Saturday, March 27, 2010

religius instruction ; perkawinan dlm katolik

Berita yang trend saat ini selalu kita baca adalah seorang kyai menikahi anak umur 12 tahun. Semua orang tahu, kyai tersebut terkenal dengan kekayaannya yang berlimpah. Coba bayangkan Zakat Mal (harta) nya saja saat bulan ramadhan kemarin lebih dari 1 milyar. Tak terbayangkan berapa pula hartanya yang sesungguhnya yang terpendam. Sang kyai sebenarnya sudah mempunyai istri, tetapi beliau menikah lagi dan sang istri yang baru langsung diangkat olehnya sebagai General Manager di sebuah perusahaan yang dia pimpin. Sebenarnya tak ada yang aneh jika sang kyai menikah lagi, karena dalam islam sendiri memperbolehkan mempunyai istri lebih dari satu asal mampu dan berlaku adil. Yang diperbincangkan dan dipermasalahkan publik disini adalah, sang kyai menikahi anak umur 12 tahun.

Dari sudut pandang undang-undang ahli hukum mengatakan Kyai ini melanggar Pasal 288 ayat 1 KUHP yang menyebutkan barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin , apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dari sudut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan usia dibawah 18 tahun tidak direkomendasikan untuk berkeluarga, dan bertanggung jawab melakukan hubungan heteroseksual dan bisa mengalami kekerasan seksual. Apalagi dalam usia 12 tahun anak sebesar ini masih ingin bermain dengan sebayanya.

Dari sudut pandangan Ahli kandungan Winahyo mengatakan, meski sudah mendapat menstruasi, seorang perempuan belum bisa dikatakan dewasa dan siap untuk menikah. Datang bulan, hanya salah satu rangkaian dari siklus reproduksi. Selain secara fisik, menuruh Winahyo, perempuan berusia sekecil itu juga belum matang secara emosional. “Dia belum siap punya anak. Kan usia itu masih bermain-main,” tandasnya.

Trus dari pandangan apakah yang dilihat Pak Kyai menikahi anak sekecil itu? Ironi nya lagi Pak Kyai akan menikah lagi perempuan yang lebih muda lagi. Ini komentar pak Kyai alasan dia menikahi anak bau kencur “Karena mau mendidik (istri) agar menjadi orang hebat. Nanti mau saya jadikan direktur pengelola di perusahaan saya,” kata Syekh saat ditanya alasannya memilih bocah bau kencur untuk dinikahi.

Bukan hanya hal-hal seperti ini saja, tetapi sepertinya semakin terjadi pergeseran nilai -nilai perkawinan. Seperti pologami sekarang usdah banyak dilakukan masyarakat kita. Bagong Suyanto,Dosen FISIP Universitas Airlangga Di Indonesia, seorang laki-laki yang melakukan poligami, menikah lebih dari satu istri sebetulnya bukan hal yang terlalu mengherankan, dan bahkan tidak sedikit tokoh populer telah melakukan hal ini. Namun demikian, apa yang dilakukan Syekh Puji, pengusaha nyentrik sekaligus pimpinan Ponpes Miftahul Jannah asal Kabupaten Semarang Jawa Tengah belum lama ini tetap saja menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Syekh Puji, lelaki yang usianya hampir setengah abad ini (43 tahun), menuai kecaman dari para aktivis anak, pemerhati perempuan dan bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena dinilai telah menikahi anak perempuan yang masih berusia 12 tahun. Pernikahan ini menyulut kontroversi, karena bukan saja dinilai sebagian pihak melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang jelas-jelas melarang perkawinan dengan anak di bawah umur. Lebih dari itu, kasus pernikahan ini juga dinilai sebagai bentuk eksploitasi dan implikasi dari pola hubungan yang tidak seimbang, baik secara sosial, psikologis maupun ekonomi. Berbeda dengan pernikahan yang dilakukan salah satu Dai kondang beberapa waktu lalu yang menyulut kontroversi karena kelakuannya dinilai tidak konsisten dengan ucapan dan ceramahnya yang selama ini digemari banyak orang, khususnya ibu-ibu. Apa yang dilakukan Syekh Puji memang wajar memantik polemik karena anak perempuan yang dinikahi menjadi istri keduanya itu nyata-nyata di bawah umur dan proses pencarian serta pemilihan anak perempuan yang berparas cantik untuk dijadikan istrinya itu dinilai sedikit-banyak melecehkan harga diri perempuan. Kalau yang dijadikan perdebatan apakah pernikahan itu dilakukan dengan cara paksa atau tidak, mungkin benar bahwa Syekh Puji sama sekali tidak melakukan pemaksaan dan ancaman kepada anak perempuan kecil yang dipinang menjadi istri keduanya itu. Tetapi, kalau melihat rentang usia mereka yang jauh berbeda, dan secara sosial-ekonomi kedua pasangan ini juga relatif berjarak, maka yang mesti dikaji lebih jauh sebetulnya bukan sekadar apa yang tampak di luar, melainkan hal-hal yang lebih kontekstual. Mungkinkah seorang bocah perempuan berusia 12 tahun, yang mungkin belum menstruasi dapat mengambil keputusan secara mandiri dan matang akan pilihan pasangan hidupnya? Berhadapan dengan seorang ulama yang kharismatik dan memiliki posisi ekonomi yang berkecukupan, secara obyektif harus diakui tidak mudah bagi orang-orang tertentu, apalagi anak perempuan di bawah umur dapat mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan bebas, layaknya anak-anak seusianya. Beberapa tahun lalu, sebagian dari kita mungkin masih mengingat kejadian unik yang dilakukan seorang laki-laki yang berstatus duda asal Madura, yang di hari yang sama menikahi 4 perempuan sekaligus. Semua istrinya adalah anak perempuan di bawah umur. Kasus ini waktu itu juga menarik perhatian banyak pihak. Hanya saja, sayangnya waktu yang lebih banyak diekspose media adalah keunikan kasusnya dan mitos keperkasaan laki-laki yang mampu melayani 4 istri sekaligus daripada adanya kemungkinan pelanggaran terhadap aspek hukum dan hak anak. Dalam kasus pernikahan Syekh Puji dengan istri keduanya yang masih berusia 12 tahun, memang sah-sah saja dikatakan bahwa kejadian ini adalah urusan private masing-masing orang, dan yang penting antara masing-masing pihak keluarga yang menjalin hubungan kekeluargaan ini juga tidak ada yang merasa dirugikan. Tetapi, karena kejadian ini sudah terekspose di media massa, dan bukan tidak mungkin kasus ini kemudian menjadi referensi bagi publik, maka yang dikhawatirkan adalah jika di masa depan kasus yang sama makin merebak, dalam arti makin banyak kasus pernikahan poligami yang mensubordinasi anak perempuan karena sebelumnya sering terjadi kasus yang serupa. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebetulnya sudah tegas dinyatakan bahwa anak harus dilindungi dan dijamin dapat tumbuh-kembang secara wajar, termasuk melindungi dari kemungkinan menjadi korban sexual abuse, baik karena paksaan atau karena menjadi korban bujuk rayu dan rendahnya posisi tawar mereka di hadapan orang dewasa yang mencoba memanfaatkan relasi sosial yang tidak seimbang. Adalah tugas orang tua dan masyarakat, pemerhati anak, termasuk aparat penegak hukum untuk senantiasa melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak. Dengan belajar dari kasus pernikahan Syekh Puji dengan anak perempuan di bawah umur, sebetulnya point penting yang bisa dipetik adalah bagaimana di masa depan para orang tua bersedia bertanggungjawab akan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Seorang anak yang secara psikologis belum dapat berpikir matang, tentu tidak ada yang bisa dipersalahkan atas kesediaanya dinikahi orang yang sebetulnya lebih pantas menjadi ayah atau bahkan kakeknya. Dalam konteks ini, justru pihak yang seharusnya secara moral bisa dituntut pertanggungjawabannya adalah pihak orang tua dan orang-orang dewasa di sekitar kasus ini yang tampaknya lebih banyak mementingkan diri sendiri daripada memahami hak dan arti penting kelangsungan masa depan anak secara benar.

ARTI DAN MAKNA PERKAWINAN

a. Pandangan tradisional
Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu “ikatan”, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai saat lamaran, lalu memberi mas kawin, kemudian peneguhan, dan seterusnya.

b. Pandangan hukum (yuridis)
Dari segi hukum perkawinan sering dipandang sebagai suatu “perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, didepan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.

c. Pandangan sosiologi
Secara sosiologi, perkawinan merupakan “persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antar anggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.

d. Pandangan antropologis
Perkawinan dapat pula dilihat sebagai sesuatu “persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.

e. Pandangan agama Katolik
Perkawinan adalah suatu sakramen, suatu peristiwa dimana Allah bertemu dengan suami istri itu.

Pergeseran Pemahaman dan Penghayatan Perkawinan

Satu hal lain yang perlu disadari sekarang ini adalah adanya pergeseran tentang pemahaman dan penghayatan hidup perkawinan akibat berbagai pengaruh globalisasi. Pergeseran pemahaman dan penghayatan perkawinan antara lain sebagai berikut :

1. Pergeseran dari hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih bersifat sosial ke hidup perkawinan dan hidup keluarga yang bersifat pribadi. Dahulu, hidup perkawinan dan hidup keluarga lebih ditentukan oleh keluarga besar, mulai dari pemilihan jodoh sampai dengan urusan rumah tangga. Kini, hal tersebut mulai diambil alih oleh pribadi-pribadi yang bersangkutan. Ada pergeseran dari keluarga besar ke keluarga inti. Cinta, relasi, dan tanggung jawab pribadi semakin mendapat tempat.

2. Pergeseran dari nilai hidup perkawinan dan hidup keluarga yang bersifat mistis religius, penuh dengan simbol dan upacara yang berkesinambungan ke hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih sekuler, ekonomis dan efektif. Tidak berlarut-larut. Menekankan nilai kreativitas dan efektifitas.

3. Dalam perkawinan tradisional, seluruh keluarga mengalami ruang lingkup yang sama. Sama-sama tinggal dirumah atau sama-sama pergi ke ladang dan sebagainya. Dalam keluarga modern, suami yang pergi kekantor misalnya, mengalami suasana yang berbeda ditempat kerjanya. Ia bergaul dengan orang-orang lain, pria dan wanita. Mengikuti ritme hidup yang lain. Kalau pulang kerumah, ia harus menyesuaikan diri lagi dengan keluarganya. Demikian juga istrinya.

TUJUAN PERKAWINAN

- UU perkawinan RI merumuskan tujuan perkawinan sebagai membentuk keluarga yang bahagia, tetap dan sejahtera. Untuk itu, suami istri perlu saling melengkapi dan membantu dalam pengembangan kepribadian masing-masing.

- Dalam tradisi Gereja pada masa lampau, tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh kebahagiaan, memperoleh keturunan, dan merealisir kebutuhan seksual. Mungkin pendapat ini perlu dijernihkan, sebab kalau ketiga unsur ini yang dijadikan pokok tujuan perkawinan, suami istri sungguh hanya merupakan sarana (alat) untuk memperoleh keturunan, kebahagiaan dan kepuasaan seksual.

- Konsili Vatikan II dengan tepat sekali mengatakan bahwa keturunan (anak) merupakan “mahkota cinta bapak ibunya”. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah tujuan, tetapi merupakan “hadiah cuma-cuma” yang dengan sendirinya diperoleh karena mencintai teman hidup. Sementara, hubungan seksual hendaknya dilihat sebagai suatu dorongan yang kuat untuk mengabdi kepada kepentingan pasangan daripada kepentingan sendiri yang sempit. Hubungan seksual lebih merupakan “bahasa cinta” dan bukan sekedar napsu untuk mengejar kepuasaan sendiri.

Seorang bayi tumbuh menjadi remaja, lalu menjadi seorang pria atau wanita muda. Pertumbuhan jasmani dan mungkin juga intelektual (pendidikan) biasanya selesai antara umur 20-30 tahun. Kenyataannya, pada saat pertumbuhan jasmani dan intelektual selesai, manusia merasa bahwa baru tahap persiapanlah yang selesai. Sekarang ia ingin membangun hari depan atas landasan yang telah disiapkan itu. Akan tetapi, perkembangan seterusnya itu tidak dapat dikerjakan sendirian. Ia memerlukan seseorang lain. Bukan lagi bapak ibunya, bukan pula saudara-saudaranya, juga bukan kawan-kawannya. Ia membutuhkan seseorang dari lawan jenis. Ia menginginkan seorang pria atau wanita yang bersedia bersama-sama dengannya membangun masa depan.

Perkembangan sebagai manusia pada permulaan usia dewasa memerlukan kerjasama antara seorang wanita dan pria. Mereka saling membantu untuk mengembangkan bakat-bakat khas jenis mereka maupun kepribadian mereka masing-masing. Biasanya, penyempurnaan ini menjadi nyata dalam hidup sebagai pasangan suami istri dan bapak ibu. Jadi, tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah membantu satu sama lain dengan saling memberikan dan mendapatkan pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. Dengan kata lain, tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah membantu satu sama lain dengan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam perjalanan hidup menuju kebahagiaan didunia ini dan akhirat.

Di dunia : dengan mengalami diri sebagai orang yang bermanfaat bagi yang lain, dengan memberikan dan mendapat pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain.

Di akhirat : dengan bersatu dengan Yang Mahabaik karena menjadi teman hidup yang setia.

Maka dapat ditarik kesimpulan :

- Seorang egois tak sanggup menikah (walaupun dapat mengadakan anak)
- Jalan bersama suami istri bukanlah petualangan yang tanpa tujuan, melainkan mengarah pada asal usul segala cinta, yaitu Bapa di surga.

PERKAWINAN SEBAGAI SAKRAMEN

1. Perkawinan sebagai sakramen
Sakramen berarti “tanda”. Yang ditandakan dalam sakramen perkawinan Katolik adalah :

a. Tanda cinta Allah
Dalam sakramen perkawinan, suami dalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang istri dan istri menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. Bahkan, bukan hanya tanda, mereka juga dipilih untuk menjadi utusan atau tangan Tuhan. Melalui suami istri, Tuhan hadir menolong, menguatkan, dan membahagiakan pasangannya. Ia ikut mengerjakan apa yang telah mereka ikrarkan satu sama lain dihadapannya. Sejak hari itulah mereka bertolak bersama ke jalan menuju padanya.

Tuhan memiih suami istri dalam iman Kristiani supaya mereka mereka menjadi tanda dan sarana kasih setianya bagi satu sama lain selama mereka hidup bersama. Maka dari itu, sakramen ini diberikan oleh suami kepada istrinya dan sebaliknya. Apa yang mereka lakukan dan ikrarkan di hadapan Tuhan dan umat beriman, itulah yang akan mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka saling menyempurnakan atau saling menguduskan sebagai anak Allah.

Pasangan manusia dicita-citakan oleh Allah menurut hakikatnya sendiri seperti yang tertulis di Kej 1:26-28 “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa.. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,,laki-laki dan perempuan…”

Hakikat Tuhan ialah cinta yang maha sempurna, yang menyatukan Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah menghendaki manusia menjadi seperti hakikat-Nya itu. Satu dalam cinta yang mesra. Manusia yang menjadi dua ketika Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, langsung disatukan kembali secara lebih sempurna dalam cinta. Allah membimbing Hawa kepada Adam (karena tidak baik manusia itu sendirian saja) dan Adam kegirangan berucap “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku!”. Sejak saat itu, memang lelaki harus meninggalkan ibu bapaknya untuk bersatu padu jiwa dan raga dengan istrinya. Mereka bukan lagi dua melainkan satu! Sungguh pasangan manusia dicita-citakan oleh Tuhan menurut hakikatnya sendiri. Persatuan dan cinta antara pria dan wanita menjadi tanda cinta-Nya.

b. Tanda cinta Kristus kepada Gereja-Nya

Persatuan cinta suami istri menunjuk kepada suatu persatuan cinta yang lain lagi. Perkawinan menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia, yaitu persatuan hidup Kristus dengan umatnya. Adanya suami disamping istrinya dan istri disamping suaminya dalam ikatan cinta, adalah tanda nyata bahwa Kristus selalu menyertai kita, dan sebagai suami istri selalu dipersatukan dalam Dia.

Jadi dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa cinta kasih suami istri didukung oleh kesatuan Gereja, tetapi kesatuan yang berlangsung dalam perkawinan Kristiani. Oleh sebab itu, kehidupan perkawinan disebut sel hidup umat Allah.

Kiranya menjadi jelas bahwa dengan menjadi suatu sakramen, perkawinan manusiawi diberi rahmat kekuatan yang jauh melampaui kekuatan insani kedua suami istri itu. Kekuatan dasyat ini diberikan oleh Kristus, supaya suami istri sanggup mengamalkan tujuan perkawinan, yang antara lain menuntut kesatuan, semangat berkorban, kesediaan mengampuni, sikap terbuka dan saling percaya walaupun sudah dikecewakan.

Hidup setia antara suami istri yang menandakan cinta dan kebahagiaan diangkat oleh Kristus untuk menjadi tanda dan sumber rahmat ilahi, bukan hanya pada hari pernikahan yang membahagiakan itu. Sakramen perkawinan tidak selesai pada waktu pengantin baru meninggalkan gereja, sakramen ini bukanlah sekadar suatu upacara digereja. Upacara perkawinan bukanlah sekadar suatu upacara digereja, bukanlah happy ending dari suatu perjalanan panjang dan berliku-liku, melainkan a new beginning. Sakramen itu berjalan terus hari demi hari selama mereka hidup.

Sakramen perkawinan adalah hidup pasangan itu, mulai pada hari pernikahan mereka sampai saat maut memisahkan mereka. Hidup perkawinan adalah suatu ziarah iman dalam cinta, bila dihayati hari demi hari dengan setia, akan menjadi tanda bahwa Allah mencintai kita tanpa batas.

SIFAT SIFAT PERKAWINAN SAKRAMENTAL

Karena perkawinan sakramental adalah tanda cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada Gerejanya maka cinta perkawinan itu harus utuh, tak terbagi (monogami) dan tak terceraikan. Cinta Allah dan cinta Kristus adalah utuh dan abadi.

a. Monogam
Salah satu perwujudan cinta dan kesetiaan dalam perkawinan bahwa perkawinan Katolik menolak poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Katolik, suami harus menyerahkan diri seutuhnya kepada istrinya dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada suaminya, tidak terbagi-bagi kepada pribadi yang lain. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan mereka, inilah yang dituntut dari Injil kita. Yesus menegaskan dalam sabdanya yang berbunyi “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:5-6a). Inilah persatuan dan cinta yang sungguh menyeluruh, tak terbagi dan total sifatnya. Persatuan dan cinta yang utuh seperti ini melahirkan rasa saling percaya, saling menerima segala kebaikan dan kekurangan masing-masing.

Atas persatuan dan cinta inilah suami istri boleh merasa aman satu terhadap yang lain, tak perlu saling mencurigai dan menduga-duga. Diri pasangan seluruhnya untuk kita dan seluruh diri kita untuk pasangan kita. Dalam perkawinan Kristiani, yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula fisik saja, bukan tenaga dan waktu melainkan seluruh diri kita, termasuk hati dan seluruh masa depan kita.

b. Tak terceraikan
Perkawinan Kristiani bukan saja monogam, tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan Katolik bersifat tetap, hanya maut yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang lain. Perkawinan menurut Katolik menuntut cinta yang personal, total, tetapi juga permanen. Untuk memberikan landasan yang kuat dalam janji pernikahan di hadapan Tuhan setiap calon mempelai saling mengikrarkan kesetiaan mereka sampai maut memisahkan. Suami istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen, jadi mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan, dan menghibur tanpa syarat apa pun, Dan karena Kristus dengan setia menyertai dan menolong suami istri, mereka pun sanggup untuk setia satu sama lain. Sifat sakramental perkawinan Kristiani itulah yang membuatnya kokoh dan tak terceraikan. Pasangan Katolik tidak bisa (bukan hanya tidak boleh) bercerai, memang sukar dimengerti oleh orang lain. Sifat ini hanya dapat kita terima kalau kita menyadari bahwa Tuhan memilih dan mengukuhkan seseorang supaya menjadi tanda dan alat keselamatan (sakramen) bagi teman hidupnya.

TANTANGAN DAN KESULITAN DALAM PERKAWINAN

1. Tantangan yang bersifat dari dalam

a. Kebosanan dan kejenuhan
Pada masa pacaran, pertunangan dan awal mula perkawinan orang biasanya masih berada pada tahap cinta yang emosional dan romantis. Cinta tanpa banyak pertimbangan rasional. Pada masa-masa itu, hidup ini terasa sangat indah dan menyenangkan. Si dia di mata kita sungguh tanpa cacat cela. Cinta kita kepadanya merupakan cinta ultroistis, cinta yang rela berkorban sampai melupakan diri demi kebahagiaan si dia. Akan tetapi, sesudah beberapa waktu kita mulai merasa bahwa si dia bukanlah seseorang yang tanpa cacat cela. Dari hari ke hari semakin banyak cacat dan kekurangan yang kita lihat. Mungkin cacat yang kecil, tetapi kalau terus ditimbun dari waktu ke waktu, kita akan merasa kecewa, bosan dan jenuh. Dan kalau kita mulai mementingkan diri sendiri, timbullah rupa-rupa bencana. Dimana ada cinta diri, disana tidak ada lagi tempat sikap tenggang rasa, sikap saling mengerti dan memaafkan. Yang ada hanyalah napsu menang sendiri, kesenangan sendiri dan sebagainya.

b. Perbedaan pendapat dan pandangan
Perbedaan pendapat dan pandangan sebenarnya soal biasa, asal saja orang mau saling menghormati pendapat dan keyakinan teman hidup. Dalam hal-hal yang agak prinsipiil (misalnya menyangkut pendidikan anak dalam keluarga), dapat dicari jalan keluar bersama-sama dengan kepala dingin. Persoalan akan muncul kalau salah seorang dari suami istri itu mulai memaksakan kehendaknya serta mengambil keputusan dan tindakan secara sepihak. Dengan demikian percekcokan tak dapat dielakkan, pertengkaran dan bentrokan selalu bisa terjadi.

c. Ketakserasian dalam hubungan seksual
Hubungan seksual merupakan soal yang sangat peka pula. Kalau tidak bertenggang rasa, bisa menimbulkan ketegangan antara suami istri. Kalau suami terlalu menuntut, baik mengenai waktu dan cara maupun tempat untuk berhubungan seksual, istri akan merasa bahwa dirinya hanyalah alat pemuas napsu suami saja. Dengan itu, ia akan merasa sangat tersinggung dan menderita. Sebaliknya, kalau istri menolak melayani suaminya atau melayaninya dengan setengah hati, suami akan merasa sangat tersinggung. Banyak suami yang jatuh ke pelukan wanita lain atau pelacur karena ingin mendapatkan pelayanan seksual yang lebih memuaskan daripada istrinya.

d. Perzinahan / Perselingkuhan
Seringkali, oleh suatu keadaan tertentu suami istri tidak bisa melakukan hubungan seksual untuk jangka waktu tertentu. Mungkin karena urusan tugas, urusan kesehatan, masa hamil tua, minggu-minggu pertama sesudah persalinan, atau halangan-halangan lainnya. Kurangnya perhatian dan pengertian yang diberikan kepada pasangan juga dapat meretakan keluarga. Dalam situasi semacam ini, salah seorang pasangan dapat merasa tergoda untuk menyeleweng dari kewajiban suci perkawinannya, dia akan mencari kepuasan hubungan seks dengan seorang wanita atau laki-laki yang lain.

Tentu saja, perzinahan adalah pelanggaran berat melawan kesucian dan kesetiaan perkawinan yang mendatangkan penderitaan besar untuk semua anggota keluarga.
Gereja Katolik cukup tegas dalam menilai dosa perzinahan itu, namun Gereja tak pernah mengizinkan perceraian. Jalan satu-satunya yang wajar untuk suami istri itu adalah bertobat, saling mengampuni dan membaharui cinta yang ikhlas demi kebahagiaan seluruh keluarga.

e. Kemandulan
Kalau salah satu pasangan ternyata mandul, seringkali timbul krisis dalam perkawinan. Biasanya, suatu pihak mempermasalahkan pihak lain walaupun kemandulan bukanlah kesalahan pribadi. Apa yang penting dalam situasi itu ialah janganlah berhenti saling mencintai, tetapi pakailah akal budi dan cobalah memeriksakan diri dulu ke dokter. Bisa terjadi bahwa kemandulan tidak bersifat tetap, tetapi dapat diatasi secara fisiologis dan psikologis. Akan tetapi, kalau ternyata salah seorang dari pasangan suami istri ini mandul tetap, mereka harus menerima kenyataan pahit ini. Mereka tidak boleh percaya kepada pendapat kolot bahwa perkawinanya tidak direstui nenek moyang, dan dengan demikian merencanakan perceraian sebagai jalan keluar. Perkawinan Kristiani tetap mempunyai arti yang dalam, meski tanpa kemungkinan untuk mendapat anak sendiri.

2. Tantangan yang bersifat dari luar

Yang dimaksudkan tantangan dari luar adalah tantangan yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar perkawinan itu sendiri. Seperti contoh :

a. Pengaruh atau suasana negatif yang bisa mengganggu dan mengaburkan martabat lembaga perkawinan. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain :
- Kawin cerai yang semakin banyak terjadi didalam masyarakat kita sekarang ini. Dikatakan, lebih dari 50% perkawinan di Indonesia berakhir dengan perceraian.
- Suasana dan kebiasaan berpoligami atau dengan gaya lebih modern : memiliki wanita simpanan. Belum lagi penyelewengan-penyelewengan yang semakin biasa di zaman ini. Akhir-akhir ini banyak koran mengungkapkan bahwa ternyata sebagian besar bapak (suami) dikota-kota besar Indonesia pernah menyeleweng. Ibu-ibu pun ternyata mulai berprilaku yang sama.
- Cinta bebas dan pelacuran dalam berbagai bentuk semakin meluas. Koran-koran menuliskan bagaimana suasana mesum ini sudah melibatkan para pelajar, mahasiswi, ibu-ibu rumah tangga, dokter bahkan anak-anak dibawah umur. Suasana ini mungkin akan semakin mewabah.
- Media massa dan sarana-sarana lain yang bersifat pornografis telah menyusup secara luas kedalam masyarakat kita. Semua hal yang disebutkan diatas tentu saja bisa merupakan godaan besar bagi pasangan suami istri untuk mengkhianati kesetiaan perkawinan mereka.

b. Masalah-masalah lain yang tak terlalu langsung berhubungan dengan perkawinan, tetapi bisa mempunyai akibat yang cukup besar untuknya. Sekadar contoh, kita bisa menyebutkan satu diantaranya, yaitu keadaan ekonomi rumah tangga yang morat marit. Suatu rumah tangga ynag selalu terbentur pada kesulitan ekonomi, bisa mengalami kegagalan dalam kehidupan perkawinan. Kesulitan ekonomi rumah tangga bisa membuat seseorang berprasangka buruk tentang teman hidupnya.


No comments:

Post a Comment