Jika mendengar kata-kata “Lekong” atau “Pewong” mungkin sesaat akan mengingatkan kita ketika berada di salon kecantikan. Dua kata tersebut adalah sebutan yang biasa diucapkan oleh para waria untuk pria dan wanita, mungkin terdengar risih tetapi mereka juga sama seperti kita, manusia. Tuntutan untuk tetap dapat bertahan hidup, terlebih di kota besar merupakan hal yang paling essensial bagi para pendatang. Berbagai macam cara digunakan, mulai dari cara yang halal hingga melakoni peran sebagai waria pun turut dijalani.
Waria atau banci masih merupakan hal yang tabu di mata masyarakat dan agama. Agama manapun melarang dan tidak menyetujui adanya waria, hanya ada dua jenis kelamin yang diakui dan disahkan oleh agama, bahkan oleh negara, yaitu pria dan wanita. Oleh karena itu, kerap kali waria atau banci diolok-olok dan dipungkiri eksistensinya.
Berbeda dengan pandangan diatas, di salah satu perkampungan di daerah Bekasi, terdapat sebuah perkampungan waria yang dapat hidup dengan rukun dan berdampingan dengan warga sekitarnya.
Sebut saja Nadya (salah seorang waria yang enggan menyebutkan nama aslinya-red.), mengaku telah kurang lebih tiga tahun menetap di perkampungan tersebut. Nadya mengaku lebih enjoy tinggal dengan teman-teman yang memiliki dasar psikologis yang sama dengan dirinya.“Tinggal disini lebih enak, banyak teman jadi kita bisa saling curhat. Harga sewa kamar juga cukup murah”, begitu pengakuannya ketika ditanya mengapa lebih memilih untuk tinggal di perkampungan waria tersebut. Tidak hanya Nadya seorang, ada lebih dari 20 orang waria yang tinggal dan menetap di perkampungan tersebut.
nadia bersama seorang tamunya
Masyarakat Tidak Menolak Kami
Disinggung mengenai tempat tinggalnya, Nadya mengaku bahwa selain sebagai tempat tinggal untuk dirinya, kamar tersebut juga digunakan untuk membawa tamu, ”Kalau tamunya kaya biasanya diajak ke hotel, tapi kalau bayarannya cuma Rp 50.000,- ya mainnya paling di semak-semak, tapi itu kurang aman takut ketahuan jadi disini aja udah selesai baru balik lagi cari tamu lain”. Meskipun sering membawa tamu-tamu ke tempat tinggalnya, Nadya menuturkan bahwa masyarakat tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ditambahkan oleh Emak, pemilik kamar-kamar tersebut, ”Pak RT disini juga gak pernah ngusir kita, mereka pikir yang namanya zinah itu buat laki-laki dan perempuan. Kalau kita kan sama-sama laki jadi itu bukan zinah”.
Ketika ditanyai pendapatnya mengenai perkampungan waria yang ada di sekitar tempat tinggalnya, Karim mengatakan, “Saya dan warga lainnya tidak terganggu dengan adanya para waria itu, selama mereka tidak berbuat onar dan mengganggu, kami tidak keberatan”.
Menarik untuk mengetahui fakta yang ada, telah terjadi pergeseran moral yang jelas-jelas terjadi di kalangan sekitar kita tetapi tidak ada masyarakat yang peduli tentang hal tersebut. Mereka lebih memilih untuk mengambil sikap acuh dan mencari “aman”, selama tidak ada yang mengganggu maka mereka juga tidak akan mengganggu.
Faktor Ekonomi Bukan Segalanya
Tidak hanya Nadya, waria lain yang tinggal di perkampungan tersebut mengaku bahwa sebenarnya mereka berasal dari keluarga yang berada, namun keluarga mereka menolak untuk menyetujui kodrat hidup yang dipilih anak-anak mereka.
Mereka membenarkan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan di malam hari tersebut bukan semata-mata demi uang saja, tetapi ada kepuasan batin yang berlebih ketika mendapatkan tamu yang ganteng dan memperlakukan mereka dengan baik. Memang jarang mendapatkan tamu seperti itu, kebanyakan tamu yang datang adalah remaja SMA atau mahasiswa yang ingin mencoba seks.
Dasar Psikologis dan Interaksi Sosial
Pada dasarnya, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi “bes” (sebutan kaum waria untuk banci-red.) dibutuhkan keberanian untuk menyampaikan identitas dan kebutuhan untuk diakui oleh sekitarnya (self actualization). Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain factor pola asuh yang terlalu berlebihan, gen estrogen yang lebih besar dibandingkan dengan gen testosterone, rasa rendah diri ketika berhadapan dengan lawan jenis, lingkungan, dan factor tekanan atau pelecehan seksual yang dialami waktu masa kanak-kanak.
Menurut seorang psikolog, Ibu Veronica, beliau menanggapi masalah confuse indentitas seksual tersebut dengan cara memberi option atau pilihan yang kemudian dapat digunakan sebagai pandangan. Jika waria tersebut memilih untuk tetap menjadi wanita, konsekuensi yang harus dihadapi adalah tidak dapat melahirkan, mendapat gunjingan dari masyarakat sekitar, dan tentu saja harus mengurus perubahan identitas tersebut ke pengadilan.
Akan tetapi, jika waria tersebut memilih untuk menjadi pria, hal yang harus dilakukan adalah menghapus peran wanita yang selama ini menjadi role mode. Beliau menambahkan, ”Metode yang digunakan untuk membantu proses menemukan jati diri yang sebenarnya adalah dengan terapi CBT (Cognitive Behaviour Therapy)”.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Bapak Boy Ferdin, seorang pengajar Sosiology di STIKOM London School Jakarta, yang menyebutkan bahwa media massa juga mempunyai peran yang penting dalam proses pembentukan kepribadian seseorang dan dampak interaksinya dengan masyarakat sekitar.
”Banyaknya media yang memunculkan peran waria juga ikut membantu proses sosialisasi waria di kalangan masyarakat tersebut. Padahal, tingkat toleransi di Indonesia bisa dikatakan rendah, kecuali suku-suku tertentu, seperti Bali”, paparnya ketika dimintai pendapat mengenai adanya perkampungan waria yang tidak dipermasalahkan oleh warga sekitarnya.
No comments:
Post a Comment