia 8 tahun akan berpotensi mendorong aksi kriminalitas pada saat usia 30 tahun.
Oleh karena itu kami ingin menyarankan kepada pihak media khususnya televisi, untuk terus berupaya belajar dan mengoreksi gambar-gambar yang bersifat vulgar disensor atau korban yang melibatkan anak kecil tidak ditayangkan dan wajah pelaku kejahatan sengaja ditutupi atau malah dikaburkan. Berusaha menghindari pemberitaan kriminal yang sifatnya terlalu sensasional atau bombastis. Selain itu, khusus anak-anak, orang tua seharusnya selalu mendampingi di saat mereka menyaksikan televisi yang menayangkan sebuah tindak kejahatan.
No comments:
Post a Comment