Wednesday, March 31, 2010

legal final project : kasus hukum pidana (analisa dan pembahasan)

BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

Segi Seksualitas

Kasus pembunuhan Heri Santoso (40) yang dibunuh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan (30), karena cemburu. Keduanya sama-sama tertarik pada Novel Andrias alias Noval (28). Mutilasi dilakukan di kamar 309A, Blok C, apartemen Margonda Garden Residence, Depok, Jum’at (11/7) pukul 20.00. Awalnya Heri datang ke apartemen Ryan dengan mobil Zuzuki APV hitam, B-8986-CR, pukul 20.00, Jum’at (11/7). Di apartemen, Heri melihat foto Noval, kekasih Feriansyah yang akrab dipanggil Ryan. Heri jatuh hati pada Noval, dan menyampaikan hal itu pada Ryan. Heri lalu menawarkan sejumlah uang kepada Ryan agar Noval bisa berhubungan intim dengan Heri. Ryan tersinggung dan marah.

Disini bisa dilihat semua orang, baik laki-laki maupun wanita pernah suatu waktu mengagumi atau menyukai seseorang yang satu gender dengannya, semisal seorang wanita mengagumi wanita lain yang cantik dan seksi atau seorang laki-laki yang suka melihat laki-laki lain yang berotot dan “body perfect”. Hal semacam ini berpotensi untuk menjadi seorang homoseksual. Berdasarkan informasi ilmiah harus diakui bahwa sesunguhnya setiap individu mempunyai potensi untuk menjadi seorang homoseksual. Namun kecenderungan ini mempunyai tingkatan yang berbeda. Dan karena kecenderungannya sangat kecil sehingga kita tidak merasakannya. Tetapi jika kecenderungan itu bisa mengakibatkan setelah mengagumi lalu tertarik dan terangsang terhadap sesama jenis, maka dapat dikatakan sebagai naluri homoseksual.

Definisi homoseksual sendiri adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Istilah yang sudah umum dikenal masyarakat untuk orang yang termasuk homoseksual adalah gay (untuk lelaki) dan lesbian (untuk wanita).

Faktor lain yang dapat menyebabkan orang menjadi homoseksual, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi) selain faktor biologis (kelainan otak dan genetik), adalah faktor psikodinamik, yaitu adanya ganguan perkembangan psikseksual pada masa anak-anak, faktor sosiokultural, yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual dengan alasan yang tidak benar, dan terakhir adalah faktor lingkungan, dimana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual menjadi erat.

Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual. Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut.

Secara signifikan keberadaan kaum homoseksual di dunia ini patut diperhitungkan. Di suatu survei di Amerika Serikat pada saat dilangsungkan pemilu 2004, diketahui bahwa 4% dari seluruh pemilih pria menyatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Di Kanada, berdasarkan statistik Kanada menyatakan bahwa diantara warga Kanada yang berumur 18 sampai 59 tahun, terdapat 1% homoseksual dan 0.7% biseksual. Sedangkan di Indonesia, data statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksual.

Sebagaimana manusia lainnya, para homoseksual ini memiliki rasa yang sama dengan manusia normal lainnya. Rasa cemburu pun dimiliki oleh kaum ini, bahkan rasa cemburu yang berlebihan bisa timbul jika mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan orang lain. Dan karena rasa cemburu yang dimilikinya terlalu besar, ada yang sampai tega membunuh pasangannya dan kejadian ini biasa dialami oleh seorang gay. Dan satu yang perlu diingat menjadi homoseksual adalah suatu pilihan bukanlah suatu takdir. Kecenderungan besar manusia untuk kembali ke kehidupan normal adalah kekuatan terpenting untuk sembuh dan keluar dari jurang tersebut.

Dan kaum homoseksual dari dulu sampai masa yang akan datang akan selalu ada, berkeliaran disekitar kita, terlihat jelas atau kasat mata, dan kita pun berpotensi menjadi bagian dari mereka, tinggal bagaimana kita menyikapinya dan memilih tetap menjadi “normal” atau menyerah pada potensi tersebut.

Pembunuhan Dengan Mutilasi

Terjadi cekcok mulut kemudian Ryan menikam Heri dan memukuli korban dengan sebatang besi. Setelah menjadi mayat, Ryan memotong-motong jenazah Heri menjadi tujuh bagian dalam dua koper besar dan kecil, serta dalam sebuah plastik. Kebencian Ryan pada Heri ditunjukkan Ryan dengan merusak alat vital Heri. Dengan membawa potongan-potongan jenazah itu, Ryan naik taksi. Ia lalu membuang potongan-potongan jenazah itu di dua lokasi di tepi Jalan Kebagusan Raya, Sabtu pagi. Yang entah bagaimana pembuangan mayat yang berbau anyir darah tersebut dan meninggalkan koper besar dijalan tidak mengundang kecurigaan supir taksi. Pukul 08.00, potongan mayat itu ditemukan.

Baru belum beberapa lama ini kita di hebohkan dengan pembunuhan dengan cara mutilasi, memisahkan sebagian anggota badan dengan cara di potong dengan benda tajam. Fenomena kriminalitas ini sungguh di luar nalar sehat manusia. Jika kami mengamati bahwa kejadian pembunuhan dengan cara memutilasi korban dalam kurun waktu ini sungguh sangat nge-trend. Apa yang sedang terjadi dengan masyarakat kita? Begitu burukkah nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat sehingga sebagian anggota masyarakat dengan seenaknya melakukan tindakan di luar batas kewajaran dan nalar sehat manusia. Tentu kita sebagai masyarakat yang notabene memiliki tanggung jawab moral dan sosial merasa tersakiti dan tentu juga khawatir pembunuhan saat ini tidak hanya menghilangkan nyawa orang lain tetapi juga dengan leluasa mengoyak dan menghilangkan bagian anggota dari si korban.

Peristiwa pembunuhan, khususnya yang disertai mutilasi, tahun 2008 mewarnai pemberitaan di media massa. Peristiwa tersebut bahkan terjadi berturut-turut. Setelah kasus Ryan, berturut-turut peristiwa mutilasi terungkap bermunculan di sejumlah daerah. Berbagai kasus pembunuhan mutilasi itu kerap dilatarbelakangi rasa marah, sakit hati, dan dendam pelaku terhadap korbannya. Pelaku dan korban kerap kali saling mengenal cukup baik, mulai dari keluarga sendiri, pembantu, juga tetangga. Profil pelaku kekejaman mutilasi ini semakin membenarkan pepatah yang menyebutkan “orang yang bermuka galak dan dingin memiliki hati yang lembut” karena semua pelaku mutilasi dikenal ramah, murah senyum, pandai bergaul dan banyak teman, hampir semua mereka menyembunyikan kekejaman dan kesadisan mereka dibalik senyum dan perilaku yang lemat lembut.

Peristiwa pembunuhan sadis disertai mutilasi memang tidak terjadi baru-baru ini. Setidaknya, sejak lebih tiga dekade yang lalu, negeri ini juga kerap digemparkan peristiwa pembunuhan mutilasi yang keji. Kondisi ini, menurut psikolog sosial Sartono Mukadis, merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Sartono menyebutnya sebagai cetusan sosial yang lahir akibat dari kemarahan, keputusasaan, dan ketidakmampuan dalam menghadapi konflik yang biasanya diciptakan oleh dirinya sendiri.

Kekejian dan kekerasan yang menggejala juga merupakan indikasi fenomena anomi di masyarakat yaitu suatu fenomena dimana banyaknya kejahatan yang jelas-jelas salah seperti korupsi yang tidak dihukum, malah para pelakunya dipuja, dihormati dan menjadi pemimpin membuat kegamangan masyarakat dalam menyikapi nilai, agama dan norma. Persoalan dalam tata nilai masyarakat tidak semata bisa dijawab dengan penerapan pelajaran budi pekerti di sekolah. Namun, negara harus memiliki strategi yang lebih besar dan serius untuk membenahi karakter bangsa tanpa terjebak dalam program-program yang sloganistik.

Sementara itu, kejahatan yang makin beragam jenisnya dan makin kejam menyebabkan masyarakat dipaksa meningkatkan kewaspadaan di mana pun ia berada. Sistem keamanan di perkantoran, pusat perbelanjaan, dan di rumah-rumah makin ditingkatkan. Namun, terkadang bukan rasa aman yang dicapai, tetapi justru ketidaknyamanan serta rasa takut yang amat mengganggu. Apalagi, terkadang kejahatan muncul tanpa bisa diduga, bahkan di lokasi yang selama ini dianggap aman, seperti di gedung pengadilan atau di lingkungan paling dekat, yaitu di sekitar rumah sendiri. Pelakunya pun bisa jadi adalah orang-orang yang selama ini kita kenal baik.

Suasana yang melingkupi Kompleks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhir-akhir ini misalnya, berubah kaku dan tegang. Terali besi warna hijau tua mengapit rapat sebuah alat pendeteksi logam berdiri di pintu masuk gedung pengadilan yang berlantai tiga. Jika dulu setiap pengunjung pengadilan bebas keluar masuk gedung, kini semua harus dicek.

Membunuh Lalu Mengambil Harta Korban

Setelah membuang potongan mayat Heri, Ryan memanfaatkan uang korban senilai Rp 3.040.000, dua kartu kredit BNI, dan satu kartu kredit ANZ, serta kartu anjungan tunai mandiri (ATM) BCA untuk berfoya-foya dengan kekasihnya, Noval. Setelah membuang potongan mayat Heri, Ryan memanfaatkan uang korban senilai Rp 3.040.000, dua kartu kredit BNI, dan satu kartu kredit ANZ, serta kartu anjungan tunai mandiri (ATM) BCA untuk berfoya-foya dengan kekasihnya, Noval.

Menurut penuturan Ryan, dia membunuh karena rasa cemburu. Media juga membesar-besarkan masalah Ryan adalah seorang homoseksual dan mulai menjulukinya psikopat dan semacamnya. Padahal, kalau boleh kita perhatikan dari faktanya, Ryan tidak hanya membunuh pasangan homoseksualnya. Ini sudah merupakan tanda bahwa:

1) Dia bukan membunuh hanya karena cemburu
2) Dia tidak memiliki pola dalam membunuh, dengan kata lain, kami ragu dia benar-benar seorang psikopat.

Menurut penelusuran kami mengenai kasus ini, Ryan membunuh karena ia ingin merebut harta korbannya. Salah satu buktinya, korban Ryan yang adalah seorang ibu dan anaknya itu. Ini jelas di luar pola, kalau benar-benar Ryan membunuh karena rasa cemburu atau masalah hubungan dgn pasangan gay-nya. Fakta lain, semua korban yang dibunuh dirampas hartanya, ini bisa membuat dugaan Ryan memang membunuh untuk memenuhi kebutuhan dirinya atas harta.

Ryan adalah seorang yang ambisius tapi akibat lingkungannya yang tidak memadai, ambisinya untuk jadi orang kaya dan sukses terpendam dan terus berevolusi menjadi keputusasaan. Keputusasaan inilah mungkin yang memicu pembunuhan yang dilakukannya itu. Yang menyimpang dari Ryan adalah kemampuannya untuk menekan rasa bersalahnya atas pembunuhan yg dia lakukan. Sekali membunuh, dia merasa superior dan karena itu dia tega melakukannya lagi.

Pelanggaran Hukum Pidana

Ryan melanggar hukum pidana karena membunuh. Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum dan peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungan jawab manusia tentang “perbuatan yang dapat dihukum”. Bila seseorang melanggar aturan pidana, maka akibatnya ialah bahwa bahwa orang itu dapat di pertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan hukuman (kecuali orang gila, dibawah umur dan sebagainya).

Berdasarkan kronologi kejadian, Ryan memutilasi teman dekatnya, Heri Santoso, pada 11 Juli 2008 di kamar 309A apartemen Margonda Residence Depok. Selanjutnya, Ryan membuang potongan tubuh korban di tanah kosong di Jalan Kebagusan. Kejari Depok akan menempatkan Ryan di Rumah Tahanan Pondok Rajeg Cibinong. Ryan, tersangka pembunuhan terhadap Heri Santoso dan serangkaian pembunuhan di Jombang, diancam dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 338, 339, 340, 351 KUHP ayat 3 dan 365 KUHP ayat 3. Dalam Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana, Ryan terancam hukuman 20 tahun penjara, seumur hidup, atau mati. Sementara itu, dalam Pasal 338 tentang Pembunuhan dan Pasal 339 tentang dan pasal 365 tentang perampokan yang disertai kekerasan. Sedangkan Noval, dijerat dengan pasal 480 tentang penadahan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal: 338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara, 341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan bayi berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya sama dengan 338 atau 340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain bunuh diri) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349 (aborsi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2 (penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2 (penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau satu tahun kurungan .

Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan tentang alasan-alasan yang meringnkan dan memberatkan, misalnya faktor yang meringankan adalah si pelaku masih muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya, sedang alasan yang memberatkan misalnya karena dilakukan di bulan suci Ramadhan, menggunakan senjata tajam dan sebagainya. Perihal gangguan jiwa, dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44). Jiwanya cacat dalam pertumbuhan, memang sedari kecil sudah menderita kelainan misalnya idiot, dan sebagainya atau sakit jiwa.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan berdalih, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka hakim perlu mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal itu ada tiga teori tentang kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan sebagai sadar kemungkinan.

1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta kejadian, misalnya terdakwa menyatakan, ‘ya, saya memang bermaksud membunuh oleh sebab..”

2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau dipancing pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi.

3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi, misalnya terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan pada bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si korban akan kehabisan daran, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu mengandung racun.

Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa yang disebut ‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa mengatakan tidak bermaksud, maka hakim bisa mengkategorikan sebagai sengaja. Dilihat perkembangannya, di tingkat penyidikan masih proses, di tingkat penuntutan masih pula proses, maka bila proses persidangan telah tuntas, hakim akan bermusyawarah kemudian memutus.

Menurut hukum, masih ada lagi kemungkinan untuk Banding ataupun Kasasi (upaya hukum biasa) dan juga ada yang disebut kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali (upaya hukum luar biasa). Dalam hukum barulah seseorang itu bisa dinyatakan bersalah kalau putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht).

No comments:

Post a Comment